Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

<font size=2 color=#CC0000>Swiss</font><Br />Skuad Kaum Pendatang

Keturunan imigran memainkan peran penting bagi kebangkitan sepak bola Swiss. Pelatih Ottmar Hitzfeld menambah mantap bobot permainan mereka.

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Luas wilayah: 41,284 km2
Jumlah penduduk: 7,7 juta jiwa
Asosiasi: Schweizerischer Fussballverband (SFV)
Berdiri: 1895
Bergabung dengan FIFA: 1904
Peringkat FIFA: 15 (Februari 2010)
Keikutsertaan: 8 kali (1934, 1938, 1950, 1954, 1962, 1966, 1994, dan 2006) Prestasi terbaik: perempat final 1934, 1938, dan 1954)

Gokhan Inler tidak tergoda minuman beralkohol meski dia lahir dan tumbuh di salah satu negara yang terkenal dengan pesta bir gila gilaan seperti Swiss. ”Saya juga tak suka keluar malam, karena saya muslim,” kata gelandang berusia 25 tahun itu. Awal Maret lalu, pemain klub Udinese, Italia, ini mengenakan ban kapten tim nasional Swiss untuk pertama kalinya saat beruji coba melawan Uruguay. ”Sungguh saya harus bersyukur atas anugerah ini.”

Inler bukan pemain muslim pertama di skuad Schweizer Natitim nasional Swiss. Murat dan Hakan sudah terlebih dulu malang melintang sejak awal 2000 an. Ketiganya keturunan Turki. Kepada merekalah—para keturunan imigran, baik yang muslim maupun bukan negara asal Pasukan Garda Sri Paus ini harus berterima kasih. Skuad yang berisi mayoritas kaum pendatang akan berjuang untuk Swiss pada Piala Dunia 2010.

Swiss hanyalah negeri kecil sekitar 41 kilometer persegi dan berpenduduk kurang dari delapan juta jiwa. Jawa Timur masih lebih besar dan jumlah penduduk Jakarta masih lebih banyak daripada Swiss. Kelebihannya, negara penghasil jam ini sangat makmur. Pendapatan per kapita mereka US$ 43.195 (sekitar Rp 393 juta), yang merupakan peringkat keempat dunia. Magnet kemakmuran itulah yang menarik imigran.

Anak anak keturunan para imigran ini memanaskan lagi sepak bola Swiss setelah lama tertimbun dinginnya Pegunungan Alpen. Memiliki asosiasi sepak bola sejak 1895—tertua kedua setelah FA nya Inggris—Swiss turut mendirikan FIFA pada 1904. Tiga kali lolos ke perempat final Piala Dunia (1934, 1938, dan 1954), sepak bola Swiss lantas melempem. Prestasi di cabang ski es dan tenis lebih menyedot perhatian masyarakatnya ketimbang sepak bola.

”Dengan jumlah penduduk yang sedikit, artinya jumlah sumber daya pemain Swiss kalah jauh bila Anda bandingkan dengan Jerman atau Inggris,” kata pelatih nasional Swiss, Ottmar Hitzfeld. ”Sepak bola Swiss berkembang akhir akhir ini karena keserius­an pemerintah membina para pemain muda. Integrasi para imigran juga memegang peran penting.”

Lihatlah hasilnya. Swiss berhasil menjadi runner up Piala Dunia Sepak Bola pantai 2009. Gelar pemain terbaik sekaligus top scorer jatuh ke tangan Dejan Stankovic (namanya sama dengan gelandang Inter Milan), pemain Swiss keturunan Serbia. Yang lebih fenome­nal, di lapangan rumput Schweizer Nati junior meraih sukses besar dengan menggondol trofi Piala Dunia U 17 pada 2009. Penyerang Swiss bernama Nassim ben Khalifa berhak atas gelar runner up pemain terbaik. Khalifa keturunan Tunisia.

Tim senior mereka tak kalah berwarna. Dari 37 pemain yang dipanggil Hitzfeld dalam dua tahun terakhir, 23 di antaranya kaum pendatang. Itu termasuk yang berkulit gelap semacam Johan Djourou (keturunan Pantai Gading), Blaise N’Kufo (Republik Demokratik Ko­ngo), atau Johan Vonlanthen (Kolombia).

Kebangkit­an sepak bola Swiss sebenarnya sudah dimulai sejak awal 2000 an ketika mulai dilatih Jakob ”Kobi” Kuhn. Sang Opa—julukan mantan pelatih yang sekarang berusia 66 tahun ini mengandalkan duet bersaudara Hakan dan Murat Yakin. Murat sekarang sudah pensiun. Kuhn sukses melajukan negaranya ke Euro 2004 dan maju ke putaran kedua Piala Dunia 2006.

Sayangnya, Kuhn gagal membuat kejutan saat negaranya menjadi tuan rumah bersama Austria pada Euro 2008. Swiss cuma menjadi juru kunci di babak grup. Penampilan mereka melempem gara gara sang kapten, Alexander Frei, mengalami cedera pada partai perdana dan tak bisa main di dua laga berikutnya.

”Kami tak boleh mengulang kesa­lahan itu pada Piala Dunia nanti,” kata Frei. Penyerang berusia 30 tahun dari klub Basel ini masih menjadi tumpuan utama rekan rekannya. Bersama penyerang gaek, N’Kufo, Frei mengoleksi lima gol pada kualifikasi. Sayangnya, Frei kerap terkena kutukan lama: mudah cedera.

Hitzfeld harus memutar otak lebih keras agar timnya tak terlalu bergantung pada Frei. Dia punya waktu banyak untuk mencoba pemain muda. Dan untuk jabatan kapten, meski kapten sementara, pelatih asal Jerman ini membuat keputusan penting dengan memberikannya kepada Inler. Pemain keturunan Turki ini membalasnya dengan hadiah satu gol saat beruji coba melawan Uruguay.

Der General atau Sang Jenderal, itulah ju­lukan Hitzfeld. Pelatih berusia 61 tahun ini sudah mendapatkan segalanya di tingkat klub: tujuh gelar Liga Jerman, dua gelar Liga Swiss, dan dua gelar Liga Champions. Pria Jerman ini bahkan dua kali meraih penghargaan pelatih terbaik dunia, 1997 dan 2001. Dia adalah satu dari dua pelatih yang sukses meraih trofi Liga Champions bersama dua klub berbeda: Borussia Dortmund pada 1996/1997 dan Bayern Muenchen, 2000/2001.

Hitzfeld lahir di Lorrach, Jerman, yang berbatasan dengan Swiss. Dari desa kelahirannya, Hitzfeld cuma butuh waktu sepuluh menit berkenda­raan guna mencapai Basel, kota tuan rumah saat Swiss menahan Israel 0 0, yang memastikan timnya lolos ke Afrika Selatan dengan predikat juara Grup 2 kualifikasi zona Eropa.

Hitzfeld juga lama menjadi pemain di Liga Swiss dan mengawali karier kepelatihan bersama klub Swiss, FC Zug, pada awal 1980 an. ”Bila ayah saya (almarhum) tahu bahwa saya meraih sukses bersama Swiss, dan bukan bersama Ba­yern Muenchen atau Borussia Dortmund, beliau pasti senang,” katanya. ”Swiss seperti rumah sendiri bagi kami.”

Namun jalan Hitzfeld pada kualifikasi tak semulus yang diperkirakan para pengamat. Timnya mendapat kejutan pada dua laga pertama: ditahan tuan rumah Israel 2 2 dan kalah 1 2 oleh Luksemburg di kandang sendiri. Hitzfeld mantan guru matematika dan olahraga. Dia menggunakan bantuan komputer untuk menghitung detail kemungkinan di lapangan. Hasilnya, timnya tak lagi kalah pada delapan laga sisa.

Tapi masih banyak yang harus dikerjakan Hitzfeld. Kalah 1-3 pada uji coba melawan Uruguay menjadi pelajaran berharga bagi mereka. Juga untuk sang kapten dadakan, Gokhan Inler.

Andy Marhaendra (FIFA, timesonline, Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus