Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melanie Subono punya cara sendiri untuk mengabadikan momen penting dalam hidupnya. Pembawa acara 33 tahun ini mencatat peristiwa bersejarah dalam bentuk rajah. ”Ini buku harianku, bukan sekadar bergaya atau ikut tren,” kata putri bos Java Musikindo, Adrie Subono, ini.
Sejauh ini Melani sudah mematri tujuh tato sejak pertama kali dia berkenalan dengan seni tubuh yang satu ini di masa sekolah menengah atas. Namanya juga pribadi, tak semua arti masing-masing tato itu bisa diceritakan. ”Yang pasti, semua itu mengandung inspirasi, spirit, sekaligus ungkapan seni buatku,” katanya.
Semua tato Melanie unik. Setiap karya berbeda-beda dari cara menggambar, bentuk, ukuran, dan warna, sesuai dengan pengalaman yang akan diabadikan. Dia juga akan menambah tato jika ada momen bermakna di kemudian hari. Cara mendapatkan tato juga makin mudah, karena dia dan suaminya mendirikan studio tato di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Sama seperti Melani, bagi Fahrani Pawaka Empel, 25 tahun, tatonya juga melambangkan berbagai peristiwa penting. Aktris yang mulai dirajah sejak berusia belasan itu membagi tatonya dalam dua bagian. Pertama, yang terukir mulai kaki kiri hingga lengan kiri disebutnya ”taman”. Sementara tato-tato pada tubuh bagian kanan dia sebut ”koran”, karena terdiri atas berbagai tulisan seperti nama kedua orang tua, ”faith”, ”without madness around there is no peace within”, dan ”good times”.
Adapun di bagian ”taman”, dari bawah ada tato gambar binatang seperti ikan dan burung. Lebih ke atas bagian tubuh, terpatri tato motif pohon bambu, berbagai bunga seperti kamboja, tulip, dan anggrek bulan. Fahrani ingin membuat taman bunga lengkap dengan burung-burung menempel di tubuhnya.
Memang banyak selebritas bertato, meski tak semua seperti Melanie dan Fahrani, yang menjadikan tato sebagai catatan pengalaman. Milinka Mikaela Radisic, 31 tahun, misalnya. Di punggung disk jockey itu terpatri gambar Scorpio dalam posisi merayap ke bawah, dan di tengkuknya tato salib. ”Scorpio bintangku, dan salib untuk selalu mengingatkan pada Tuhan,” katanya. Kedua tato itu sudah berumur sepuluh tahun.
Bulan lalu, dalam tur ke Samarinda, Milinka berputar-putar mencari tato Dayak. Dia menginginkan tato berupa tulisan Dayak untuk diabadikan di tubuhnya. ”Belum sempat karena harus mendapat izin kepala suku, nanti mencari waktu longgar,” katanya. Selain untuk mendapat kesan eksotis, Milinka ingin mendapatkan daya magis Dayak. ”Kalau ke luar negeri nanti saya pamerkan kekayaan kita ini.”
Tato dengan motif tulisan kuno, seperti aksara Dayak, juga dimiliki selebritas lain seperti Julia Perez, 29 tahun. Ada tato tulisan India kuno di tengkuknya. Dia mendapatkan tato itu bulan lalu, di sebuah studio di Kemang, Jakarta Selatan. Arti tulisannya, ”Nama orang yang sangat berarti bagiku,” kata Jupe, panggilannya.
Pada perut sebelah kiri Jupe juga ada tato Scorpio tiga dimensi berwarna cokelat tua. ”Artinya, aku bisa baik tapi bisa juga berbahaya.” Jupe masih akan menambah tato lagi di dekat payudara. ”Tato itu aksesori yang membuatku merasa seksi dan kuat,” katanya.
Fenomena selebritas bertato ini memang membawa dampak positif bagi perkembangan tato di Tanah Air. Ini mendukung pergeseran citra tato yang semula negatif dan identik dengan kejahatan atau kenakalan menjadi keren sebagai perwujudan seni, aksesori, mode, atau simbol yang bermakna. ”Harus diakui, artis-artis bertato itu baik untuk citra positif tato,” kata Venus, seniman tato di Pasar Festival, Jakarta Selatan.
Sekitar lima tahun belakangan ini, makin jamak ditemui pesohor bertato. Tidak hanya para dedengkot seperti Tora Sudiro, Kaka Slank—yang sudah lama bertato—tapi juga Agnes Monica, Ratu Felisha, Ine Febriyanti, Becky Tumewu, dan banyak lainnya. Tren yang dibawa para selebritas tentu lebih cepat menular ke khalayak ramai, terutama masyarakat perkotaan.
Hana Angela, 24 tahun, juga tak kalah oeh para selebritas itu. Gambar rajah tersebar di tubuhnya. Ada tato sayap malaikat di punggung kanan kiri, bulu merak di paha, bunga anggrek di perut bawah, juga bunga di pinggul. ”Untuk seni dan menambah spirit,” katanya. Hasrat ditato itu bisa makin tersalurkan mengingat suaminya sekarang membuka usaha tato. ”Tapi tidak boleh terlalu banyak oleh suami.”
Sementara tato Hana tertutup pakaian, tak demikian dengan Ina, 35 tahun, wiraswasta di Jakarta. Di kedua tangan ibu dua anak itu, tato padat terlukis mulai ujung jari sampai lengan atas. Itu belum di bagian tubuh yang tertutup baju. ”Sulit menceritakan semua artinya, tapi kalau dirangkai menjadi cerita hidup selama ini,” katanya.
Mengabadikan cerita hidup dengan tato itu juga yang dilakukan Febri, 40 tahun, pengusaha di Jakarta. Satu waktu, perusahaan tempatnya bekerja tutup. Febri kemudian banting setir menjadi pengusaha. Dia mencoba bidang agrobisnis hingga manufaktur, berkeliling Jawa Tengah sampai Bali. Di tempat terakhir ini dia berhasil mengumpulkan banyak modal untuk merintis bisnisnya di Jakarta. ”Keberhasilan di Bali saya ukir di tubuh,” katanya.
Yoke Erwinda, 25 tahun, juga sangat menikmati tinggal di Bali, yang menurut dia surga tato. ”Orang sini lebih bisa menerima tato,” kata desainer asal Bandung ini. Yoke sudah memiliki 50 buah tato yang tersebar di tubuhnya. Ada yang punya muatan makna, ada yang hasil iseng-iseng ketika lewat studio.
Terkait dengan hal pribadi, yang juga biasa dituangkan dengan tato adalah simbol-simbol religius. Soal ini, Maria Evi, 30 tahun, contohnya. Tiga pekan lalu dia mewujudkan mimpinya bertahun-tahun untuk memiliki tato bergambar bunga mawar di pundak kanannya. ”Ini lambang Bunda Maria. Saya ingin terus didampingi,” katanya. Sebelumnya, sang suami sudah punya tato Yesus Kristus dan salib di kedua lengannya. ”Dia makin religius,” kata Maria tentang suaminya.
Ada juga yang mendapat dukungan dari keluarga. Helga Hutabarat, 24 tahun, memperoleh tato pertamanya empat tahun lalu pada saat berulang tahun. ”Kado dari paman,” katanya. Di keluarganya, semua bertato, dari ayah, ibu, sampai saudara-saudara. Jadi, tato sama sekali bukan hal aneh di keluarga Helga.
Memang, seperti pengamatan Hatib Abdul Kadir Olong, pemerhati sosial dari Universitas Gadjah Mada, kini tato lebih terkait dengan pengalaman pribadi. ”Bukan lagi ritual kolektif.” Maksudnya, tato bukan simbol yang menjadi bahasa bersama seperti tato tradisi suku di pedalaman. Misalnya, tato di betis wanita Sumba yang menjadi tanda bahwa si empunya sudah menikah. ”Tato modern bisa jadi perwujudan seni, budaya pop, sekaligus perlawanan.”
Toh, penolakan terhadap tato tetap ada. Aji, 27 tahun, terpaksa keluar dari sebuah bank tempatnya bekerja karena repot menyembunyikan tato di lengannya. Menurut Aji, karier orang bertato di kantornya itu tidak bakal berkembang. ”Capek pakai lengan panjang terus, saya keluar saja,” katanya. Dia mengaku siap menerima risikonya. ”Punya tato harus berani usaha sendiri.”
Masih adanya penolakan sebagian orang atas tato itu yang sering membuat gemas Rinaldo, pendiri komunitas MasBerto—singkatan dari Masyarakat Bertattoo—Jakarta, yang berbasis situs jejaring sosial Facebook. Menurut dia, perilaku baik-buruk orang tergantung hatinya. ”Hati tidak bisa ditato,” kata pemilik tato di kedua lengan dan punggung itu.
Harun Mahbub, Ninin Damayanti, Rofiqi Hasan, Wayan Agus (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo