Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Oksimoron Partai Demokrat

12 April 2010 | 00.00 WIB

Oksimoron Partai Demokrat
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dodi Ambardi*

Tiga kandidat Ketua Umum Partai Demokrat yang akan bertarung dalam kongres bulan depan telah pasang ancang-ancang. Andi Mallarangeng telah mendeklarasikan diri. Dua kandidat lainnya, Anas Urbaningrum dan Marzuki Alie, telah menemui pengurus daerah.

Di hadapan publik ketiga kandidat menyodorkan visi lima tahun ke depan untuk membentuk Partai Demokrat menjadi partai modern. Di saat yang sama, setiap kandidat mengaku mendapatkan restu dari Ketua Dewan Pembina Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono—sesuatu yang diharapkan bisa melempengkan jalan menuju posisi puncak partai itu.

Kombinasi istilah partai modern dan restu Ketua Dewan Pembina terdengar seperti sebuah oksimoron—kombinasi dua istilah yang sesungguhnya bertentangan. Partai modern mengandaikan bahwa kepemimpinan kurang-lebih bersifat kolektif dan kolegial: pemimpin puncak mengambil keputusan berbasis keinginan kolektif pengurus atau anggota partai.

Kepemimpinan partai berbasis restu menunjukkan ada pemain yang jauh lebih penting ketimbang ketua umum. Restu tak bersifat kolegial. Keputusan yang dibuat pemimpin jenis ini dalam banyak situasi bisa bergantung pada sang pemberi restu—seseorang yang memerankan diri sebagai veto player, pemain yang setiap saat bisa menganulir keputusan yang dibuat eksekutif partai.

Posisi superior Yudhoyono di Partai Demokrat memang tak terbantah. Sumber superioritas ini bervariasi: faktor kesejarahan, model pengembangan organisasi Partai Demokrat, desain konstitusional yang dibikin Majelis Permusyawaratan Rakyat, serta faktor media massa. Semuanya menjadi bahan baku munculnya personalisme dalam tubuh Partai Demokrat.

Sejarah pembentukan Partai Demokrat diawali peran sentral Yudhoyono sebagai pusat gravitasi partai. Lebih spesifik lagi, Partai Demokrat sengaja dibikin sebagai kendaraan politik Yudhoyono untuk meraih kursi kepresidenan.

Ide semacam ini bergulir—seperti didokumentasikan dalam situs resmi Partai Demokrat—ketika sejumlah pendukung dan figur publik melihat peluang dan potensi Yudhoyono untuk menjadi presiden. Kekalahan Yudhoyono dalam voting pemilihan wakil presiden dalam sidang MPR 2001 menunjukkan bahwa Yudhoyono adalah sebuah opsi kepemimpinan—meski keberuntungan, ketika itu, belum datang kepadanya.

Peluang politik Yudhoyono ini ditopang hasil jajak pendapat yang menunjukkan tingkat penerimaan publik yang tinggi terhadap Yudhoyono. Problemnya Yudhoyono bukan orang partai. Karena itu, sebuah partai mesti didirikan sebagai kendaraan untuk mengangkut Yudhoyono dalam pentas politik elektoral.

Faktor kesejarahan ini mewarnai hubungan Yudhoyono dengan Partai Demokrat: Yudhoyono telah berada di atas Partai Demokrat. Saya kira bukan sebuah kebetulan ketika secara organisatoris posisi Ketua Dewan Pembina dibikin untuk mewadahi pola hubungan tersebut.

Model pengembangan organisasi menambah pentingnya sosok Yudhoyono di Partai Demokrat. Standar pengembangan organisasi partai politik di Indonesia umumnya mengikuti model penetrasi teritorial ketika sejumlah pengurus pusat turun ke daerah-daerah untuk membangun jaringan, mengontrol dan mengarahkan perkembangan organisasi partai. Titik krusial proses ini adalah ikon Yudhoyono yang dipakai sebagai merek partai. Dengan demikian, ikatan antara kepengurusan pusat dan daerah dibangun dengan gravitasi yang berpusat pada personalitas Yudhoyono.

Lain halnya jika perkembangan organisasi partai mengambil model difusi teritorial. Dalam model ini, kemunculan sebuah partai diawali dari inisiatif sejumlah organisasi otonom di berbagai daerah yang membentuk kaukus di tingkat nasional. Atas kesamaan ide dan visi politik, berbagai organisasi tersebut bersepakat mendirikan sebuah partai politik.

Dalam model ini, kekuasaan komponen kaukus di tingkat daerah umumnya sama atau bahkan lebih tinggi ketimbang pengurus pusat. Peluang personalisme sangat kecil pada partai jenis ini.

Sumber lain dari superioritas Yudhoyono adalah desain kelembagaan yang bertumpu pada sistem presidensial. Sistem ini mendorong tumbuhnya politik yang berbasis personal ketimbang kolektif. Presiden selalu bersifat perseorangan sehingga atribut personal menjadi lebih penting ketimbang atribut kepartaian.

Media massa, terutama televisi, juga mendorong proses personalisasi politik itu. Efek penekanan media pada aspek kualitas personal pemimpin partai atau kandidat pemimpin politik mengalahkan pentingnya struktur kepemimpinan partai yang bersifat kolektif dan dengan demikian menomorduakan program partai.

Berbagai sumber personalisasi ini secara akumulatif bisa menjelaskan superioritas Yudhoyono di Partai Demokrat.

Yudhoyono unggul dalam dua pemilihan umum presiden. Bahkan pada Pemilu 2009 Yudhoyono menang dalam satu putaran. Suara yang diperoleh Yudhoyono jauh melampaui suara yang diraih Partai Demokrat. Dalam beberapa jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia di awal 2009 ditemukan bahwa umumnya dukungan terhadap Yudhoyono selalu dua kali lebih banyak dibanding dukungan yang diperoleh Partai Demokrat.

Pendeknya, Yudhoyono secara personal mampu melampaui partai dan posisinya menjadi rujukan para pengurus di daerah. Dalam situasi semacam ini, kandidat Ketua Umum Demokrat mau tak mau harus memperhitungkan faktor Yudhoyono dalam menentukan arah Kongres Partai Demokrat.

Lalu apa perlunya kandidat mengajukan rencana visioner lima tahun ke depan sebagai bagian dari upaya merayu calon pemilih?

Visi kandidat penting disampaikan kepada calon peserta kongres—kelak memiliki hak suara dalam pemilihan ketua umum—untuk menunjukkan bahwa si kandidat mampu membangun dukungan rasional.

Visi tentang organisasi partai modern, misalnya, memberikan standar prosedur bagi karier politik calon pemilih. Dengan visi ini, setiap peserta kongres yang akan berkarier di bidang Partai Demokrat bisa mengenali tahapan hierarki karier mereka.

Visi modern tentang penataan proses nominasi calon legislatif partai yang berbasis prestasi atau merit system bisa memberikan kepastian kepada aktivis dan pengurus partai tentang apa yang harus mereka persiapkan, misalnya, jika mereka ingin menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Perancangan strategi elektoral yang bisa memperluas peluang elektoral Partai Demokrat bisa juga dipamerkan kandidat kepada calon peserta kongres. Dengan begitu, Partai Demokrat bisa meningkatkan suara serta perolehan kursi DPR dan dewan perwakilan rakyat daerah, yang berarti memperbanyak insentif politik bagi para anggotanya.

Namun, dalam situasi sekarang ketika faktor Yudhoyono sangat berpengaruh dalam politik internal Demokrat, tawaran visi organisasi dari kandidat untuk lima tahun ke depan tampaknya tak membawa pengaruh langsung bagi kemenangan sang kandidat untuk menjadi ketua umum.

Logikanya sederhana. Rencana visioner lima tahun untuk modernisasi partai dalam dua bulan ini tak teramat penting bagi publik umum dan kurang penting bagi pengurus daerah yang akan memberikan suara di kongres.

Fungsi visi kandidat saat ini adalah meyakinkan Yudhoyono agar mau memberikan restu kepada kandidat itu. Arah Kongres Partai Demokrat kemudian ditentukan dari titik ini.

*) Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus