Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duduk di depan layar televisi besar yang terpasang di Backbencher, Ricki Herbert gelisah. ”Tapi akhirnya saya lega,” kata pelatih All Whites, julukan kesebelasan nasional Selandia Baru. Ratusan pengunjung yang memadati pub kenamaan di Ibu Kota Wellington hari itu—Sabtu dini hari waktu setempat, dua pekan lalu—turut bergembira.
Mereka menghadiri acara menonton bareng siaran langsung pembagian grup Piala Dunia 2010. Takdir undian menempatkan Selandia Baru di Grup F bersama juara bertahan Italia, serta Paraguay dan Slovakia. Dalam perhitungan Herbert, cuma Italia lawan terberat. Itu pun masih tertangani, karena dalam Piala Konfederasi di Afrika Selatan, Juni lalu, Selandia hanya kalah tipis, 3 4, oleh Italia.
Sebagai pelatih tim, Herbert, seharusnya menghadiri acara pengundian di Cape Town, Afrika Selatan. Namun pria 48 tahun itu mewakilkannya ke asisten pelatih nasional, Brian Turner. Tanggung jawab profesional memaksa Herbert tetap berada di Wellington.
Maklum, Herbert punya jabatan rangkap: sebagai pelatih nasional sejak 2005 dan klub Wellington Phoenix sejak 2007. Beberapa jam sebelum pelaksanaan undian, di belahan dunia yang lain, Herbert harus menemani Phoenix bertanding menjamu tim pimpinan klasemen Liga Australia, Melbourne Victory. Phoenix sukses menahan imbang 1-1 di Stadion Westpac.
Bagi para suporter, Phoenix tak ubahnya tim nasional. Phoenix adalah satu satunya klub sepak bola profesional dari Negeri Kiwi. Phoenix berkewajiban menegakkan kehormatan Selandia di Liga Australia. Klub itu terpaksa bermain di kompetisi negara lain karena Selandia belum memiliki liga profesional.
Liga Selandia Baru cuma diikuti delapan klub amatir atau semiprofesional. Sebagian besar pemainnya nyambi pekerjaan lain: pegawai negeri, mandor bangunan, anggota satpam, wartawan, dan lain lain.
Lalu bagaimana bisa Selandia lolos ke Afrika Selatan? Pertama, tentu saja, Herbert tidak mengandalkan pemain dari Liga Selandia. Sebagian besar anggota skuadnya berasal dari pemain yang merumput di Liga Inggris, Skotlandia, Amerika Serikat, juga Liga Australia termasuk enam pemain Phoenix. Cuma tiga yang berasal dari Liga Selandia Baru, itu pun cadangan.
Faktor kedua adalah pindahnya Australia dari Konfederasi Sepak Bola Oseania (OFC) ke Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), akhir 2006. Australia kerap menjadi pengganjal lolosnya Selandia ke putaran final Piala Dunia. Tanpa Negeri Kanguru, Selandia bak penguasa tunggal di Oseania. Dalam kualifikasi 2010 Zona Oseania, All Whites menempati peringkat teratas dengan rekor lima kali menang dan cuma sekali kalah, memasukkan 14 gol dan hanya kebobolan lima.
Lolos dari Zona Oseania, anak asuhan Herbert berhak ke babak playoff yang mengharuskan mereka bertemu Bahrain, peringkat kelima Zona Asia. Dalam laga pertama di kandang Bahrain, Manama, pertengahan Oktober, kedua tim bermain imbang tanpa gol. Dalam laga kedua di Stadion Westpac, Wellington, sebulan kemudian, Selandia Baru menang 1 0 dan berhak atas tiket itu.
”Kami harus berterima kasih kepada suporter yang mendukung kami, merekalah pemain ke 12,” kata penyerang yang mengoleksi delapan gol selama kualifikasi, Shane Smeltz. Dalam laga penentuan, Stadion Westpac, yang sejatinya cuma berkapasitas 34.500 orang, hari itu dipenuhi 35.500 orang. Seribu tempat duduk tambahan dibangun mendadak.
Tak pernah ada keriuhan semacam itu sebelumnya di Panci Kue julukan Stadion Westpac. Tidak untuk tim nasional rugbi, apalagi untuk laga Phoenix, yang penontonnya hampir hampir tak pernah mencapai 10 ribu orang.
Rugbi adalah olahraga paling populer di negara yang luasnya sekitar 269 kilometer persegi dan berpenduduk lebih dari empat juta jiwa itu. Tim nasional rugbi berjulukan All Blacks kebalikan dengan julukan kesebelasan nasional. Dalam setiap Piala Dunia Rugbi, Selandia hampir selalu mencapai semifinal. Bila tim nasional rugbi bermain di Westpac, penonton selalu mencapai kisaran di atas 25 ribu.
Panci Kue penuh dengan warna putih, tidak hitam seperti bila tim rugbi bermain. Mulai warna pakaian penonton, spanduk, ikat kepala, sampai coreng moreng di wajah suporter, semuanya putih.
Mereka berteriak teriak histeris sesaat sebelum kick off berlangsung. Standing ovation dan aplaus berkepanjangan diberikan untuk sebarisan pria paruh baya. Inilah rombongan skuad Selandia Baru yang mampu menembus Piala Dunia Spanyol 1982, catatan satu satunya Negeri Kiwi di pentas sepak bola terbesar sepanjang sejarah.
”Epos 1982” menjadi cerita legenda bagi kesebelasan Selandia. Mereka melaju ke Spanyol setelah melakoni pertandingan panjang, 15 partai, di Zona Oseania Asia. Meski akhirnya pulang tanpa satu poin pun dari tiga pertandingan di Spanyol, All Whites menginspirasi perkembangan sepak bola di negeri domba itu.
Tapi tidak semua veteran 1982 berdefile. Ada dua yang sengaja tak ikut. Mereka adalah Herbert dan asistennya, Turner. Pada saat Spanyol 1982, Herbert masih bek kiri berusia 23 tahun dan Turner penyerang cadangan. Mereka tak bergabung dengan mantan rekan rekan setim karena harus berada di ruang ganti pemain.
Di Westpac, kejayaan Selandia Baru kembali ditegakkan berkat gol semata wayang yang dicetak penyerang Plymouth Argyle (Inggris), Rory Fallon, lewat sundulan kepala, lima menit sebelum jeda. Di kursi VIP, ayah Fallon, Kevin Fallon, berteriak histeris. Kevin adalah asisten pelatih pada 1982. Mantan kiper tim 1982, Frank van Hattum, berdiri dari kursinya. Dia sekarang Presiden Asosiasi Sepak Bola Selandia Baru (NZF). Lalu kiper Mark Paston menggagalkan satu tendangan penalti Bahrain di awal babak kedua.
”Kisah 1982 telah menginspirasi negeri ini,” kata Van Hattum seusai laga. Tepat sekali. Dulu sebagian besar pemain sepak bola negeri itu adalah anak anak yang mengenal sepak bola di luar negeri. Dari 16 pemain tim 1982, cuma enam yang lahir di Selandia Baru. Tim yang sekarang, dari 14 orang yang tampil melawan Bahrain, cuma dua yang tidak lahir di Selandia Baru.
Untuk lebih memasyarakatkan sepak bola, NZF berniat mengadakan kursus gratis untuk 3.500 orang tua. Harapannya, para bapak atau ibu punya kemampuan memadai untuk melatih anak mereka sendiri. Dananya diambilkan dari uang kelolosan mereka ke Piala Dunia, dari FIFA, besarnya NZ$ 10 juta (sekitar Rp 67,5 miliar).
Di Backbencher dini hari itu, wajah Herbert paling cerah. Lebih sumringah lagi ketika manajer pub mengumumkan bahwa sosok Herbert akan dibuatkan relief untuk menghias dinding Backbencher. ”Tembok kami sangat keramat, dan Herbert memang orang keramat,” kata si manajer. Dua kali mengantar Selandia Baru, sebagai pemain dan pelatih, adalah pencapaian yang sensasional.
Andy Marhaendra (FIFA, NZL, Soccernet)
SELANDIA BARU
Jumlah penduduk: 4,33 juta jiwa
Luas negara: 268.680 kilometer persegi
Organisasi: New Zealand Football
Berdiri: 1891
Keikutsertaan: sekali (1982)
Gelar terbaik: Juara Piala Oseania 4 kali (1973, 1998, 2002, 2008)
Peringkat FIFA: 77 (3 November 2009)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo