Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”It’s not only jazz, it’s world jazz.”
Lirik Sirah Langit yang dilantunkan Siska Mamiri tak jelas benar di telinga. Gebukan drum, tabuhan bebano, cabikan bas, dan untaian melodi dari gitar dan keyboard seperti berebut menenggelamkan vokal Melayunya. Tak gaduh, tak juga terburu-buru, layaknya lenggok langgam Melayu.
Jauh datang dari Riau, Geliga begitu nama kelompok asal Pekanbaru ini diberi ”panggung” di hari kedua Bandung World Jazz Festival 2009. Bermain dua kali, siang dan petang, di Sasana Budaya Ganesha, Institut Teknologi Bandung, Geliga, yang artinya batu mustika, menyuguhkan warna baru—kalau belum bisa disebut genre jazz anyar. Mengawinkan beragam unsur jazz dengan melodi musik Melayu tak membuat lagu kelompok ini mendayu-dayu. Tapi juga tak ceria selalu.
Ada tujuh lagu yang disajikan grup jazz yang sudah menelurkan dua album ini. Semua liriknya digubah dengan bahasa syair Melayu kuno oleh Yusmar Yusuf, budayawan yang juga salah seorang pendiri Geliga.
Contohnya Sirah Langit itu. Tembang ini bertemakan sufi dan keagamaan. Penggalan liriknya berkisah tentang Nabi Muhammad, dirangkai dengan lirik puitis.
Demi bintang ketika terbenam dan
Muhammad tak sesat keliru
Sayap timur bara di ufuk tinggi
Jibril mendekat dan merapat...
Grup jazz yang berdiri pada 2002 di Pekanbaru ini diawaki Siska Mamiri (vokal), Iwan (gitar), Cipong (drum), Ryan (bas), Mat Rock (bebano), Yusman (saksofon), dan Eri Bob (violin). Awalnya, Geliga seperti ragam aliran jazz standar yang dibawa pemainnya. Yusmarlah yang menawarkan perkawinan Melayu dengan jazz. ”Ini sempat menyulitkan, karena lagu Melayu cenderung melankolis dan notasinya berbeda dengan jazz,” kata Eri.
Toh, perkawinan itu terjadi. Improvisasi keduanya dibuat berimbang. Satu-satunya corak Melayu ditonjolkan pada melodi. Alat tradisional yang diambil pun berupa kendang atau bebano. Akordeon sengaja tak dipilih, karena hanya membuat pemain sibuk bekerja. Dan hasilnya? ”Jazz Melayu segala rasa,” kata Eri, tertawa.
Perkawinan unik Melayu sebagai musik kuno tapi enak dengan sendi musik modern itu dikumpulkan dalam album perdana mereka, Geliga-Instrumental Jazz Melayu pada 2005.
Geliga adalah satu dari 15 grup jazz yang manggung pada hari terakhir festival jazz di Bandung itu. Hajatan dua hari yang diprakarsai Jendela Ide sebuah komunitas dan ruang kreatif di Bandung—ini memakai tiga panggung utama dengan nama tertentu, untuk 30 lebih grup dan komunitas dari dalam dan luar negeri.
Panggung The Spirit of Tradition didirikan di halaman Sabuga, gratis dinikmati penonton ataupun pedagang kaki lima, pengunjung bebas, dan tukang parkir. Di situ tampil antara lain Prabumi dan Ligro (akronim orgil alias orang gila). Trio asal Jakarta ini menarik perhatian pengunjung dengan jazz progresif.
Di tempat yang sama, hari berikutnya, panggung itu diberi judul Soul of Contemporary, dan menghadirkan fenomena musik urban—Sunda Underground, Traffic Jam on Sunday, dan Bad Boys Blues.
Panggung satunya lagi adalah New Dialog, dengan musisi otodidak dan kalangan akademisi dalam satu panggung. Di situ musisi bebas menafsirkan jazz.
Panggung utama sendiri mengusung tema ”Voice of the New World” atau suara dari dunia baru, berada di dalam gedung pertunjukan. Di situ, kelompok atau grup jazz etnik sengaja diberi ruang berekspresi dengan musik apa pun.
Misalnya tampilan Karinding Collaborative Project dari Bandung pada hari pertama pergelaran. Dimainkan oleh kelompok Sunda Underground, grup ini sama sekali tidak memainkan musik underground, tapi karinding. Salah satu alat musik tradisional Sunda yang sudah punah, berbentuk bilah bambu seukuran gagang es krim yang bergetar kalau ditiup. Gaung getarannya nyaring seperti kodok dan ada sedikit petikan pada dawai gitar yang dipasang lentur.
Dimainkan dengan celempung, toleat, dan keprak—semua terbuat dari bambu karinding berpadu harmonis dengan gitar, gendang, bas, drum, dan seperangkat alat musik digital. Ritme terasa menyatu ketika mereka memainkan Hampura Emak (I’m Sorry Mama), sebuah lagu yang berkisah tentang permohonan ampun kepada bumi atas kerusakan manusia.
Tampilan menarik juga disuguhkan oleh Taal Tantra. Grup asal India ini dengan eksotisnya memainkan kemeretaknya tabla, degungan gong, dan lengkingan gitar listrik, bas, dan saksofon. Atau Pigalle-44 dengan gypsy jazz yang dimotori dua gitaris Reiner Voet dan Jan Brouwer. Grup ini menampilkan aksen musik gipsi pada sajian jazz. Sentuhan tradisional jazz pada swing—meski tidak sepenuhnya, membuat tampilannya terasa cool dan impresif. Terutama pada tarikan Hermine Surloo pada harmonika dan saksofon soprano. Jauh dari karakter gypsy jazz yang ekspresif dan bertempo cepat.
Pun Sana Seni Ensemble dari Solo pimpinan I Wayan Sadra. Malam itu, bersama kawan-kawannya, ia mengeksplorasi beragam instrumen dan elemen musik etnik. Nomor yang disajikan Sadra dan kawan-kawan, antara lain, lagu Madura dan Makassar dengan eksplorasi suara vokalis perempuan yang melengking.
Memang, pergelaran bertajuk ”Voice of the New World” itu tak dibanjiri penonton layaknya konser music rock. Tapi festival jazz kedua di Bandung setelah perhelatan serupa pada era 1990 ini mampu menyedot anak-anak muda. Dari kalangan eksekutif, mahasiswa, remaja, hingga anak-anak sekolah dasar dominan ”nongkrong di lantai koridor” Sabuga hingga pertunjukan tuntas. Lalu beralih ke panggung lain, hingga pergelaran purna.
Sambil makan tahu dan minum air kemasan dari para pedagang kaki lima di sekeliling arena, jazz dan musik etnik yang tampak rumit pun seperti jadi mudah dicerna. Pada beberapa lagu, mereka dan pemusik sempat berinteraksi dengan menyanyi bersama. Tak heboh, tapi festival yang dibuka sejak siang hingga menjelang tengah malam itu cukup menyenangkan. Penonton pun diajak menikmati persilangan musik jazz dengan berbagai aliran lainnya, seperti rock, blues, dan musik etnik.
Kurator acara yang juga fasilitator musik di Jendela Ide, Djaelani, menuturkan pergelaran dua hari itu sebenarnya dimaksudkan untuk mengajak penonton menyimak genre world music yang tergolong baru. Mengenalkan sekaligus memperjuangkan world music itu agar bisa diapresiasi khalayak dan kalangan musisi Tanah Air.
Muncul pada 1980-an, aliran yang dinamai jazz etnik itu belum begitu populer. Ciri khas genre itu, kata Djaelani, pada bebunyian etnik yang dimainkan secara bebas. ”Tidak bicara instrumen, tapi bunyi dan harmoni,” kata dosen seni musik Universitas Pasundan, Bandung, itu.
Menurut dia, jazz etnik mampu mengakomodasi semua kegelisahan musisi yang berangkat dari tradisi Indonesia dan tradisi jazz di Eropa serta Amerika. Indonesia yang kaya akan instrumen dan musik etnis berpotensi menciptakan ciri khas jazz etnik sendiri. ”Karena itu, jazz bukan lagi sebuah refleksi sosial sebuah kelompok, tapi sebuah forum demokratis tempat setiap orang bebas tampil. Jazz adalah musik pembebasan, yang terbuka pada dialog,” ujarnya.
Agaknya, karena itu pula, pada pergelaran dua hari itu, kata Koordinator Bandung World Jazz Andar Manik, panitia memberikan peluang seluas-luasnya bagi musisi untuk melakukan perubahan sebebas-bebasnya. Komunitas jazz yang terlibat bebas mengeksplorasi gaya bermusiknya. Termasuk membumikan gaya bermusiknya, dengan sentuhan dan rasa lokalitas mereka.
Boleh jadi, karena menjadi ”segala rasa” itu pula, Andar memilih tak mau menyebut apa definisi ”dunia baru” pergelaran jazz selama dua hari itu. ”Kami menyebutnya jazz kumaha aing alias jazz terserah gue.”
Widiarsi Agustina, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo