Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KACA gelap jendela auditorium Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah dirasa belum cukup oleh aktivis Gerakan Indonesia Bersih. Mereka melingkupkan semua tirai, agar rapat benar-benar terjamin kerahasiaannya. Sejak akhir November, ruangan ini menjadi basis rapat-rapat aksi unjuk rasa Hari Antikorupsi Sedunia.
”Kabarnya cukup santer, ada operasi intelijen yang mau mengganggu aksi kami,” kata Tom Abdillah Has dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Rapat-rapat gerakan memang berubah tegang sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato-pidatonya, gencar menuding gerakan ini ditunggangi lawan politiknya.
Puncaknya adalah ketika SBY memberikan sambutan pada Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat di Balai Sidang Jakarta, Ahad dua pekan lalu. Yudhoyono menyatakan menerima informasi, aksi unjuk rasa Hari Antikorupsi bertujuan menjatuhkan dirinya. Sejak pidato itu, rencana Gerakan Indonesia Bersih mulai berantakan.
Salah satu penggagas aksi, Fadjroel Rachman, menceritakan pidato itu membuat mereka kesulitan menyewa panggung, alat musik, dan tata suara. Pengelola Taman Ismail Marzuki pun membatalkan areanya dijadikan tempat konser Indonesia Sehat II, yang sedianya digelar Rabu malam pekan lalu. ”Mereka khawatir ada kerusuhan dan takut dituduh terlibat gerakan makar,” kata Fadjroel.
Effendi Gazali, Yudi Latif, Ray Rangkuti, dan Usman Hamid, yang bertugas mengurusi acara, terpaksa mengubah format unjuk rasa demi memastikan acara tidak bergulir liar dan menjadi seperti dituduhkan Yudhoyono. Acara yang tadinya digagas hingga larut itu dipangkas dan dibubarkan sebelum magrib. ”Tidak usah pakai orasi, nanti yang muncul orang partai politik,” kata Ray Rangkuti dalam rapat persiapan. ”Kita undang saja agamawan untuk membaca doa.”
Tim teknis yang mengonsep unjuk rasa juga dipusingkan oleh enggannya Transparency International Indonesia dan Indonesia Corruption Watch ikut turun ke jalan. Sejak jauh hari, dua organisasi ini sudah menyatakan tak akan turun ke jalan, dan memilih menggelar acara sendiri. Bersama Transparency dan ICW, bergabung juga Imparsial, Indonesia Budget Center, Yayasan SET, serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan.
Karena dukungan mereka dianggap penting, diutuslah Usman Hamid menemui Sekretaris Jenderal Transparency, Teten Masduki. Biasanya Teten bergabung dengan acara Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (Kompak), salah satu motor Gerakan Indonesia Bersih. Namun kali ini ia menolak, tapi membebaskan anggota organisasi ikut unjuk rasa.
”Kami sudah punya acara sendiri, dan memperingati Hari Antikorupsi kan tidak harus turun ke jalan,” kata Teten. ”Kami memilih berdiskusi dan merefleksikan diri, itu sepertinya lebih pas.”
Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho mengatakan pihaknya juga memilih mengikuti diskusi di kantor Transparency International, yang dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng nasi aking sebagai simbol keprihatinan. ”Ini soal pilihan acara saja, tapi kami tetap mendukung teman-teman yang berunjuk rasa.”
Sumber Tempo di kalangan aktivis antikorupsi mengatakan keengganan ikut aksi 9 Desember itu muncul karena dalam rapat-rapat awal ada yang mengangkat wacana mendesak Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mundur. ”Itu terlalu jauh dan politis,” katanya. ”Mestinya menunggu dulu hasil proses hukumnya.”
Sumber ini bercerita, keraguan semakin kuat ketika melihat banyak politikus bergabung. ”Tidak ada sejarahnya politikus itu berkomitmen pada gerakan antikorupsi,” kata sang sumber. ”Jadi, lebih baik menarik diri daripada independensi tercederai.”
Selain rohaniwan serta organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, terdapat juga kelompok dan orang yang punya latar belakang politik, bahkan sempat menjadi rival SBY dalam pemilihan presiden 2009. Fadjroel, misalnya, sempat mencalonkan diri sebagai calon presiden independen sebelum langkahnya dihentikan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan kandidat berasal dari partai politik.
Lalu ada Komite Bangkit Indonesia, yang salah seorang aktivisnya, Ferry Yuliantono, dipenjarakan dengan tuduhan menghasut aksi memprotes kenaikan harga bahan bakar minyak oleh pemerintah Yudhoyono. Begitu juga Ali Mochtar Ngabalin dan Zainal Bintang, yang pernah menjadi juru kampanye pasangan Jusuf Kalla-Wiranto.
Namun Ali membantah masuk gerakan membawa kepentingan politis. Ia menyatakan bergabung bukan sebagai politikus, melainkan sebagai Ketua Dewan Pengurus Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia. Ali juga membantah aksi diniatkan menjungkalkan pejabat pemerintah, apalagi presiden.
Ali menantang Yudhoyono dan Kepala Badan Intelijen Negara membuktikan pernyataan bahwa demonstrasi mereka ditunggangi dan dibiayai politikus yang kalah dalam pemilu. ”Silakan cek, apakah ada komunikasi intens antara saya dan Jusuf Kalla selama perencanaan aksi ini,” katanya. Menurut dia, semua organisasi yang bergabung dalam Gerakan Indonesia Bersih membiayai diri sendiri. ”Kalau betul ada aliran dana dari koruptor, kami pasti bermewah-mewah, dan sudah tenggelam Jakarta ini oleh massa.”
HUJAN mendahului kedatangan bus-bus yang membawa pengunjuk rasa ke lapangan Monumen Nasional. Aksi Gerakan Indonesia Bersih akhirnya dipusatkan di lapangan itu. Apalagi, kata Fadjroel Rachman, mereka khawatir bentrok dengan demonstrasi massa pendukung SBY di Bundaran Tugu Selamat Datang. Rencana long march ke air mancur pun dibatalkan.
Mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa se-Jabodetabek, yang berunjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, diminta menyusul ke Monas. Anehnya, hingga acara dimulai oleh Effendi Gazali, kelompok mahasiswa itu tak kunjung tiba. ”Kami tak mengerti kenapa, tapi mereka tertahan di air mancur patung Arjuna,” kata Tom Abdillah Has.
Hitung-hitungan kekuatan massa demonstrasi memang jadi kacau-balau. Abdillah menjelaskan, Hizbut Tahrir Indonesia, yang jumlah pengikutnya besar, rupanya benar-benar tidak datang lagi setelah berunjuk rasa tiga hari sebelumnya. ”Massa yang tak punya organisasi resmi, seperti para facebooker, juga banyak yang tak jadi ikut setelah mendengar kabar kerusuhan dan operasi intelijen,” kata Abdillah.
Hingga acara berakhir, jumlah pengunjuk rasa yang ditargetkan setidaknya mencapai 27 ribu tak tercapai. Abdillah menghitung, cuma ada sekitar 12 ribu orang yang akhirnya sampai ke Monas, sehingga demo pun terkesan loyo. ”Pidato Presiden sudah menggembosi kami,” ujarnya.
Namun Usman Hamid tetap menilai aksi itu berhasil memberikan tekanan kepada pemerintah untuk serius mengusut kasus korupsi, terutama skandal Bank Century. ”Yang jelas, kemarin itu aman-aman saja,” kata Usman. ”Itu berarti tuduhan dan kekhawatiran SBY terbukti tidak benar.”
Oktamandjaya Wiguna, Bunga Manggiasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo