Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hujan, nama pemuda itu dalam bahasa di sini. Entah karena nama itu, ia tiba di Jakarta disambut hujan lebat. Lalu, ada ”hujan teriakan” histeris dari para penggemar yang mayoritas perempuan. Mereka menggapai gapai berusaha menyentuhnya. Mulai ketika dia datang di Bandara Soekarno Hatta, konferensi pers, hingga konser. Rain betul betul membetot perhatian dan mengaduk aduk perasaan penggemarnya. ”Ke mana pun saya pergi, selalu hujan,” kata Jeong Ji hoon, nama asli pemuda dengan tinggi badan 184 sentimeter itu.
Konser Legend of Rainism di ballroom JITEC Mangga Dua Square, Jakarta, Kamis dua pekan lalu, membuktikan bahwa Rain adalah pujaan. Yel yel 4.000 orang penggemar kompak meneriakkan namanya. Perempuan dari berbagai usia, dari yang isi kantongnya pas pasan untuk membeli tiket Rp 750 ribu hingga yang tajir tak berpikir panjang membeli karcis untuk kursi terdepan Rp 10 juta, dengan semangat dan cinta menikmati konser sang idola.
Reaksi penonton dalam penampilan panggung Rain sebenarnya hanya secuil bukti adiksi para penggemar itu. Sitta Hapsari, 27 tahun, penyiar dan produser sebuah radio di Jakarta, misalnya, gara gara jatuh cinta pada serial drama yang diperankan Jeong, ikut les bahasa Korea.
Sitta berbisik, sebenarnya dia ikut menjemput Rain ke bandara. Menumpang pesawat China Airlines, Rain dijadwalkan tiba pukul 20.00. Sitta sudah siap di terminal kedatangan internasional sejak pukul tujuh malam. Tapi kedatangan pesawat Rain tertunda. Sitta harus kembali ke Jakarta. Di mobil, ia terdiam dan murung. ”Bete! Tapi gue tahu, dia mendarat jam 23.20,” kata Sitta.
Candu Rain juga mempengaruhi Theresia Yuniati. Gadis 20 tahun itu mengikuti perjalanan Rain sejak tiga tahun lalu. Saat itu mahasiswi bisnis internasional di Universitas Binus International ini masih SMA. Walau dia harus duduk di kursi roda, dengan dibantu teman temannya, Theresia menikmati konser sang pujaan hati dari area VIP dengan tiket Rp 3,5 juta.
Seperti halnya di negara lain, Rain di Indonesia juga punya klub penggemar: Rain Indonesia, dengan alamat http://z11.invisionfree.com/rainindonesia. Di forum maya itulah, anggota klub fan antusias berbagi cerita mengenai segala macam tentang idola mereka. Dari jadwal konser, foto foto terbaru, hingga gosip Rain yang berniat segera menikah.
Klub fan cabang Indonesia ini dipimpin Jenny Manullang, 28 tahun, akuntan pajak di sebuah perusahaan garmen Bandung. Jenny aktif berkomunikasi dengan klub fan Rain di negara negara lain. Sebelum konser digelar, Jenny dan kawan kawannya aktif menjaring informasi dari promotor Jakarta. Mereka sudah memegang peta tempat duduk konser Rain, agar para anggota klub tidak bingung saat di lokasi konser.
Di antara anggota Rain Indonesia, ada yang hadir ke konser Rain hingga ke berbagai negara. ”Ada yang menonton Rain sampai ke New York,” kata Jenny. Saat konser di Bangkok tahun lalu, 300 fan datang dari Jepang, lengkap dengan penunjuk jalan. Jenny sendiri menonton konser Jeong di Bangkok, setelah menabung setahun. Dan dia puas. Karena Jenny menonton konser dua hari berturut turut. ”Pada hari kedua Rain tampil lebih lepas dan flirty (menggoda),” kata Jenny.
Karier dunia hiburan Jeong, 27 tahun, dimulai sebagai penyanyi pada 2002. Namanya mulai melejit ketika dia berperan sebagai bintang film muda yang belagu dalam serial drama komedi Full House (2004). Wajahnya yang unik mata sipit tapi bibir agak tebal—mengantar Jeong hingga ke pemirsa di Amerika Serikat.
Jagat hiburan pun mengenal Binama panggungnya di awal karier sebagai salah satu ikon Asia. Majalah Time pada 2006 memilih Rain sebagai satu dari 100 Most Influential People in the World. People pada 2007 memilihnya sebagai salah satu Most Beautiful People. Dua bersaudara Wachowski, Larry dan Andy, yang terkenal dengan naskah dan penyutradaraan trilogi The Matrix, menggandeng Jeong di film Speed Racer (2007). Tahun ini dia berperan sebagai tokoh pemberontak di film Ninja Assassin.
Jeong sebenarnya tidak melejit sendiri. Dia adalah bagian dari Korean Wave, gelombang pengaruh budaya pop Korea Selatan, seperti serial sinetron, band, dan penyanyi yang mulai menggejala sejak awal 1990 an. Seri drama Winter Sonata, Autumn Fairy Tale, Jewel in the Palace, misalnya, berhasil mendobrak pasar hiburan di berbagai negara Asia, termasuk Jepang dan India, bahkan hingga ke Amerika Serikat.
Ketenaran drama serial yang melankolis itu sebenarnya juga akibat ”kecelakaan”. Karena pemerintah Korea Selatan masih menerapkan sensor ketat terhadap film produksi Negeri Ginseng terutama untuk tema yang menyangkut hubungan dengan Korea Utara cerita yang paling aman adalah drama percintaan atau sejarah jauh di masa lalu, di masa kerajaan.
Ternyata dengan tema ”aman” itulah drama Korea justru berhasil membentuk formula yang pas di hati penonton: kisah cinta mengharukan. Bintang cantik, tampan, dan pemandangan alam Korea Selatan yang indah terutama diangkat ketika musim dingin dan semi—menjadi bagian dari ramuan cerita. Yang lebih memikat para penonton maaf, terutama perempuan adalah tokoh laki laki dalam serial Korea yang pantang menangis tersedu sedu dan menonjolkan sikap lemah tak berdaya bila jatuh cinta.
Kekuatan berikutnya, bukan bintang perempuan yang cantik karena itu sudah biasa tapi wajah bintang laki laki yang ”cantik”. Pada akhir 1990 an mulai terkenal istilah Korea: kkotminam atau laki laki cantik. Ini untuk menggambarkan tren laki laki Korea yang ”cantik” tapi tidak kemayu dan banci.
Sejalan dengan maraknya ekspor produk hiburan dari Korea ke berbagai penjuru dunia, makin terkenal juga tipe wajah bintang Korea. Bahkan beberapa produk kosmetik tidak canggung menjadikan wajah lelaki Korea sebagai model produk kosmetik mereka. Bae Yong jun, pemain Winter Sonata, dan Kwon Sang woo, bintang serial Stairway to Heaven dan Sad Love Song, adalah dua contohnya.
Hingga akhirnya produk hiburan Korea, baik serial drama maupun kelompok penyanyi, rata rata menonjolkan wajah bintang lelaki Korea yang selalu masuk jajaran teratas dunia beautiful men. Mereka ”cantik”, tinggi, bermata sipit, berkulit halus, namun berotot dan perut six pack. Rain dalam Ninja Assassin, misalnya, menunjukkan pencapaiannya menjadi postur khas bintang Asia: tidak kekar seperti Arnold Schwarzenegger atau Vin Diesel, namun langsing berotot.
”Gelombang Korea” makin diakui pengaruhnya oleh dunia ketika negara tersebut berhasil menyaingi industri hiburan negara Asia lainnya, yaitu Jepang, Hong Kong, Taiwan, dan Cina. Korea, misalnya berani membuat versi serial drama yang diambil dari cerita terkenal Jepang, Hana Yori Dango.
Jepang yang pertama membuat serial yang bercerita tentang empat laki laki anak orang superkaya, yang salah satunya jatuh cinta pada perempuan anak orang miskin. Versi Taiwannya, diberi judul Meteor Garden, berhasil merebakkan pengaruh budaya pop Asia Timur ke Indonesia. Nah, keluarlah Hana Yori Dango versi Korea dengan judul Boys Over Flowers. Dengan segera ketampanan empat lelaki yang terkenal dalam kelompok F4 dalam serial made in Korea itu menjadi idola baru para perempuan.
Cerita dari film Korea juga ada yang diadaptasi Hollywood. Contohnya film drama romantis Lake House, yang dibintangi Keanu Reeves dan Sandra Bullock, sebenarnya berasal dari film Korea, Il Mare. Selain Rain, bintang film Korea sudah banyak yang bermain di film yang diproduksi oleh sutradara non Korea.
Rain adalah bagian dari ”gelombang Korea”. Jeong bersama bintang Korea lainnya menambah seru dunia hiburan dengan hadirnya wajah wajah cantik dan ”cantik” khas Korea. Penggemar seperti Sitta, Theresia, dan Jenny pun siap berteriak histeris bila melihat tampang bintang Korea itu.
Ibnu Rusydi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo