Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
URUGUAY
Jumlah Penduduk: 3.361.000 jiwa
Luas Negara: 176.215 kilometer persegi
Organisasi: Asociacion Uruguaya de Futbol
Berdiri: 1900
Keikutsertaan: 10 kali (1930, 1950, 1954, 1962, 1966, 1970, 1974, 1986, 1990, 2002)
Gelar Terbaik: Juara Piala Dunia 1930 dan 1950, Juara Olimpiade 1924 dan 1928, Juara Copa America 14 kali (1916, 1917, 1920, 1923, 1924, 1926, 1935, 1942, 1956, 1959, 1967, 1983, 1987, 1995)
Peringkat FIFA: 20 (November 2009)
"ORANG mesti menguatkan diri tanpa harus kehilangan kelembutan hati.” Di dinding rumahnya di Montevideo, ibu kota Uruguay, Oscar Washington Tabarez menuliskan kalimat dari Che Guevara tersebut dengan huruf yang mencolok. Begitu kuatnya figur pejuang revolusi legendaris Amerika Selatan itu bagi Tabarez, sampai-sampai anaknya pun dinamai Tania, seperti nama panggilan kekasih sekaligus rekan seperjuangan Che.
Tabarez adalah pria dengan gaya bicara halus tapi memiliki disiplin sekeras baja. Julukannya El Maestro (sang guru), profesi yang pernah digelutinya sembari bermain sepak bola saat muda. Di tangannya, tim nasional Uruguay kembali melangkah ke putaran final Piala Dunia setelah dalam empat pergelaran terakhir cuma sekali lolos, yaitu pada 2002. Prestasi terbaik terakhir Uruguay adalah maju ke 16 besar Piala Dunia 1990. Pelatihnya juga lelaki yang kini berusia 62 tahun tersebut.
”Kelemahan kami dari waktu ke waktu adalah ketidakkonsistenan,” kata pelatih yang pernah menangani klub sekelas Boca Juniors (Argentina) dan AC Milan (Italia) ini. ”Tradisi pertahanan Uruguay yang solid dan kehadiran penyerang berkualitas di tim kami kerap kali tidak terlihat di lapangan.”
Tim asuhannya sekarang juga sempat terjerembap pada permasalahan yang sama. Dari 18 kali pertandingan kualifikasi zona Amerika Selatan, tim berjulukan La Celeste (Pasukan Biru Langit) ini mencetak catatan yang terbagi rata: enam kali menang, enam kali seri, dan enam kali kalah. Membutuhkan poin penuh di kandang sendiri, mereka justru kalah 0-1 oleh Argentina pada laga terakhir, pertengahan Oktober lalu.
Hasil itu membuat Argentina menempati posisi keempat klasemen dan berhak atas tiket langsung ke Afrika Selatan. Sebaliknya, dengan menempati tempat kelima, Uruguay terpaksa menjalani babak playoff. Empat tahun lalu, pada playoff Piala Dunia 2006, La Celeste dibekap Australia. Tabarez tak mau mengulang sejarah buruk itu.
Melawan Kosta Rika, yang mewakili zona Amerika Tengah, Utara, dan Karibia, Uruguay mencuri kemenangan 1-0 lebih dulu di kandang lawan berkat gol sang kapten tim, Diego Lugano, 14 November. Bermain di kandang sendiri, empat hari kemudian, Uruguay justru tidak tampil cemerlang. Beruntung, mereka mampu mengakhiri permainan dengan skor 1-1. Agregat 2-1 meloloskan La Celeste.
”Akhirnya kami lolos meski tak layak bangga dengan permainan kami,” kata striker veteran, Sebastian Abreu, pencetak gol di kandang pada playoff. ”Saya gembira akan hasil ini, tapi tidak senang dengan cara yang kami tempuh,” ujar Lugano, stopper senior.
Suporter juga kecewa dengan jalan berliku yang harus dilalui tim negaranya. Tapi mereka tetap bergembira. ”Lompat, melompatlah! Siapa yang tidak melompat tidak akan ke Afrika…!” Yel-yel itu berkumandang di seantero Stadion Centenario seusai laga melawan Kosta Rika. Hari itu kapasitas stadion, 65 ribu tempat duduk, tak mampu menampung penonton. Di Afrika Selatan, Uruguay akan berkompetisi dengan tuan rumah, Meksiko, dan Prancis di Grup A.
Padahal suasana awal September lalu sungguh berbeda. Presiden Asosiasi Sepak Bola Uruguay Sebastian Bauza terpaksa mengobral tiket: beli satu, gratis satu. Ini upaya untuk menarik dukungan suporter saat Uruguay menjamu Kolombia. Pasalnya, para pendukung mengancam tidak akan mendatangi Stadion Centenario karena timnya bermain jelek dan kalah 0-1 di kandang Peru. Grafiti berisi ejekan bertebaran di penjuru Montevideo. Untungnya, Uruguay tetap menang atas Kolombia, 3-1, meski bangku Centenario banyak yang kosong.
Suporter menuduh para pemain tidak mengeluarkan tenaga sepenuh hati. Tudingan itu terutama ditujukan kepada bintang yang merumput di klub-klub Eropa. Bayaran yang mereka terima dari tim Uruguay tidak sebesar gaji dari klub Eropa. Yang tersindir antara lain Diego Forlan (Atletico Madrid), Lugano (Fenerbahce), Luis Suarez (Ajax Amsterdam), Martin Caceres (Juventus), dan Sebastian Eguren (Real Villarreal).
Negara yang berbatasan dengan Argentina ini cuma memiliki penduduk kurang dari 3,5 juta orang—kurang dari separuh penghuni Jakarta. Meski begitu, Uruguay terbilang makmur, mencatat persentase angka melek huruf tertinggi di Amerika Latin, dan angka terendah dalam urusan korupsi.
Masyarakat puas untuk kesejahteraan. Tapi tidak untuk soal sepak bola. Di masa lalu, mereka pernah jaya. Uruguay adalah juara Piala Dunia pertama, 1930, yang diselenggarakan di negara itu. La Celeste kembali menjadi juara pada Piala Dunia keempat, 1950, dengan menundukkan tuan rumah Brasil 2-1 di final. Namun, setelah itu, trofi tak pernah mampir lagi ke Montevideo. Melangkah ke-16 Besar pada Piala Dunia Italia 1990 menjadi capaian terbaik dalam dua dekade terakhir.
Pada titik inilah perlu kehadiran seorang Tabarez. Asosiasi Sepak Bola Uruguay menunjuknya setelah Pasukan Biru Langit gagal pada kualifikasi 2006. Tabarez kembali ke tim nasional Uruguay setelah melanglang di tujuh klub yang tersebar di empat negara.
Tabarez melakukan semua upaya untuk memompa timnya. Di lapangan, dia memvariasikan pola, yakni 4-3-3, 4-3-1-2, 4-3-2-1, juga 4-4-2. Lawan kerap bingung dengan pergantian pola yang mendadak. Sebagai mantan stopper, Tabarez menjelma menjadi seorang pelatih dengan falsafah sepak bola menyerang. Pada kualifikasi zona Amerika Latin, Uruguay mengoleksi 28 gol, kehausan gol yang cuma dikalahkan oleh pemimpin dan runner-up klasemen, Brasil dan Cile.
Di luar lapangan, Tabarez menganjurkan para pemainnya membaca tulisan-tulisan Eduardo Galeano, penulis kenamaan Uruguay yang juga sahabat sang pelatih. Karya Galeano berfokus pada sejarah Amerika Selatan dan perlawanan terhadap kapitalisme. Ini untuk memupuk semangat nasionalisme pemain. Tak lupa, El Maestro tetap berpatok pada ajaran Che. ”Banyak hal yang harus kami benahi sebelum berangkat,” kata El Maestro.
Andy Marhaendra (Soccernet, AFP, FIFA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo