Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Saya janda.”
”Saya duda.”
”Saya 35.”
”Saya 53.”
”Wah, beda 20 tahun. Kelamaan.”
”Justru yang kelamaan bagus. Daripada sebentar?”
”Ha-ha-ha. Bisa aja!”
BETHARIA Sonata tertawa sambil menggandeng pria itu. Pengunjung terbahak mendengar keduanya bersahut-sahutan. Franky Tiger, nama pria tadi, lalu membuka dompet. Dia menaruh tiga lembaran uang biru di tatakan partitur di depan panggung. ”Cuma tiga?” tanya sang biduan. ”Nanti ada lagi,” kata Franky, tertawa lebar.
Satu malam di awal Desember, Betharia Sonata tampil di sebuah panggung. Bukan konser besar, bukan pertunjukan yang didatangi kamerawan televisi dan fotografer. Tempatnya di pub di lantai dua sebuah hotel di Jakarta Pusat.
Betha, seperti tertulis pada poster dan spanduk yang terpasang di depan hotel itu, tampil pukul sebelas malam. Gratis. Di Pub Bougenville, Hotel Grand Menteng, Jalan Matraman, itu orang-orang datang sejak malam masih belia. Tawa pria dan wanita berbaur. Dialek berbagai daerah bercampur, bersaing dengan suara musik hidup.
Pukul sebelas malam, Betha sudah siap di pojok pub, terpisah dengan ruang utama oleh sebuah pintu. Dalam balutan gaun merah menyala yang membanggakan bahu, ia berbincang santai dengan manajernya, seorang pria gempal yang menyebut dirinya Iwan M.R.
Lalu seorang pemandu acara mengumumkan kemunculan sang bintang. Betha berdiri merapat ke tembok. Ia terdiam. Wajahnya tampak tegang, matanya menerawang. Saat pintu terbuka, senyum manis nan lebar sudah tersungging. Ia melambai kepada pengunjung, yang menyambut dengan sorak dan tepuk tangan.
Sri Betharia Sonata kini 49 tahun. Ia pernah sangat ternama di negeri ini. Cerita kelu di lagu Hati yang Luka pada 1990-an berkumandang di mana-mana. Suaranya yang mendayu-dayu banyak ditiru oleh penyanyi perempuan lain. Tapi waktu berlalu. Kini apakah ada yang ingat bahwa album Hati yang Luka pernah meraih penghargaan Golden Cassette HDX?
Namun pengunjung malam itu tentu ingat siapa Betha yang dulu. Sang biduan lawas pun santai saja menanggapi celetukan pengunjung yang mengungkit kisah cinta lamanya. ”Cinta memang sakit, namun indah. Saya tidak pernah kapok bercinta,” kata Betha. Lalu ia menyanyikan Pulangkan Saja. Vokal melengkingnya yang khas pun terdengar, masih seperti dulu.
Pada ”dulu” itulah tersimpan hal-hal yang layak dikenang. Seperti Franky Tiger, penonton asal Flores yang digandeng Betha di panggung, penonton lain datang untuk bernostalgia. Misalnya Firmansah, 30 tahun, karyawan swasta yang duduk berteman sebotol bir. Ia tak hafal semua lagu Betharia. Tapi, ”Siapa sih yang tidak kenal hitnya? Waktu itu saya masih kecil. Lagu-lagu cengeng ini begitu lakunya,” kata dia.
Menjual nostalgia itu dipahami betul oleh Harry Saputra, penanggung jawab Pub Bougenville. Dialah yang mengatur agar penyanyi-penyanyi jadul zaman dulu bisa menghibur pengunjung pub. Betharia sudah tiga kali menyanyi di sana. Sebelumnya, pernah tampil pula Benny Pandjaitan dari Panbers dan penyanyi asal Filipina, Maribeth, yang tenar dengan lagu Denpasar Moon.
”Mayoritas tamu kami berusia di atas 30 tahun, jadi sangat kena dengan lagu-lagu mereka,” kata Harry. Dengan jurus operasi seperti itu, tamu-tamunya terhibur. ”Jarang klub dan pub yang melakukan apa yang kami lakukan,” begitu dia membanggakan strategi bisnisnya.
Harry menerapkan strategi sama di Cafe Matoari, Hotel Central, Jalan Pramuka, Jakarta Timur, yang juga ia kendalikan. Pengunjung kedua tempat yang ia kelola biasanya tamu-tamu daerah yang tengah berkunjung ke Jakarta dalam rangka dinas kerja atau urusan bisnis. Karena itulah ia tak menggelar acara saat tahun baru. Sebab, tamu langganannya, para penggemar nostalgia itu, tidak ada di Jakarta. ”Saya bukan penggemar, tapi saya selalu menciptakan suasana bagi penggemar mereka. Para penyanyi senior harus dihargai. Siapa lagi kalau bukan oleh kita?” kata Harry.
Berapa tarif biduan-biduan lawas itu? Seorang pegawai berbisik, mereka biasa dibayar paling banyak Rp 15 juta. Soal ini, Harry enggan berkomentar dengan alasan tak etis. Tapi ia membebaskan para penyanyi membuka ”ladang sawer” seperti Betharia. Tradisi yang membuat pub terasa hangat itu, kata Harry, biasanya diusulkan manajer penyanyi yang diundang.
Para penyanyi diiringi musisi tetap pub. Salah satunya basis Begie Susanto, 48 tahun. Di antara biduan lawas yang pernah dia iringi ada Yuni Shara dan Mayangsari. Tak perlu latihan berat, karena lagu-lagu mereka standar pub dan tempat karaoke, baik lagu berbahasa Inggris maupun domestik. Begie, yang sudah sepuluh tahun bekerja di Grand Menteng, tampak tak takjub lagi dengan siapa pun penyanyi yang ia iringi. ”Mereka baik-baik semua, tapi kami tak pernah ngomong-ngomong,” ujarnya.
Biduan lawas lain yang lenyap dari perhatian adalah Christine Natalina Panjaitan, 49 tahun. Suaranya pernah membahana dengan lagu-lagu karangan Rinto Harahap, seperti Katakan Sejujurnya. Wajahnya yang imut, pas dengan rambut panjang dan lurusnya, hadir di poster-poster dan kalender di masa lalu.
Christine, yang lahir 23 Desember 1960, adalah penyanyi Indonesia berdarah Tapanuli. Sejak menikah pada 1986, sarjana sastra itu perlahan mengurangi aktivitas bernyanyi. Dia bahkan sempat mengajar bahasa Mandarin di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Christine kini lebih banyak di Bandung. Di Jalan Mangga 23, ia membuka Butik Songket. Bisnis itu ia lakoni berawal dari kerepotan mencari songket tiap kondangan. ”Maka saya beli banyak, sekalian saya jual,” ujarnya.
Tapi Christine tak pernah lepas dari menyanyi, ternyata. ”Semakin tua, semakin enak narik suaranya,” kata dia. Saat gadis dulu, Christine mengenang, ia kerap mengeluh kepada ibunya karena lelah menyanyi.
Untungnya, masih banyak panggung untuk Christine. Selain undangan dari pub seperti yang dikelola Harry Saputra tadi, ada panitia acara pernikahan yang mengajak Christine menyanyi. Biarpun diundang ke Jambi dan Medan, seperti pada Desember lalu, ia menyanggupinya. Dia juga sempat menyanyi di acara ulang tahun Kota Purbalingga. Alhasil, ”Aktivitas saya cukup banyak,” ujar Christine, yang mengaku tidak melakukan persiapan khusus sebelum menyanyi.
Khazanah penyanyi Indonesia menyimpan setumpuk nama. Banyak di antara mereka yang tak lagi ramai ditulis di media. Tapi mereka tetap beraktivitas. Ada yang meninggalkan hiruk-pikuk panggung, seperti mantan rocker Harry Moekti, yang kini rutin berceramah pagi di sebuah masjid di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan.
Ada pula Debby Murti Nasution, pendiri Gank Pegangsaan, yang juga giat dalam aktivitas agama. Tapi Debby tak melupakan musik. Oktober lalu, misalnya, ia tampil bersama abangnya, Keenan Nasution, Fariz Rustam Munaf, Eet Syahrani, dan sederet musisi muda. Sebelum manggung, ia tak lupa menjadi imam salat bagi istri dan anaknya di musala Komunitas Salihara, Jakarta Selatan.
Bagi yang ingin menonton penyanyi lawas, agaknya memang butuh usaha ekstra. Pasang telinga, pasang mata. Bila melintas di Cikini, Matraman, dan sekitarnya, rajinlah membaca spanduk-spanduk di depan hotel. Barangkali ada panggung untuk bernostalgia.
Ibnu Rusydi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo