Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK sedikit yang percaya bahwa Tiger Woods patut disorot bukan semata sebagai atlet, melainkan juga sosok yang penting secara politis dan, bahkan, spiritual. Tentang penerusnya yang bernama asli Eldrick Tont Woods itu, Tom Watson, pegolf nomor satu pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, pernah berkata, ”Dia (Woods) sesuatu yang supernatural.”
Tapi kepercayaan mengenai hal itu datang belakangan. Banyak yang sebelumnya menganggap pendirian Earl dan Kultida Woods, orang tua Tiger, yang sampai menyamakan anaknya itu dengan Gandhi dan Buddha, sebagai wujud kebanggaan orang tua saja. Kebanggaan yang kelewat aneh. Earl, misalnya, dikutip Sports Illustrated pada 1997, berkata, ”Tiger akan melakukan lebih banyak hal ketimbang orang lain yang mana pun dalam sejarah untuk mengubah arah kemanusiaan…. Dialah Yang Terpilih. Dia akan punya kuasa untuk mengubah negara. Bukan orang. Bangsa.”
Tiga belas tahun lalu itu, pada usia 22 tahun, Tiger baru saja mencetak kemenangan yang memecahkan rekor di turnamen The Masters (atau The U.S. Masters), satu dari empat kejuaraan utama golf profesional. Dia melakukannya hanya kurang dari setahun setelah memutuskan bermain di arena profesional. Mungkin karena percaya bahwa siapa pun bisa melakukannya, banyak orang tak melihat lebih jauh sebagaimana Earl dan Kultida.
Dan memang setelah itu, sejak paruh kedua 1997 sampai 1998 berakhir, Tiger sempat tersendat. Dia hanya menguasai satu turnamen PGA Tour. Tapi kemenangannya dalam Memorial Tournament pada Juni 1999 merupakan titik awal dia melakukan lompatan-lompatan yang tak tertahankan; dari situ dia mengumpulkan kemenangan demi kemenangan dan mengukuhkan periode dominasinya dalam sejarah golf—prestasi yang menjadikannya pegolf paling sukses sepanjang masa.
Karena kejayaan yang nyaris tiada duanya itulah kedua orang tuanya melihat sesuatu yang luput dari pengamatan sebagian besar orang. Robert Wright, yang menulis di Slate, misalnya, mengaku akhirnya bisa memahami mengapa Earl dan Kultida sampai berkata-kata dalam nada mistis tentang anaknya itu. Salah satu alasannya, menurut Wright, seorang atlet luar biasa seperti Tiger, di dunia modern ini, dan berkat CNN, Nike, dan lain-lain, punya potensi membangkitkan perhatian global dan bahkan sanggup melintasi batas-batas negara dan kultur dengan cara yang tak seorang pemimpin politik atau agama pun mampu melakukannya. Ini, jika benar dilakukan atau ”dikapitalisasi”, bukan mustahil bisa berdampak lebih besar ketimbang pengaruh Gandhi atau Buddha.
Sebenarnya tidak ada yang mistis. Earl dan Kultida tentu menyaksikan bagaimana Tiger, yang lahir di Cypress, California, pada 30 Desember 1975, memperlihatkan dirinya sebagai anak ajaib. Bakatnya sebagai pegolf sudah muncul sejak usianya dua tahun. Di usia tiga tahun, dia berhasil memukul bola ke hole, mengalahkan komedian Bob Hope, dalam acara televisi The Mike Douglas Show. Dua tahun kemudian, dia tampil dalam acara That’s Incredible di stasiun televisi ABC. Pada 1984, dia menjuarai kelompok usia 9-10 (kelompok termuda yang ada) pada Junior World Golf Championship. Dia lalu enam kali mendominasi kejuaraan yang sama.
Kemampuannya terus terasah dan kian bersinar ketika dia bersekolah di Western High School, Anaheim, dan kuliah di Stanford University. Semasa sekolah menengah atas, dia antara lain menjadi juara termuda di U.S. Junior Amateur Championship, terpilih sebagai Southern California Amateur Player of the Year untuk kedua kalinya, dan menjadi juara termuda U.S. Amateur Championship (rekor yang baru dipatahkan 14 tahun kemudian, pada 2008, oleh Danny Lee). Saat menjadi mahasiswa, selain menjuarai beberapa turnamen amatir, untuk pertama kalinya dia ikut Masters Tournament, turnamen utama PGA Tour.
Dia meninggalkan kuliah dan memilih menekuni golf sepenuhnya dengan beralih ke ajang profesional pada 28 Agustus 1996. Di Brown Deer Park Golf, sebelum turnamen Greater Milwaukee Open dibuka, dia mengumumkannya dengan berkata, ”Hello, world.” Dia pun menandatangani kontrak dengan Nike Inc. dan Titleist, masing-masing senilai US$ 40 juta dan US$ 20 juta—kontrak-kontrak yang tak lama kemudian ikut berperan mendaratkannya ke posisi sebagai miliarder golf pertama.
Banyak yang ragu terhadap tekadnya saat dia menjadi pemain profesional itu. Sebab, misalnya, Tiger belum sekali pun meraih kemenangan di ajang PGA Tour. Tapi, kita tahu, selebihnya kini adalah sejarah cemerlang seorang lelaki yang di dalam dirinya mengalir darah Asia (Cina dan Thailand), Afro-Amerika, Indian, dan Belanda. Ya, cemerlang, bagaimana pun sejarah itu lalu berakhir. Berakhir? Mungkin di satu episode hidupnya. Jika mau mengikuti pandangan mistis Earl dan Kultida, dia bisa punya peluang untuk episode lainnya.
PS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo