AGUM Gumelar, 58 tahun, akhirnya sampai ke puncak. Dalam pemilihan Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia, Kamis dua pekan silam, dia menyabet lebih dari separuh suara dari peserta musyawarah olahraga nasional. Di Wisma Serba Guna Senayan, Jakarta, 42 suara dari total 79 suara yang ada (49 induk olahraga dan 30 KONI daerah) meluncurkan bekas Komandan Kopassus ini ke kursi ketua umum, menggantikan Wismoyo Arismunandar.
Sejak awal, dibandingkan dengan calon lainnya seperti Gubernur DKI Jakarta dan Ketua Umum PB Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) Sutiyoso, Ketua Umum PB Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (Forki) Luhut Binsar Pandjaitan, dan Wakil Ketua Umum I KONI Pusat Arie Sudewo, Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi ini memang mendapatkan dukungan lebih.
Toh, naiknya Agum memimpin organisasi olahraga tertinggi di negeri ini menuaikan banyak pertanyaan. Sebabnya? Tak perlu menggali dalam-dalam. Sejak ia menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 1998, tak satu pun gelar bisa disabet tim Merah Putih. Paling mentok menjadi runner-up. Hasil paling mutakhir, akhir tahun lalu, tim PSSI masuk final Piala Tiger di Jakarta. Di final, di depan jutaan pasang mata pendukungnya, tim Indonesia kalah oleh Thailand.
Kritik macam itu langsung membuat Agum meradang. Menurut dia, kinerjanya selama menjadi Ketua Umum PSSI tidak bisa dilihat dari pencapaian prestasi yang didapat tim nasional, tapi harus dilihat dalam kacamata yang lebar. Agum lalu memberi contoh keberhasilannya dalam menggulirkan kompetisi sepak bola anak-anak usia 10 tahun hingga divisi utama. "Kepengurusan PSSI juga berhasil memenuhi amanat kongres, yakni membawa PSSI masuk final Piala Tiger," katanya dengan nada tinggi.
Olahraga bukan dunia baru bagi lelaki berperawakan sedang ini. Dalam menyampaikan visi dan misinya, di depan para peserta musyawarah nasional, dia pun mengungkapkan betapa olahraga telah menjadi bagian hidupnya. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, Agum, kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 1 Desember 1945, mencintai olahraga. "Angka rapor saya semuanya merah kecuali nilai olahraga saya, delapan," katanya.
Sebelum menjadi Ketua Umum PSSI, dia pernah mengurus Persatuan Sepak Bola Perwira Tinggi ABRI, Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI), pengurus olahraga terjun payung (FASI), Ketua Klub Sepak Bola Persija Timur (sejak 1992), dan Ketua Pelaksana Liga Indonesia (1993-1995).
Lantas apa targetnya setelah menjadi Ketua Umum KONI? Kamis pekan silam, Gendur Sudarsono dan Ir- fan Budiman dari TEMPO mewawancarai Agum Gumelar di kantornya, Departemen Perhubungan, Jakarta Pusat. Cuplikannya:
Anda berhasil menjadi Ketua KONI. Saat itu Anda kaget atau sudah yakin bakal terpilih?
Sebenarnya tak semulus itu. Semula saya sempat mencium adanya permainan uang. Tapi batin saya bilang, itu tidak benar. Kalau memang benar ada yang seperti itu, saya pikir tentu ini mengotori suasana olahraga kita. Sempat saya berniat mundur. Namun, saya merenung lagi, rasanya kok enggak mungkin ada permainan uang. Saya yakin semua orang di musyawarah olahraga nasional berjiwa sportif. Ternyata isu itu memang tidak benar.
Dalam musyawarah nasional, saya sempat didatangi pejabat penting KONI. Dia malah bertanya soal tabrakan kereta api di Sumatera Selatan. Terus terang, saya lemas. Tapi kok enggak ada laporan ke saya? Ternyata kabar itu kan enggak benar. Mungkin dia hanya mendengar dari orang. Jadi ini hanya isu yang dilemparkan. Jadi usaha yang tidak sportif ini pun sempat muncul.
Sebetulnya kenapa sih Anda bersedia mencalonkan diri?
Bukan saya yang ingin, tapi KONI yang membutuhkan saya, dari aspirasi yang berkembang. Mulanya saya diam saja. Mula-mula satu-dua koran memuat soal ini. Saya diam saja. Lama-lama ada orang yang datang meminta saya. Itu kan aspirasi.
Kira-kira apa yang membedakan KONI yang dulu dengan yang Anda pimpin sekarang?
Saya pikir siapa pun yang menjadi Ketua Umum KONI berharap akan menghasilkan prestasi. Yang membedakannya adalah seni kepemimpinannya. Kita harus menghargai perbedaan itu sejauh nawaitunya untuk memajukan olahraga. Jadi, ke depan, tentunya saya tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu.
Lalu bagaimana susunan kepengurusan nanti? Praktis baru semua?
Oh, tidak bisa begitu, dong. Spirit kesinambungan juga harus ada. Tapi harus pandai memilih mana yang harus dilanjutkan atau tidak. Tidak mungkin dari yang ada itu jelek semua.
Kegagalan apa saja yang menurut Anda dilakukan kepengurusan lalu?
Tidak perlulah kita menunjuk keburukan di masa lalu. Cukup disimpan dalam hati.
Lalu tekanan Anda pada KONI mendatang?
Titik berat pembinaan itu terletak pada masing-masing organisasi. KONI bertugas sebagai koordinator dan berusaha menstimulasi pembinaan prestasi di masing-masing cabang. Misalnya pembinaan tinju tetap dilakukan oleh Persatuan Tinju Nasional, apa masalahnya? Enggak ada dana? KONI harus berusaha membantu dana.
Idealnya memang begitu. Tapi, soal dana, bagaimana mengatasinya?
Rancangan Undang-Undang Olahraga harus segera digulirkan. Dengan adanya undang-undang, program pembinaan olahraga ini bisa didanai negara. Lainnya, dikembangkan kerja sama dengan swasta, tapi bukan dengan menekan mereka, melainkan menjual sesuatu kepada mereka dalam rangka sponsorship. Selain itu, dana diharapkan dari badan usaha milik negara (BUMN). Di negeri ini ada sekitar 160 BUMN. Ada kira-kira 50 persen yang gemuk. BUMN seperti ini nantinya kita harapkan bisa kita giring menjadi bapak angkat dari beberapa cabang olahraga. Kalau keuntungan mereka disisihkan untuk pembinaan olahraga, saya pikir tidak akan dikritik rakyat.
Orang sering mempersoalkan cara penggalangan dana seperti itu karena kerap bocor, tak sampai ke atlet.
Kalau Anda berpikiran seperti itu, berhentilah semua keinginan itu. Saya bisa kasih contohlah ketika saya di Kopassus. Beberapa fasilitas saya bangun. Dari mana duitnya? Dari kawan-kawan. Para pengusaha itu rela membantu sejauh bantuan itu dimanfaatkan betul-betul.
Kenapa enggak mencoba melalui pengumpulan dana dari masyarakat. SDSB seperti dulu….
Ah, enggak, jangan berpikir dulu ke sana.
Tapi Anda setuju dengan cara pengumpulan dana seperti itu?
Saya rasa itu memberikan harapan agar pembinaan bisa berlangsung dengan baik.
Apakah faktor dana juga yang membuat prestasi olahraga kita terus merosot?
Negara lain berlari lebih cepat dari kita. Lihat saja Thailand. Pemerintahnya mengeluarkan bujet US$ 2 miliar (sekitar Rp 18 triliun) untuk olahraga per tahun. Begitu juga negara lainnya. Mungkin itu yang menjadi penyebab kekalahan kita. Makanya, RUU Olahraga ini harus menjadi prioritas, sehingga pemerintah punya tanggung jawab.
Nanti dulu. Petenis Angelique Widjaja kan sama sekali tidak bergantung pada induk organisasinya? Dia membiayai keberangkatannya ke luar negeri dengan uangnya sendiri.
Tidak. Secara organisasi, tetap dia terikat.
Keberhasilan Angie itu sebenarnya menyiratkan peran masyarakat dalam memajukan olahraga lebih efektif ketimbang yang dilakukan negara. Semestinya pemerintah mengambil jarak dalam soal pembinaan. Serahkanlah kepada masyarakat….
Oh, tidak. Dalam manajemen negara, peran pemerintah memang akan mengecil. Tapi, khusus untuk olahraga, tanpa dorongan negara, olahraga akan sulit berkembang. Misalnya tiba-tiba pemerintah memutuskan me-ruilslag Stadion Senayan. Nah, ini keputusan yang sangat tidak mendukung pembinaan olahraga. Dengan UU Olahraga, nantinya pemerintah didorong untuk tidak melakukan itu. Kenapa begitu? Karena kita belum seperti di Amerika Serikat yang sudah profesional. Kita sedang menuju ke sana.
Pada kepengurusan yang lalu, Wismoyo hanya mengurusi KONI, toh hasilnya tidak menggembirakan. Sekarang, jabatan Anda banyak. Bagaimana Anda bisa meyakinkan bahwa Anda bisa berhasil mengurus KONI?
Saya rasa Pak Surono, ketika menjadi Ketua KONI, juga merangkap jabatan. Dia salah satu menteri di kabinet. Toh, beliau berhasil, kan? Nah, saya tegaskan, saya diberi kepercayaan, saya akan commit. Menurut saya, jabatan Ketua KONI akan lebih efektif bila dipegang pejabat. Buktinya begitu di beberapa negara, misalnya Korea Selatan. Dulu, Roh Tae-woo menjadi Ketua Komite Olimpiade di negerinya. Kita lihat saja, cukup efektifkah saya di sini.
Pesta Olahraga Asia Tenggara di Vietnam nanti akan menjadi ujian buat Anda….
Boleh dibilang seperti itu, tapi SEA Games kan waktunya singkat. Bagaimana kepengurusan bisa berbuat optimal? Kriteria berhasil itu harus dirumuskan bersama. Jangan kita terjebak. Lagi pula sasaran utama bukanlah SEA Games, melainkan Asian Games dan Olimpiade. Saya pikir tolok ukurnya dilihat dalam kehidupan olahraga sehari-hari sajalah. Kriteria keberhasilan dalam membina olahraga jangan dilihat dari segi prestasi yang menonjol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini