Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemerintah Pusat Mengasah Taring

Presiden Megawati diam-diam meneken dua peraturan pemerintah. Upaya mengebiri kewenangan daerah ini langsung ditentang.

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-diam pemerintah pusat tengah mengasah taring yang sempat majal. Dua peraturan pemerintah (PP) yang diteken Presiden Megawati, 17 Februari 2003, memangkas sejumlah kewenangan daerah kabupaten dan kota yang belum lama mereka nikmati. Tapi daerah-daerah menolak. Kedua peraturan pemerintah itu adalah PP No. 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dan PP No. 9/2003 mengenai Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Tapi, bagi pemerintah kabupaten dan kota, pemberlakuan kedua PP itu membuat mereka harus menutup sebagian kantor dinas, yang lalu kembali diurus pusat dan provinsi. PP No. 8 tegas menyebutkan jumlah maksimal sepuluh kantor dinas dan delapan lembaga teknis di kabupaten dan kota. "Itu berarti kami harus menciutkan dinas dan lembaga teknis," kata Hasbullah Djabar, Bupati Gowa, Sulawesi Selatan. Artinya, separuh dari 20 kantor dinas dan empat dari 12 kantor dan badan di Gowa harus ditutup atau digabungkan. Padahal UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah tegas memberikan kewenangan kepada daerah untuk membentuk lembaga teknis berupa badan atau kantor. Juga wewenang penuh penamaannya. "Yang dibutuhkan hanya persetujuan DPRD," kata Hasbullah. Kedua PP itu pun langsung menjadi pembicaraan di kantor-kantor dinas di Gowa. Dan kinerja aparatnya menjadi merosot. "Mereka resah akan dampaknya," kata Hasbullah. Maka, atas nama Pemerintah Kabupaten Gowa, ia menolak tegas kedua PP tadi. Kota Makassar, Sulawesi Selatan, juga menolak. Kota yang memiliki 18 dinas serta 10 kantor dan badan ini juga harus menutup delapan kantor dinasnya. "PP itu langkah mundur dalam perjalanan otonomi daerah," kata Wali Kota Makassar Amiruddin Maula. Apa salahnya PP itu? PP No. 9/2003 mensyaratkan persetujuan gubernur provinsi bagi tiap pengangkatan dan pemberhentian pejabat setingkat eselon dua. Padahal, menurut UU No. 22/1999, semua itu wewenang bupati atau wali kota plus persetujuan DPRD. Dua PP tadi pun menjadi bola panas yang siap menggelindingkan penentangan daerah terhadap pusat. Menurut Amiruddin Maula, asosiasi beranggotakan 187 pemerintah kota dan 340 pemerintah kabupaten di seluruh Indonesia sudah menyatakan penolakannya. Rudy Alfonso, Direktur Eksekutif Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi), menyatakan bahwa asosiasi beranggotakan 68 DPRD kota itu akan menunjukkan sikap pekan ini. "Adeksi tidak akan ragu-ragu menolak pemberlakuan PP itu bila memang bertentangan dengan semangat otonomi daerah," katanya. Upaya pusat menarik sebagian kewenangan daerah boleh jadi jalan pintas untuk mengembalikan taring pusat atas daerah. Sejak gong otonomi daerah ditabuh pada 1 Januari 2001, sistem baru ketatanegaraan Indonesia itu tak pernah benar-benar terlaksana. Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid sampai memilih mundur dari kabinet melihat upaya pusat mengukuhkan dominasinya atas daerah. Ryaas kesal atas sikap Abdurrahman yang enggan meneken seratusan keputusan presiden yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Belakangan pemerintah pusat mengajukan revisi atas UU No. 22 dengan pelbagai dalih. Upaya dengan dukungan para gubernur ini ditentang serempak empat asosiasi pemerintahan daerah yang beranggotakan pemerintah dan DPRD kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Gagal merevisi undang-undang itu, Jakarta menempuh cara lain, ya, dengan menerbitkan dua PP tadi. "Dua PP ini menunjukkan telah terjadi pelanggaran undang-undang oleh pemerintah pusat sendiri," kata Bupati Hasbullah. Tapi Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Oentarto S. Mawardi membantah pemerintah pusat memangkas kewenangan daerah lewat dua PP itu. "Ini lebih untuk menertibkan," katanya kepada Sri Wahyuni dari Tempo News Room. Oentarto menunjuk soal pengangkatan orang bukan putra daerah sebagai pejabat, yang banyak ditolak di berbagai daerah. Yang belum pantas menjabat suatu jabatan pun, katanya, "Karena dia putra daerah, dia dinaikkan. Yang seperti ini yang ingin kita tertibkan dalam PP-PP itu." Tomi Lebang, Muannas (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus