Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Aksi Borong dan Cuci Gudang

Klub yang tak terimbas krisis finansial gencar membeli pemain, yang terancam bangkrut siap-siap jual murah aset. Namun, bagi pemain, uang bukan segalanya.

12 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG bertarung melawan Chelsea pada musim lalu, Wayne Rooney, pemain Manchester United, sempat merengek kepada Sir Alex Ferguson, sang manajer. Dia ingin diturunkan sebagai penyerang. Ferguson menolaknya meski Rooney terus merajuk. ”Sejak di sekolah, saya selalu bermain di tengah,” kata Rooney. Tapi Ferguson tetap pada keputusannya. ”Ya, tapi bukan saat melawan Drogba,” katanya.

Rooney tentu saja kecewa. Lagi-lagi dia terpaksa turun sebagai pemain sayap. Menjelang kick off, Ferguson tak banyak perintah. Tapi dia memberikan harapan: kelak Rooney bisa kembali ke posisi idamannya, striker. Pada awal tahun ini, Ferguson menepati janji. Hanya beberapa hari setelah kalender 2008 berganti, dia berhasil memboyong dua pemain dari Serbia. Mereka adalah Zoran Tosic, 21 tahun, dan Adem Ljajic, 17 tahun. Sebelumnya, kedua anak muda ini bermain di klub Partizan Zagreb.

Tosic jelas bukan pemain kacang­an. Banyak klub besar yang juga meng­incarnya. Kemampuannya bermain di sisi lapangan sungguh menawan. Itulah yang membuat Ferguson menjilat ludahnya sendiri. Pada Natal lalu, dia menyatakan klubnya tidak akan membeli pemain lagi. ”Skuad ini sudah lengkap,” katanya. Tapi dia berubah pikiran. Ferguson mengajukan proposal ke manajemen klub untuk mengeluarkan uang 17 juta pound sterling atau sekitar Rp 340 miliar.

Harga yang murah. Bandingkan dengan Di­mitar Berbatov, yang diboyong dari Tottenham Hotspur, awal musim lalu, dengan uang hampir 26 juta pound sterling atau Rp 500 miliar.

Rooney berlega hati bisa bermain di posisi yang dia sukai, dengan hadirnya pemain yang baru dibeli dari Eropa Timur. Tapi keputusan Ferguson membeli pemain saat ini—ketika dunia dibelit krisis finansial—tentu bukan sekadar menyenangkan hati Rooney. Pertimbangannya sebagai manajer jauh lebih besar dari itu: agar Manchester United lebih mendulang prestasi dan keuntungan di masa sulit—ya, sebenarnya mirip pertimbangan pengelola perusahaan kebanyakan.

Musim jual-beli pemain pada masa resesi ini memang unik. Pembelian pemain bak judi dengan taruhan tinggi: menang besar atau kalah besar. Itulah mengapa pembelian pemain menjadi bahan omongan yang lebih seru dibanding tahun-tahun normal. Apalagi banyak juga klub yang megap-megap kekurangan dana. Klub West Ham United, misalnya. Gara-gara bank milik bosnya di Islandia lunglai kehabisan modal, klub ini terancam dijual. Uang hasil dari penjualan klub itu akan dipakai untuk kembali menyuntik mo­dal klub.

Klub lainnya pun demikian. Di Spanyol, Valencia juga mengalami kesulitan finansial. Kewajiban pada bank untuk membayar pinjaman tak jua dapat mereka penuhi. Berburu dengan waktu, tak ada pilihan bagi mereka selain menjual bintangnya. David Villa dan Daniel Silva, dua an­dalannya, bisa dibeli klub mana pun, asalkan harganya cocok.

Krisis ekonomi memang merambah hing­ga ke lapangan hijau. Klub-klub milik cukong perusahaan yang terimbas krisis terancam bangkrut. Jurus yang dilakukan adalah ”cuci gudang” untuk pemain atau bahkan jual gelondongan—dijual satu klub. Namun klub kaya, yang tetap punya sumber dana likuid, terus membeli pemain.

Dan ini baru adegan pembuka. Para pengamat finansial di Inggris melihat puncak dari dampak krisis ke­uangan ini akan terasa pada kuartal kedua tahun ini atau ketika kompetisi musim mendatang dimulai. Mereka melihat setidaknya 11 klub akan kekeringan uang. Nah, pada saat itulah mereka dipastikan akan melego para pemainnya.

Pada umumnya klub lebih suka menjual ketimbang membeli pemain. Salah satu klub yang diam-diam terancam adalah Liverpool. Masalahnya, dua bank yang menjadi sumber kredit klub ini, yakni Royal Bank of Scotland dan Wachovia, tergolong perusahaan yang seret dananya gara-gara krisis. Akibatnya, pemilik klub ini, Tom Hicks dan George Gillette, harus pintar-pintar mengatur keuangan.

Persoalannya, mereka masih punya kewajiban melunasi pinjaman dari pembelian Fernando Torres dan Ryan Babel, yakni 31,5 juta pound sterling atau sekitar Rp 516 miliar. Ini yang akan menyulitkan langkah The Reds, sekalipun mereka mendapat perpanjangan pembayaran hingga awal musim depan. Walau Rafael Benitez, manajer klub ini, sesumbar tidak akan menjual pemain, toh soal duit ini bisa saja membuatnya repot.

Salah satu ancaman datang dari klub Manchester City. Tatkala klub lainnya terengah-engah akibat krisis, klub superkaya yang kini dicukongi bandar minyak dari Dubai, Uni Emirat Arab, ini hampir tak terpengaruh.

Klub ini memang gila-gilaan. Untuk masa transfer window ini saja, uang yang diberikan manajemen klub mencapai 100 juta pound sterling, yang jika dirupiahkan menjadi sekitar Rp 1,6 triliun. Teori­nya, mereka akan lebih mudah mendapatkan pemain. ”Pemain baru akan sangat berguna untuk klub ini,” kata Mark Hughes, Manajer Manchester City.

Meski bukan jaminan akan sukses, klub ini memang butuh pemain baru yang segar. Apalagi Manchester City kini berada dalam keterpurukan. Prestasi terus melorot seperti celana kolor tanpa karet. Posisi mereka tak benar-benar aman. Sedikit tergelincir bisa terjerembap ke zona degradasi. Bila tak ingin bermasa depan su­ram, pemain baru mutlak dibutuhkan.

Masa transfer window, yang akan berlangsung hingga akhir bulan ini, menjadi harapan terakhir Manchester City. Masalahnya ternyata tak sesederhana itu. Meski punya uang banyak, tak gampang bagi mereka mendapatkan pemain yang diinginkan. Salah satu yang mereka incar adalah Lassana Diarra, pemain Prancis yang bermain untuk Portsmouth, Inggris.

Meski Manchester City mengajukan tawaran lebih besar, ternyata si Kepala Lumba-lumba, julukan bagi Diarra, malah memilih ke Santiago Barnebeau, bergabung dengan Real Madrid. ”Manchester City memang memberikan uang yang lebih banyak, tapi Real jauh lebih menarik,” kata Diarra dengan senyum kegirangan.

Penolakan ini menjadi penghalang mimpi Manchester City. Padahal rumor yang beredar, dengan setumpuk uang mereka sesumbar akan membawa Kaka, asal AC Milan. Nama lain yang akan diboyong adalah John Terry dan Gianluigi Buffon.

Mereka pun harus realistis, agaknya. Kini sasaran diarahkan ke pemain bekas klub asuhan Hughes, Blackburn Rovers, yakni Roque Santa Cruz. Tawarannya cukup fantastis. Dengan memberikan uang 18 juta pound sterling atau sekitar Rp 295 miliar, Hughes juga menyertakan Tal Ben Haim, sebagai bonus.

Selidik punya selidik, ternyata Ben Haim—pemain asal Israel—merupakan pemain yang dibenci Hughes, selain dua pemain lainnya yakni Jo dan Elano, yang keduanya berasal dari Brasil. Ketiga pemain yang didatangkan pada saat Sven Goran Eriksson menangani klub ini dianggap kerap membawa masalah. Hughes menganggap, bila didiamkan, hal itu akan menghancurkan tim.

Persoalan Mark Hughes memang bejibun. Prestasi klub yang melorot, menghadapi pemain yang bertingkah, dan sulitnya menggaet pemain baru yang diinginkan, masih ditambah lagi krisis ekonomi.

Bisnis sepak bola memang membingungkan. Persis seperti kiper yang tengah menghadapi tendangan penalti.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus