Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Antara Harta, Wanita, dan Takhta

Sven-Goran Eriksson menjadi andalan Thaksin mengangkat Manchester City. Pria berkelas, dikelilingi buku dan wanita.

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setahun setelah namanya terhapus dari benak sepak bola Inggris, Sven-Goran Eriksson kembali menjadi buah bibir di negeri itu. Awal Juli lalu, mantan pelatih tim nasional itu digandeng miliuner Thailand, Thaksin Shinawatra, untuk membenahi Manchester City.

Gerak cepat dilakukan pria 59 tahun ini demi mengejar target yang dipatok mantan Perdana Menteri Thailand itu: sepuluh besar Liga Primer. Aksi borong dilakukannya menjelang batas akhir transfer pemain. Hingga sepekan sebelum Liga Inggris berputar, sudah delapan pemain baru, yang dibeli 40 juta pound sterling (sekitar Rp 750 miliar), berkumpul di City.

Angka itu bahkan lebih besar daripada belanja Chelsea pada tahun ini, yang hanya 13,5 juta pound, atau jika dibandingkan dengan transfer bersih Liverpool. Hanya tetangganya, Manchester United, yang tak bisa disalip City. "Kami memang tidak lagi punya banyak waktu," kata Thaksin, yang membeli City dengan harga US$ 168 juta (sekitar Rp 1,5 triliun).

Para pemain itu memang bukan kelas satu, tapi juga tidak buruk. Ada Rolando Bianchi, striker haus gol pindahan dari Reggina, Italia. Ada pula Geovanni, yang disebut pelatih tim nasional Brasil, Dunga, sebagai pemain yang membawa corak baru permainan Tim Samba, sedangkan Gelson Fernandes, kapten tim junior Swiss, merupakan pemain andal di masa depan. Mutu lima pemain lain juga lumayan.

Proses pembelian pemain yang sangat cepat itu persis seperti deal Eriksson sendiri dengan Thaksin. Sebelumnya, City mengincar Claudio Ranieri (Valencia) dan Felix Magath, eks pelatih Bayern Muenchen. Tapi tak jodoh. Kurang dari 24 jam, pria Swedia itu menerima tawaran Thaksin. Bagi Eriksson, inilah momen yang paling pas untuk membuktikan bahwa dia belum habis.

Keinginan ini klop betul dengan niat Thaksin. Pembelian klub itu merupakan upaya Thaksin memelihara popularitasnya setelah terjengkang dari kursi Perdana Menteri Thailand melalui kudeta militer pada 19 September tahun lalu. Duet ambisius inilah yang bakal menjadi roh klub yang musim lalu ada di posisi ke-14 itu.

Namun kedatangan Eriksson tak sepenuhnya diterima pendukung City. "Membawa tim Inggris saja tidak becus, apalagi menangani City. Please deh," kata seorang pendukung klub itu. Mereka memang mendambakan pelatih jempolan. Maklumlah, prestasi City memang tak sekuku hitam Manchester United.

Penggila sepak bola di negeri itu tentu tidak akan lupa kepada sosok yang sesekali dipuji tapi lebih kerap disembur caci-maki itu. Pada 2001, dia menjadi pelatih Inggris, menggantikan Kevin Keegan. Ia dikontrak tujuh tahun. Penunjukan ini luar biasa. Eriksson adalah manajer asing pertama tim "Tiga Singa" dalam 130 tahun sejarah sepak bola negeri itu.

Sulit dibayangkan memang. Saat menjadi pemain, pria bertinggi 178 sentimeter itu hanya bermain di Degerfors, klub di divisi paling bawah di Liga Swedia. Pada 1975, cedera dengkul membuat kariernya putus. Bersama Tord Grip, dia mencoba peruntungan menjadi pelatih.

Kariernya di jalur kepelatihan lumayan cemerlang. Dia mulai menggarap Gothenburg, Swedia, pada 1979, dan tiga tahun kemudian berbuah Piala UEFA. Dia lalu berkelana ke berbagai klub besar, seperti Benfica, Roma, Fiorentina, dan Lazio. Eriksson membawa Lazio memenangi gelar scudetto pada 2000.

Gelar ini pula yang menjadi salah satu alasan Football Association mendapuknya jadi manajer. Eriksson langsung membayar kontan kepercayaan FA. Dia berhasil membawa Inggris ke Piala Dunia 2002 di Korea dan Jepang. Publik memujinya setinggi langit ketika Inggris melumat Jerman 5-1.

Namun itu tak lama. Sembilan bulan kemudian, di Shizuoka, Inggris terpental dari Piala Dunia, kalah oleh Brasil yang tampil dengan 10 pemain. Eriksson mulai menjadi bulan-bulanan media Inggris. Pada Piala Eropa 2004 di Portugal, Inggris dihadang tuan rumah. Inggris juga gagal di Piala Dunia 2006 di Jerman.

Prestasi yang hanya mentok di babak perempat final membuat Eriksson disebut menyia-nyiakan generasi emas yang pernah dimiliki Inggris. Pemain seperti Frank Lampard, Steven Gerrard, Rio Ferdinand, John Terry, dan David Beckham merupakan produk Inggris terbaik dalam 40 tahun terakhir.

Tak mengherankan, meskipun selama menangani Inggris catatan rekornya tidaklah buruk-main 67 kali, 40 kali menang-kiprah Eriksson pun tamat. Kontraknya diputus setelah Piala Dunia 2006, dua tahun sebelum berakhir.

l l l

Bukan hanya soal kegagalannya yang membuat Eriksson sering tampil di headline media Inggris. Dia juga tak henti-hentinya disorot soal affair-nya dengan sejumlah perempuan. Dari Nancy Dell'Olio, pengacara properti asal Italia, presenter kondang Ulrika Johnson, sekretaris FA Faria Alam, promotion girl Jayne Connery, sampai Ruxandra Galeriu, penari kabaret asal Rumania.

Pembantu rumah tangga Ulrika pernah mendapati sepatu berhak tinggi, mirip sepatu perempuan, di depan kamar presenter asal Swedia itu. Ternyata sepatu itu milik Sven-yang berpacaran dengan Ulrika selama tiga bulan pada 2002. Rupanya, Eriksson yang hanya tujuh sentimeter lebih tinggi daripada Ulrika itu tidak pede. Dia memakainya biar terlihat lebih jangkung.

Eriksson sangat hirau pada penampilannya. Dia selalu berjas lengkap ketika berada di lapangan. Dia juga melahap berbagai buku, termasuk puisi Tibet untuk menenangkan hati. Dompetnya juga tebal. Eriksson merupakan salah satu manajer sepak bola termahal. Ketika masih di tim nasional Inggris, gajinya Rp 2,3 miliar per pekan.

Modalnya memang cukup lumayan untuk memikat perempuan. Dan untuk urusan itu, dia cukup jago. Ketika masih berkencan dengan Dell'Olio, pada saat yang sama dia juga menjalin cinta dengan Jayne Connery dan Faria Alam. Kisah kasih dengan Faria ini menjadi heboh karena juga melibatkan Mark Palios, ketua eksekutif di FA.

Menjelang berlangsungnya Piala Dunia 2006, dia pun sempat berbuat gila: terbang ke Cina demi bertemu dengan Ruxandra, yang tengah ada urusan di sana. Kepada FA, dia mengaku pergi untuk bisnis properti. Sven memang doyan membeli rumah. Setidaknya dia memiliki rumah seharga 4 juta pound di Regent's Park, London, serta beberapa vila di Italia, Portugal, dan Swedia.

Setelah itu, hubungannya dengan kekasih tetapnya, Dell'Olio, berakhir. Begitu juga dengan yang lain. Linglung sudah pasti. Karier bonyok, cinta pun kandas. Selepas melatih Inggris, praktis dia menganggur. Jamaika dan Amerika Serikat sempat menginginkannya. "Tapi dia hanya ingin menangani tim yang membuatnya bergairah," kata Athole Still, agen Eriksson.

l l l

Hidup Eriksson kini menyala lagi. Manchester City mengontraknya untuk masa kerja tiga tahun dengan bayaran Rp 37 miliar lebih per tahun. Angka itu belum termasuk bonus.

Ini kesempatan buat Eriksson untuk mendapatkan "takhta" yang tak kunjung dia peroleh selama tujuh tahun terakhir. Eriksson memang sangat mendambakan gelar. Dalam beberapa kali kesempatan, Eriksson terlihat "berambisi" melatih klub-klub besar.

Pada 25 Maret 2004, Eriksson bertemu dua jam dengan Peter Kenyon di apartemen mewah milik petinggi Chelsea itu di London. Keduanya tak mengungkap isi pembicaraan, tapi publik Inggris tahu persis Chelsea ingin mendepak Claudio Ranieri. Publik Inggris ketika itu marah besar karena, meski tak menghasilkan apa-apa, pertemuan itu dianggap tidak etis.

Kemudian dia tiba-tiba berujar soal klub Setan Merah, Manchester United. Dia menyatakan kesiapannya menggantikan Sir Alex Ferguson bila suatu saat sang pelatih mengundurkan diri.

Namun yang paling telak adalah keberangkatannya ke Dubai untuk bertemu dengan Mazher Mahmood, syekh Arab, yang kabarnya hendak membeli klub di Liga Primer awal tahun lalu. Eriksson langsung mengobral keinginannya. Dia menganjurkan si Syekh segera membeli Aston Villa. "Aku bisa membawa David Beckham," katanya.

Eriksson juga berkisah tentang pemainnya di tim Inggris. Rio Ferdinand, misalnya, disebutnya pemalas dan Wayne Rooney pemberang. Hampir semua jeroan tim asuhannya dibeberkan. Betapa kagetnya si rambut perak, ternyata syekh itu palsu adanya. Dia adalah reporter News of the World. Seluruh percakapan plus foto-foto Eriksson nongol di surat kabar itu.

Kendati banyak hal "miring" dilakukan Eriksson, Thaksin tetap yakin timnya bakal menuai sukses. Pada tahun pertama, kata Thaksin, City setidaknya bisa masuk sepuluh besar, tahun kedua enam besar, "Dan seterusnya sampai ke puncak."

Target yang cair, tentu saja. Alhasil, selain mengasah timnya, Eriksson masih punya waktu untuk membaca puisi-puisi Tibet. Dan siapa tahu dia bisa mendapatkan sepatu baru dengan hak tinggi.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus