Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fatwahayu Artiani kini sudah bisa berdamai dengan dirinya. Gadis 15 tahun itu terlihat lebih riang dan menikmati hari-harinya sebagai siswa kelas I di SMA Negeri 4 Solo, Jawa Tengah. Ayu kini menyibukkan diri dengan ikut program kelas imersi, kelas yang proses pembelajarannya sehari-hari memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Dua bulan sebelumnya, Ayu kecewa berat lantaran gagal masuk SMA 1 Solo. Ia ingin menjadi murid di sekolah yang sudah ditetapkan sebagai sekolah bertaraf internasional itu. Embel-embel ”internasional” sekolah itulah yang agaknya membuat Ayu dan juga banyak remaja tertarik menjadi muridnya. ”Pokoknya keren banget,” ujarnya.
Sekolah bertaraf internasional (SBI) kini memang lagi ngetren di kalangan remaja. Orang tua pun banyak yang ingin anaknya sekolah di sana. Guru SMA 1 Solo, Ngadiyo, tak menampik fenomena ini. ”Mereka menganggap sekolah itu bisa menjanjikan kompetensi lulusan dan masa depan yang lebih baik,” kata Ngadiyo, yang menjadi penanggung jawab program SBI SMA 1 Solo.
Juru bicara Departemen Pendidikan Nasional, Bambang Wasito Adi, mengatakan pemerintah memang mengharuskan setiap daerah membuat sekolah bertaraf internasional. ”Sekurang-kurangnya satu untuk setiap tingkatan,” katanya. Salah satu tujuannya adalah membentuk kompetensi siswa sesuai dengan standar global. Program ini mulai dirintis pada 2005, tapi baru dijalankan tahun lalu.
Meski prosesnya tak mudah, banyak sekolah yang berlomba mengubah diri menjadi sekolah bertaraf internasional. Selain soal reputasi, sekolah itu bisa mendapatkan dana dari pemerintah pusat Rp 300 juta per tahun selama lima tahun untuk sekolah menengah atas. Ini belum termasuk bantuan dari pemerintah daerah yang juga ingin ada sekolah top di wilayahnya.
Data di Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, pada 2006, ada 99 sekolah menengah atas yang mulai merintis sekolah bertaraf internasional. Pada tahun ajaran ini, ada tambahan 97 sekolah lagi. Sejauh ini, sekolah-sekolah itu masih dalam tahap rintisan karena masih berbentuk kelas-kelas internasional. Nantinya, semua sekolah itu sudah harus bertaraf internasional.
Ngadiyo mengakui tidak mudah mencapai taraf itu. Kualifikasi yang disyaratkan Departemen Pendidikan Nasional cukup berat. Itu bukan hanya menyangkut penyediaan sarana sekolah yang ramah teknologi serta model pembelajarannya. Persyaratan kompetensi gurunya pun cukup tinggi. ”TOEFL mereka minimal 500,” kata Sungkowo, Direktur Pembinaan SMA Departemen Pendidikan Nasional. Itu sebabnya SMA 1 Solo pada tahun ajaran ini baru bisa membuka tiga kelas internasional dari target 10 kelas.
Berbeda dengan SMA 1 Solo, SMA 3 Semarang sudah lebih maju. Pada tahun ajaran 2007 ini, sekolah itu sudah membuka 10 kelas untuk siswa baru. Menurut Kepala SMA 3 Semarang, Suprihadi, tak mudah menjaring siswa yang cas-cis-cus berbahasa Inggris sekaligus mumpuni dalam pelajaran. Kendati bisa membuka 10 kelas, Suprihadi waswas juga karena tenaga pengajarnya terbatas. ”Kami minta guru-guru ikut kursus bahasa Inggris, tua atau muda sama saja,” ujarnya.
Sungkowo menjelaskan, sekolah internasional memang berbeda dengan kelas internasional yang selama ini dikenal. Kelas internasional umumnya diadakan atas dasar kebutuhan siswa yang ingin kuliah ke luar negeri tapi tak mau direpotkan oleh sistem pendaftaran internasional. Pengantarnya 90 persen dengan bahasa Inggris. Mereka juga ikut ujian sertifikasi yang digelar Universitas Cambridge, Inggris, setiap April dan Oktober. Bila lulus, mereka bisa diterima di sekolah mana pun di luar negeri.
Adapun SBI, kata Sungkowo, merupakan proses pembelajaran yang dilakukan seluruh sekolah. Tak ada lagi kelas eksklusif. Bahasa pengantarnya memakai bahasa Inggris, terutama untuk pelajaran matematika, bahasa Inggris, fisika, kimia, biologi, dan ekonomi. Karena itu, kata Sungkowo, model rintisan SBI bisa berbeda-beda. Ada yang mendirikan sekolah baru, membangun kemitraan dengan sekolah luar negeri, atau mengembangkannya dari sekolah yang sudah ada.
Karena yang diharapkan bisa mencetak lulusan yang bisa diterima ”pasar dunia”, tentu ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi kondisi kebanyakan sekolah di Indonesia saat ini masih jauh dari memadai. Di luar itu, kendalanya adalah kualitas siswa. Banyak sekolah mengaku kesulitan karena kemampuan siswanya berbahasa asing sungguh minim. Boleh jadi karena itu pula belum ada sekolah yang benar-benar bertaraf internasional.
Anehnya, meskipun sudah hampir 200 sekolah memberi dirinya cap bertaraf internasional, hingga kini kurikulum dan standardisasi kurikulum SBI masih belum kelar dibahas. Karena itu, tak jelas apakah sekolah-sekolah itu bakal menggandeng universitas seperti Cambridge untuk melegalkan kompetensi mereka atau sama seperti yang ditempuh sekolah biasa. Tak aneh jika banyak sekolah melakukan akrobat, antara lain dengan meminta supervisi dari perguruan tinggi di sekitarnya.
Apa pun upaya berbagai sekolah itu, yang jelas hasilnya memang sudah terlihat. Beberapa siswa SMA Negeri 15 Surabaya yang sudah dua tahun ini menjadi siswa SBI lebih percaya diri membuat presentasi dalam bahasa Inggris. Mereka juga jago membuat makalah dalam bentuk soft copy dan mempresentasikannya menggunakan proyektor. Persis yang dilakukan para eksekutif atau pembicara dalam seminar profesional.
Widiarsi Agustina,Sunudyantoro (Surabaya), Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo