Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELUKAN Kylian Mbappé kepada Achraf Hakimi seusai laga semifinal Piala Dunia 2022 Qatar antara Prancis dan Maroko di Stadion Al Bayt, Al Khor, Rabu, 14 Desember lalu, menandakan keduanya tetap bersahabat apa pun yang terjadi. Mbappé dan Hakimi adalah rekan satu tim di Paris Saint-Germain. Hakimi dan negaranya harus mengubur mimpi untuk tampil di partai final setelah Maroko takluk kepada Prancis dengan skor 0-2.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mbappé dan Hakimi pun bertukar jersei. Tak berhenti di situ, penyerang Prancis itu juga mengirimkan pesan untuk Hakimi lewat akun Twitter pribadinya. “Jangan bersedih, Bro, semua orang bangga dengan apa yang telah kamu lakukan, kamu telah membuat sejarah,” cuit Mbappé menyertai unggahan foto keduanya berpelukan seusai pertandingan Prancis vs Maroko. Meski gagal ke partai puncak, para pemain Maroko beserta ofisial tim melakukan sujud syukur. Mereka terlihat berlutut dan meletakkan dahi di lapangan Stadion Al Bayt.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Timnas Maroko tetap mendapat penghormatan dari para pendukungnya meski gagal lolos ke final. Mereka menjadi tim Benua Afrika dan Dunia Arab pertama yang berhasil menembus semifinal Piala Dunia. Piala Dunia di Qatar adalah penyelenggaraan yang ke-22 sejak Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menggelar pesta sepak bola sejagat ini pertama kali pada 1930. Posisi Maroko mirip Korea Selatan, yang menjadi negara Asia pertama yang melaju ke semifinal Piala Dunia dua dekade lalu.
Keberhasilan Maroko maju ke semifinal Piala Dunia tak terlepas dari andil Hakimi: lewat tendangan penalti ke gawang Spanyol, tanah kelahirannya, di babak perdelapan final, Selasa, 6 Desember lalu. Maroko menang 3-0 melalui tendangan Abdelhamid Sabiri, Hakim Ziyech, dan Achraf Hakimi. Di babak perempat final, giliran Portugal yang ditumbangkan Hakimi dan kawan-kawan dengan gol tunggal Youssef En-Nesyri pada menit ke-42.
Hakimi dilahirkan di Madrid, Spanyol, pada 4 November 1998. Saat berlatih dengan tim nasional junior Spanyol, ia pernah mengaku tidak nyaman. “Saya melihat ini bukan tempat yang tepat bagi saya. Saya tidak merasa seperti di rumah sendiri,” katanya kepada media Spanyol, Marca. Meski begitu, banyak juga yang terkejut ketika Hakimi, salah satu bek terbaik di dunia, memutuskan memilih timnas Maroko ketimbang Spanyol.
Selain Hakimi, ada 13 pemain dari 26 anggota timnas Maroko yang dibawa ke Qatar lahir di luar negeri, dari Spanyol, Prancis, Belanda, Italia, sampai Belgia. Bukan hal yang mudah bagi para pemain untuk mengambil keputusan: apakah harus memperkuat tim nasional negara asal atau tim nasional Maroko, yang berjulukan Singa Atlas.
Keputusan yang diambil sejumlah pemain Maroko mendapat kritik tajam, seperti dari Marco van Basten, mantan bintang Belanda, yang mengatakan Hakim Ziyech mengambil keputusan “bodoh” saat memilih memperkuat Maroko ketimbang Belanda. Sebelum memutuskan bergabung dengan Maroko, Ziyech membela negara kelahirannya, Belanda, di level U-20 dan U-21.
Ketika menjadi bagian dari skuad Singa Atlas pada Piala Dunia 2018, Ziyech membalikkan kritik Van Basten karena tim Oranye—julukan timnas Belanda—gagal lolos ke pesta bola sejagat yang digelar di Rusia itu lantaran menempati posisi ketiga di grup kualifikasi Eropa. Di Piala Dunia 2022, Ziyech kembali unggul atas Belanda. Maroko dibawanya menjadi tim Afrika pertama yang menembus semifinal, sedangkan tim asuhan Louis van Gaal tersingkir di perempat final saat melawan Argentina.
Duta Besar Indonesia untuk Maroko, Hasrul Azwar Hutasuhut, mengatakan banyaknya pemain yang lahir di luar negeri yang bermain di tim Singa Atlas tidak terlepas dari fakta bahwa Maroko adalah salah satu negara dengan populasi migran terbanyak di Eropa. Menurut Hasrul, salah satu penelitian menyebutkan jumlah warga keturunan Maroko yang berada di seluruh Eropa mencapai 5 juta.
Didasari fakta tersebut, Federasi Sepak Bola Kerajaan Maroko (FRMF) mempekerjakan tim pencari bakat di berbagai negara di Eropa. “Kendati kebanyakan dari mereka lahir dan besar di luar negeri, kita saksikan betapa setiap pemain itu menunjukkan semangat juang dan rasa cinta tanah air yang kuat,” ucap Hasrul kepada Tempo melalui sambungan telepon, Kamis, 15 Desember lalu.
Pemain dan staf Maroko melakukan sujud syukur usai pertandingan Maroko melawan Prancis, di Stadion Al Bayt, Al Khor, Qatar, 14 Desember 2022/REUTERS/Carl Recine
Menurut Hasrul, semangat juang pemain Maroko tidak terlepas dari tangan dingin pelatihnya, Walid Regragui. Sebagai juru taktik, menurut Hasrul, pria yang lahir di Prancis itu telah membuktikan bahwa tanah kelahiran tidak menjadi penghalang seorang pemain untuk memberikan kemampuan. “Dalam salah satu wawancara kepada media Maroko, Walid sempat menyampaikan ‘saya lahir di Prancis, tapi tak ada yang bisa mengambil rasa cinta saya untuk negara saya (Maroko)’,” ujar Hasrul, yang pernah menjadi Manajer Tim Nasional Indonesia U-21 pada 2012.
Menurut Hasrul, selain mengandalkan pemain yang lahir di luar negeri, keberhasilan Maroko di Piala Dunia 2022 tidak terlepas dari infrastruktur sepak bola yang dibangun dan dikelola dengan sangat baik. Ia menyebutkan sepak bola merupakan olahraga yang paling diminati di Maroko. Hampir setiap klub profesional yang bertanding di Botola Pro atau Botola Pro 2 memiliki stadion tanding, lapangan latih, lapangan untuk disewakan, dan akademi sepak bola buat anak-anak sekitar.
Pihak swasta Maroko juga membangun fasilitas olahraga berupa lapangan sepak bola atau futsal yang dapat disewakan kepada masyarakat. Selain itu, mereka membangun akademi sepak bola khusus yang tak terikat dengan klub sepak bola setempat. Para pemainnya kemudian dapat didaftarkan dan dipertandingkan di liga regional sesuai dengan kelompok umur. Kerajaan dan pemerintah kerap turun untuk membiayai banyak pembangunan fasilitas publik, seperti lapangan sepak bola.
“Perbandingan harga sewa rata-rata lapangan sepak bola milik negara berkisar 60-80 dirham (Rp 90-120 ribu) per jam. Sedangkan lapangan sepak bola milik klub atau swasta berkisar 200-250 dirham (Rp 300-370 ribu) per jam,” tutur Hasrul.
Untuk pembinaan usia muda, kata Hasrul, hampir setiap klub profesional memiliki akademi yang dibina dan dikelola dengan cukup baik dan teratur. Dengan minat yang tinggi, menurut dia, banyak anak di Maroko yang didaftarkan orang tuanya ke berbagai akademi sepak bola untuk dilatih oleh pelatih bersertifikat. Hasrul menyebutkan, pada 2009, Raja Maroko Mohammed VI bertitah agar dibangun akademi untuk pengembangan sepak bola di Maroko.
Mantan pelatih tim nasional Indonesia, Rahmad Darmawan, melihat capaian Maroko di Piala Dunia 2022 tidak terlepas dari suksesnya negara Afrika Utara itu membina pemain muda. Dia menyebutkan keseriusan itu sudah terlihat ketika tim Singa Atlas mengirimkan pemain U-19 ke Islamic Solidarity Games 2013. Waktu itu, menurut Rahmad, timnas Indonesia mengirimkan pemain U-23.
Meski tampil dengan pemain lebih muda, Maroko berhasil mengalahkan Indonesia pada laga final sepak bola Islamic Solidarity Games di Stadion Jakabaring, Palembang, 29 September 2013, dengan skor 2-1. “Kita kesulitan melawan U-19 mereka. Kita main sedikit menunggu di setengah lapangan,” ujar Rahmad saat dihubungi Tempo, Rabu, 14 Desember lalu.
Rahmad mengatakan kualitas pemain Maroko terasah karena jam terbang. Menurut dia, pemain muda Maroko dikirim ke berbagai ajang internasional untuk membentuk mental bermain. “Bayangkan saja, untuk ajang seperti Islamic Solidarity Games, mereka menurunkan pemain U-19. Persiapan waktu itu pun tidak main-main karena pemainnya sempat juga jadi juara di ajang lain yang digelar di Arab Saudi,” tutur pelatih yang kini menangani klub Liga 1, RANS Nusantara FC, itu.
IRSYAN HASYIM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo