Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBULAN setelah membuka Konferensi Perubahan Iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres kembali membuka konferensi tingkat tinggi. Kali ini dia membuka COP15 Convention on Biological Diversity atau Konvensi Keanekaragaman Hayati di Montreal, Kanada, Selasa, 6 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konferensi yang populer dengan nama COP CBD itu, di bawah suhu Quebec yang membeku 5 derajat Celsius di bawah 0, Guterres mengecam perusahaan multinasional yang telah mengubah ekosistem dunia menjadi "permainan keuntungan". “Dengan keinginan kita yang tak berdasar untuk pertumbuhan ekonomi yang tak terkendali dan tak seimbang, umat manusia telah menjadi senjata pemusnah massal,” kata Guterres seperti dikutip Al Jazeera, Rabu, 7 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guterres merujuk pada laporan Platform Kebijakan Sains Antar-Pemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem pada 2019 yang memperkirakan 1 juta spesies terancam punah, hilang dengan kecepatan yang tak pernah terjadi dalam 10 juta tahun akibat desakan populasi dan aktivitas pertumbuhan ekonomi.
Dia juga menunjuk laporan badan PBB lain, Konvensi untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD), Global Land Outlook 2022, yang menyebutkan 40 persen permukaan bumi telah terdegradasi akibat aktivitas manusia. “Kita memperlakukan alam seperti toilet. Dan pada akhirnya kita melakukan bunuh diri secara tak langsung,” tuturnya di depan delegasi hampir 200 negara yang hadir dalam konferensi di Palais des Congrès, Montreal. “Konferensi ini adalah kesempatan kita untuk menghentikan pesta penghancuran ini,” Guterres menambahkan.
COP CBD selama dua pekan ini mengusung agenda utama menghasilkan semacam Perjanjian Paris dalam perubahan iklim, yakni sebuah kesepakatan global baru yang dinamai Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Pasca-2020 (Post-2020 GBF) untuk mencegah krisis keanekaragaman hayati. Ada 22 target yang harus dicapai para pihak paling lambat pada 2030. Namun, hingga tiga hari menjelang penutupan yang dijadwalkan berlangsung pada Senin, 19 Desember 2022, kurang dari sepuluh target saja yang rampung pembahasannya.
Warga suku adat Kajang Ammatoa membawa makanan dari hasil bumi saat akan melakukan ritual 'Andingingi' di Kawasan Hutan Adat Kajang Ammatoa, Bulukumba, Sulawesi Selatan, November 2017/ANTARA/Abriawan Abhe
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, yang berada di Kanada sejak Sabtu, 3 Desember lalu, mengatakan tersiar kabar bahwa hampir semua menteri (pemimpin delegasi negara) memperpanjang waktu mereka di Montreal hingga 21 Desember mendatang. “Alasannya, ini sudah tiga hari menjelang penutupan tapi belum ada kesepakatan berarti,” ucap Sekar kepada Tempo melalui pesan WhatsApp, Sabtu, 17 Desember lalu.
Menurut Sekar, salah satu kesepakatan utama yang hendak dicapai COP15 adalah target melestarikan setidaknya 30 persen wilayah daratan dan lautan planet ini pada 2030, yang dikenal sebagai target “30x30". “Menurut laporan PBB tahun lalu, pengeluaran tahunan global untuk melindungi dan memulihkan alam memerlukan pendanaan sekitar US$ 350 miliar pada 2030, sehingga COP15 ini punya tujuan mendapatkan kesepakatan pendanaan itu,” tutur Sekar.
Isu pendanaan ini, Sekar menambahkan, sangat krusial lantaran target global sebelumnya untuk menekan angka hilangnya keanekaragaman hayati, yang ditetapkan dalam COP6 pada 2002 dan COP10 pada 2010 (20 Target Aichi), sebagian besar tidak tercapai karena kekurangan dana. Target Aichi menetapkan paling lambat pada 2020 sedikitnya 17 persen luas daratan dan perairan pedalaman serta 10 persen luas wilayah laut dilestarikan melalui sistem kawasan lindung.
Menurut Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Medrilzam, yang menjadi anggota delegasi pemerintah dalam COP CBD, Indonesia saat ini memiliki kawasan konservasi daratan seluas 26,89 juta hektare dan kawasan konservasi perairan 5,32 juta hektare yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain itu, hingga 2021 kawasan konservasi perairan telah mencapai 28,4 juta hektare atau 8,7 persen dari total luas perairan Indonesia.
Angka 26,89 juta hektare atau 13,99 persen dari luas daratan Indonesia yang mencapai 192,257 juta hektare itu belum memenuhi Target Aichi. Adapun Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong, dalam pidatonya di forum COP15 pada Jumat, 16 Desember lalu, menyebutkan Indonesia telah menetapkan 54,8 persen kawasan hutan yang seluas 125,82 juta hektare menjadi area hutan yang dilindungi keanekaragaman hayatinya.
Saat dimintai konfirmasi tentang kabar bahwa delegasi RI tidak setuju terhadap target 30x30, Medrilzam mengatakan Indonesia menekankan bahwa kuantitas kawasan konservasi tidak menjamin kualitas kawasan tersebut. “Indonesia sangat mendorong para pihak tidak menjadikan output sebagai target, melainkan outcome atau dampak yang dihasilkan dari mempertahankan kawasan lindung,” katanya melalui jawaban tertulis, Sabtu, 17 Desember lalu.
Indonesia, menurut Sekar Banjaran Aji, sebenarnya mampu memenuhi target 30x30 itu jika ada niat politik dan melakukannya bersama masyarakat adat. “Jika masyarakat adat diakui, target itu akan lebih mudah dipenuhi,” ujarnya. Dia menambahkan, Working Group for Indigenous and Community Conserved Areas Indonesia (WGII) telah mendokumentasikan praktik-praktik konservasi oleh masyarakat adat. WGII telah mengidentifikasi area potensial tanah adat seluas 4,2 juta hektare.
Selain itu, Sekar menambahkan, Badan Registrasi Wilayah Adat Indonesia sejauh ini telah mencatat 20,7 juta hektare tanah adat melalui pemetaan partisipatif yang dilakukan bersama masyarakat adat. Angka tersebut lebih dari 10 persen luas daratan Indonesia. “Jika pemerintah mau memperluas moratorium hutan dan gambut, mengubah status kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi dan lindung, melindungi lanskap gambut dan mangrove serta pengakuan wilayah adat, target 30x30 itu akan jauh terlampaui,” tutur Sekar.
Senada dengan Sekar, pengajar Sekolah Pascasarjana Magister Biologi Universitas Nasional, Fachruddin M. Mangunjaya, mengatakan, untuk memenuhi target 30x30, harus ada dukungan strategi konservasi berbasis komunitas karena kawasan alami yang dikelola pemerintah sangat terbatas. “Apa yang sudah dilakukan masyarakat, seperti kearifan perlindungan hutan melalui hutan adat dan hutan larangan, perlu dimasukkan,” kata Fachruddin melalui jawaban tertulis, Kamis, 15 Desember lalu.
Menurut Fachruddin, Indonesia telah mencakup semua kategori kawasan konservasi Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN) kecuali kategori VI, kawasan lindung dengan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. IUCN, Fachruddin melanjutkan, telah mendefinisikan kategori VI sebagai kawasan yang mengonservasi ekosistem bersama nilai budaya yang berkaitan dan sistem pengelolaan sumber daya alam tradisional. “Kata kuncinya adalah nilai budaya dan pengelolaan secara tradisional,” ucapnya.
Indonesia, kata Fachruddin, memiliki banyak budaya dan kearifan lokal dalam pengelolaan kawasan. Di antaranya lubuk larangan di Sumatera, nyabuk gunung di Jawa, dan subak di Bali. “Namun kearifan lokal itu belum diakui dan direkognisi dalam konteks nasional dan global,” ujarnya. Fachruddin membuat kajian mengenai lubuk larangan sebagai kawasan konservasi tradisional. Lubuk larangan, dia menjelaskan, tersebar di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Jambi. “Di Sumatera Barat sudah menjadi budaya yang umum di hampir semua nagari. Tercatat ada total 867 lubuk larangan.”
Fachruddin mengakui area lubuk larangan tidak besar. Biasanya areanya berkisar 200-1.500 meter persegi di satu sungai. Tapi, dengan jumlah yang banyak, lubuk larangan akan membentuk kawasan yang luas. “Apalagi jika diperhitungkan daerah sepadan dan daerah aliran sungai,” ucapnya. Lubuk larangan memiliki tingkat keanekaragaman hayati tinggi. “Setidaknya terdata 22 jenis ikan di lubuk larangan dengan ikan garing (Tor sp.) sebagai jenis utama. Di sekitarnya juga terdapat aneka jenis mamalia, burung, dan hewan herpetofauna,” katanya.
Di level desa atau nagari, Fachruddin menambahkan, lubuk larangan telah diakui lewat peraturan wali nagari. Dia mengungkapkan, sebanyak 14 dari 19 kota/kabupaten di Sumatera Barat telah menerbitkan surat keputusan dinas perikanan tentang daftar lubuk larangan. Di level provinsi belum ada pengakuan formal. Seharusnya, Fachruddin melanjutkan, daftar itu masuk ke badan perencanaan pembangunan, penelitian, dan pengembangan daerah, bahkan ada peraturan menteri untuk merekognisi lubuk larangan di level nasional.
Peneliti Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, Mochamad Indrawan, mengatakan konservasi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, termasuk ekonomi. Indrawan mengutip laporan “The Dasgupta Review” oleh ekonom Cambridge University, Inggris, Partha Dasgupta, pada 2021, bahwa konservasi adalah investasi. “Bila kita mengonservasi dan merestorasi ekosistem hutan tropika basah, jasa lingkungan akan terjaga pula sehingga kita mendapat hasil hutan bukan kayu, air, karbon, ekowisata, dan bahkan perlindungan dari bencana hidrometeorologis,” tutur Indrawan.
Menurut Indrawan, kini saatnya mengubah ukuran "keberhasilan ekonomi", termasuk membangun kekayaan yang secara ekonomi bersifat inklusif. “Sering orang lupa bahwa ekosistem adalah infrastruktur alami. Melalui pendekatan nature-based solutions, kita menggabungkan kepentingan alam dan manusia. Sebagai contoh, untuk mencegah abrasi, dibanding membangun tanggul, lebih baik membangun hutan mangrove,” ujar Indrawan. Selanjutnya, dia menambahkan, diperlukan dukungan keberlanjutan dari lembaga keuangan, yang mungkin tanpa disadari sering mendukung investasi yang merusak alam.
Medrilzam mengatakan Indonesia berkomitmen mendukung tujuan besar CBD pada 2050 dan mendukung target ambisius yang didorong dalam Post-2020 GBF. Namun Indonesia menekankan bahwa setiap negara memiliki kondisi dan tujuan pembangunan yang berbeda-beda sehingga implementasi target global yang disepakati dalam COP15 harus didasari keadaan nasional. “Dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2015-2020, Indonesia menetapkan 22 target nasional yang mendukung Aichi Target walaupun dalam penerapannya masih dibutuhkan banyak pengembangan,” katanya.
Medrilzam menjelaskan, dalam COP15 di Montreal ini, Indonesia membawa misi mendorong dua poin. Poin pertama, dia menerangkan, adalah prinsip tanggung jawab bersama tapi dibedakan (CBDR) harus menjadi bagian dari kerangka kerja CBD yang nantinya tergambar dalam strategi nasional. CBDR adalah prinsip hukum lingkungan internasional yang menetapkan bahwa semua negara bertanggung jawab mengatasi kerusakan lingkungan global, tapi tidak bertanggung jawab secara setara.
Target kedua Indonesia, Medrilzam menambahkan, adalah mendorong dibentuknya dana keanekaragaman hayati global atau global biodiversity fund yang juga didorong oleh Like-Minded Megadiverse Country. Indonesia menjadi bagian dari kelompok 17 negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar ini sebagai perwujudan target yang ambisius untuk strategi mobilisasi sumber daya. “Kedua hal ini diharapkan dapat menjadi bagian dari keputusan COP15, juga dalam Post-2020 GBF,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo