Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Rasa Hambar Pesta Olahraga

Olimpiade Tokyo 2020 digelar tanpa penonton. Meski memakai sistem isolasi ternyata tak lepas dari cengkeraman pandemi Covid-19. Sepi di arena pertandingan, interaksi penonton Olimpiade lebih ramai di dunia maya.

31 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Olimpiade Tokyo digelar tanpa penonton di tengah pandemi Covid-19.

  • Penyelenggara Olimpiade terus memantau kesehatan dan mobilitas para atlet dan tamu Olimpiade.

  • Meski ada pembatasan interaksi dan protokol kesehatan ketat, penularan Covid-19 di Tokyo dan arena Olimpiade terus terjadi.

DIRDJA Wihardja merasa ada yang tak afdal saat mendampingi atlet asuhannya, Windy Cantika Aisah, berlaga di arena angkat besi Olimpiade Tokyo 2020, Sabtu, 24 Juli lalu. Stadion terasa lengang. Tak ada sorak-sorai penonton di tribun seperti dalam kejuaraan angkat besi yang biasa ia saksikan. Keramaian hanya datang dari para anggota tim nasional yang memberikan semangat untuk Windy, yang turun di kelas 49 kilogram putri. “Suasananya memang berbeda, tapi fokus kami tetap ke Windy karena dia tampil pertama,” kata pelatih tim nasional angkat besi Indonesia itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pandemi Covid-19 yang masih membekap Jepang mengubah atmosfer penyelenggaraan Olimpiade yang dibuka pada 23 Juli lalu setelah sempat ditunda setahun. Turnamen antarnegara yang digelar sekali setiap empat tahun itu biasanya berlangsung meriah dengan keriuhan para suporter di dalam dan di luar stadion. Dirdja tak merasakan keramaian itu. “Upacara pembukaan saja terasa sepi karena enggak ada yang nonton,” ujar Dirdja kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota tim media Komite Olimpiade Indonesia, Wimbo Satwiko, juga merasakan hambarnya venue pertandingan tanpa tepuk tangan dan keramaian penonton. Hal serupa terjadi di luar stadion. Tak ada fan zone atau lokasi khusus yang biasanya selalu mengundang banyak orang. Menurut Wimbo, lingkungan dan jalan-jalan yang mengarah ke arena Olimpiade Tokyo juga terasa sepi. “Rasanya seperti turnamen minimalis,” tutur Wimbo pada Rabu, 28 Juli lalu.

Perhelatan Olimpiade di tengah pandemi Covid-19 menuai kontroversi karena infeksi virus corona, terutama varian delta, di Jepang belum terbendung. Tokyo menjadi lokasi dengan angka laju penularan Covid-19 tertinggi. Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga bahkan menyematkan status darurat di Ibu Kota itu pada 8 Juli lalu atau dua pekan sebelum Olimpiade dibuka. Sehari setelah pengumuman Perdana Menteri Suga, penyelenggara Olimpiade mengumumkan turnamen olahraga antarnegara itu digelar tanpa penonton.

Direktur Tiket Olimpiade Tokyo Hidenori Suzuki sampai tak kuasa menahan tangisnya saat memberi tahu publik kabar pembatalan tiket pertandingan. Apalagi masyarakat sudah menunggu selama dua tahun untuk menyaksikan langsung kompetisi dan atlet favorit mereka. “Kepada mereka yang sangat ingin datang ke Olimpiade, saya memohon maaf karena kami tak bisa memenuhi harapan itu,” kata Suzuki dalam siaran televisi Jepang pada 9 Juli lalu.

Suzuki memastikan para pemegang tiket memperoleh kembali uang mereka. Toh, hal itu tak menghapus kekecewaan para pemegang tiket yang impiannya menyaksikan Olimpiade harus buyar. “Sejak awal saya cemas akan Olimpiade ini. Tapi, ketika mendengar pengumuman penonton dilarang masuk, itulah untuk pertama kalinya saya merasa marah,” ucap Kouji Sato, 61 tahun, yang membeli tiket upacara pembukaan Olimpiade sebagai hadiah untuk istrinya.

Rencana yang dibuat Kazunori Takishima untuk menonton langsung Olimpiade Tokyo pun rontok dalam semalam. Dia menghabiskan sekitar US$ 40 ribu untuk membeli 100 tiket Olimpiade. Pria 45 tahun itu selalu menghadiri setiap Olimpiade sejak Olimpiade Musim Dingin di Torino, Italia, pada 2006. Telah menonton 106 pertandingan Olimpiade, dia berencana menonton 28 turnamen lagi di Tokyo. Meski mendapatkan uangnya kembali, Takishima menyatakan hal itu tak sebanding dengan keseruan menonton langsung Olimpiade yang kini lenyap. “Melarang penonton datang ke tempat pertandingan adalah pukulan telak,” ujar Takishima seperti dilaporkan Reuters.

Selain menutup pintu stadion untuk penonton, penyelenggara Olimpiade mengawasi mobilitas para atlet, awak media, dan anggota kontingen demi meminimalkan risiko penularan Covid-19. Para pemandu yang dikirim penyelenggara Olimpiade sudah menemui mereka sejak di terminal kedatangan bandar udara di Tokyo. Petugas ini pula yang mengarahkan para tamu ke lokasi tes Covid-19 dan hotel hingga mengawal mereka saat hendak ke toilet atau mengambil uang di anjungan tunai mandiri. “Kontak dengan warga lokal diminimalkan,” kata Wimbo Satwiko.

Panitia Olimpiade juga menyediakan moda transportasi berupa bus ulang-alik (shuttle bus) dan taksi khusus dari dan menuju arena pertandingan. Dengan jadwal keberangkatan yang teratur, bus-bus itu mengangkut para atlet ke lokasi-lokasi pertandingan. Wimbo juga biasa menumpang bus ulang-alik itu dari hotelnya di Kota Chiba, sekitar 51 kilometer di timur Tokyo. “Para pendatang tidak boleh menumpang kendaraan umum atau taksi biasa jika belum memenuhi syarat durasi menetap di Jepang minimal 14 hari,” tuturnya.

Pandemi Covid-19 juga mengubah prosedur pemantauan kesehatan para peserta Olimpiade. Sejak tiba di Tokyo pada 18 Juli lalu, Dirdja Wihardja dan anggota tim nasional angkat besi Indonesia rutin memberikan sampel liur mereka ke laboratorium Wisma Atlet sebagai bagian dari tes Covid-19. Mereka pun diwajibkan mengisi aplikasi pemantauan kesehatan yang disediakan penyelenggara Olimpiade.

Tes Covid-19 serupa dijalani Wimbo Satwiko, yang mengirim sampel salivanya ke laboratorium di Pusat Media Olimpiade. Hasil tes itu biasanya akan keluar dalam waktu kurang dari 24 jam, tapi hanya yang hasil tesnya positif yang mendapat pemberitahuan dari penyelenggara dan menjalani karantina. “Selama tidak mendapat e-mail dari panitia, berarti aman,” ucap Wimbo.

Meski ada protokol kesehatan ketat, kasus Covid-19 di Tokyo terus bertambah. Untuk pertama kalinya sejak pandemi merebak, infeksi Covid-19 di Jepang menembus angka 10 ribu kasus. Sebanyak 3.865 kasus tercatat di Tokyo pada Kamis, 29 Juli lalu. Perdana Menteri Suga membantah anggapan bahwa lonjakan angka kasus itu berhubungan dengan penyelenggaraan Olimpiade. “Sejumlah langkah sudah dilakukan untuk menekan penyebaran virus, termasuk membatasi pergerakan orang di ruang publik dan memperketat kontrol di perbatasan untuk mencegah penyebaran virus dari orang asing,” kata Suga seperti dilaporkan Kyodo News.

Sistem gelembung isolasi yang diterapkan di arena Olimpiade untuk mengantisipasi penularan Covid-19 tetap jebol. Kasus perdana di Wisma Atlet dilaporkan pada 17 Juli lalu. Sepekan selanjutnya, ada 14 kasus tambahan terkait dengan penyelenggaraan Olimpiade. Hingga Jumat, 30 Juli lalu, sudah ada 220 orang di lingkungan Olimpiade yang terjangkit Covid-19. Otoritas Kesehatan Olimpiade telah melakukan lebih dari 310 ribu tes sejak 1 Juli lalu.

Meski sepi di arena pertandingan, popularitas Olimpiade Tokyo di dunia maya tetap meroket. Konten-konten video terkait dengan Olimpiade Tokyo terus meraup popularitas di platform TikTok. Video dengan tanda pagar #OlympicSpirit yang diikuti para Olimpian dan penggemarnya di seluruh dunia telah ditonton lebih dari 1,4 miliar kali. Bahkan lebih dari 2 miliar pengguna Internet berinteraksi dengan akun media sosial turnamen yang disediakan dalam sembilan bahasa. Sebagian besar pengakses media sosial itu adalah audiens muda.

Kontributor terbanyak interaksi dunia maya ini berasal dari Amerika Serikat, India, dan Jepang. Trafik website dan aplikasi Olimpiade Tokyo 2020 pun sudah menembus angka 50 juta pengguna dalam sehari. “Ini dua kali lebih banyak dari Olimpiade Rio 2016,” ujar Direktur Pemasaran dan Digital Komite Olimpiade Internasional Christopher Carroll.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus