Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Peluang Untung-Buntung Bukalapak

Penjualan saham perdana atau IPO Bukalapak menandai masuknya perusahaan teknologi digital ke bursa Indonesia. Investor retail dan pengelola dana publik perlu berhati-hati.

31 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INVESTASI mengenal prinsip umum yang menyebutkan janji keuntungan besar selalu dibarengi potensi risiko tak kalah besar. Prinsip lawas itu penting dipegang para investor perorangan dan mereka yang bertanggung jawab mengelola dana publik dalam jumlah jumbo sebelum bersorak menyambut rencana penjualan saham perdana (IPO) Bukalapak pada awal Agustus ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan harga satuan Rp 750-850, penjualan saham perdana—dikenal dengan initial public offering alias IPO—perusahaan teknologi digital yang didirikan sebelas tahun silam itu diperkirakan bakal mendatangkan dana jumbo Rp 21,9 triliun. Jumlah itu setara dengan laba 2020 PT Telkomsel, perusahaan telekomunikasi berusia 26 tahun yang memiliki aset di mana-mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jauh-jauh hari Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sudah memberikan lampu hijau untuk penjualan saham salah satu perusahaan unicorn digital di bursa lokal. Seperangkat aturan baru sengaja dibuat untuk membuka lebar-lebar pintu bursa buat perusahaan rintisan digital. Korporasi yang belum mencetak keuntungan tapi menunjukkan tren bisnis positif selama periode waktu tertentu kini bisa menawarkan porsi kepemilikannya kepada publik. Walhasil, selain Bukalapak, sejumlah perusahaan digital lain, seperti GoTo, J&T Express, dan Traveloka, tengah bersiap melantai di bursa.

Kehadiran para pemain digital ini jelas bakal menggairahkan bursa saham Indonesia. Kita tahu, kini banyak anak muda melirik saham sebagai instrumen investasi. Keberadaan perusahaan digital di jajaran emiten akan melambungkan animo mereka untuk bertransaksi. Selain itu, perubahan status unicorn digital bervaluasi minimal US$ 1 miliar menjadi perusahaan publik bakal meningkatkan transparansi pada laporan keuangan mereka. Dengan keterbukaan semacam itu, banyak analisis atas proyeksi profit dan pertumbuhan bisnis digital bakal jadi lebih akurat.

Masalahnya, menjalankan bisnis model baru, perusahaan digital punya faktor risiko yang lebih berlipat. Tak ada jaminan kapan perusahaan yang menjual sahamnya kepada publik akan mulai mencetak laba. Apalagi ada aturan yang memperbolehkan keberadaan saham dengan hak suara multipel. Meski bagus untuk melindungi visi pendiri perusahaan rintisan, aturan itu bisa merugikan investor minoritas. Faktor-faktor ini yang patut diperhitungkan para investor sebelum ramai-ramai membeli saham perusahaan teknologi digital.

Terlebih, banyak investor di bursa belakangan ini kerap menganut mentalitas kawanan. Sinyal dari para influencer atau figur berpengaruh di media sosial amat menentukan saham mana yang diburu investor perorangan. Ada indikasi kuat, sebagian investor masih terjebak sindrom takut ketinggalan kereta alias fear of missing out (FOMO). Tanpa memahami benar laporan keuangan emiten, mereka ikut-ikutan memborong saham-saham perusahaan tertentu karena khawatir tak kebagian cuan. Belum tegasnya penegakan aturan, bahkan untuk praktik influencer yang mengarah pada insider trading, juga ikut berperan menyuburkan perilaku semacam itu.

Fenomena semacam itu tak hanya terjadi di Indonesia. Penjualan saham perdana perusahaan teknologi digital global seperti Uber dan Lyft di Amerika Serikat pada 2019 diwarnai hal serupa. Harga saham Uber—perusahaan aplikasi digital di bidang transportasi—sempat anjlok 17 persen setahun setelah IPO, meski sekarang sudah kembali mendekati harga penawaran perdananya. Kedua perusahaan itu sampai sekarang belum membagikan dividen untuk para pemegang saham publiknya. Realitas ini bisa jadi tak terbayangkan di benak para investor kecil yang gegap gempita menyambut penjualan saham mereka dua tahun lalu.

Tentu ini tak berarti penawaran saham perdana Bukalapak pasti bakal bernasib serupa. Dari prospektusnya, tampak bahwa performa keuangan perusahaan ini menunjukkan tren positif. Tingginya beban ongkos pemasaran, yang biasanya menjadi andalan perusahaan rintisan yang tengah memperluas pasar, mereka pangkas hampir separuh. Bukalapak, yang kini mayoritas sahamnya dikuasai konglomerat media Emtek Group milik keluarga Sariaatmadja, mengaku akan menggunakan dana hasil IPO untuk berfokus pada upaya digitalisasi warung di berbagai pelosok.

Tujuan utama perusahaan menjual saham kepada publik memang untuk memperoleh tambahan modal usaha. Karena itu, otoritas pengelola bursa harus memastikan IPO tidak digunakan pemegang saham lama sebagai strategi ambil untung semata. Ketentuan bahwa pemegang saham lama tak boleh menjual sahamnya sampai delapan bulan setelah IPO harus ditegakkan dengan konsisten.

Investor yang mengelola dana publik, seperti asuransi atau dana pensiun, juga perlu ekstrahati-hati. Pengalaman buruk dalam kasus Jiwasraya dan Asabri harus jadi pelajaran berharga. Goreng-menggoreng saham hanya akan membuat citra bursa tercoreng. Transparansi jadi kata kunci. Semua informasi yang relevan harus disampaikan seterang mungkin dalam IPO Bukalapak agar risiko dari setiap transaksi terukur. Ini penting untuk melindungi jutaan investor perorangan yang kini makin banyak bermain di bursa saham.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus