Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sementara Tobat Bakar Uang

Neraca keuangan Bukalapak membaik. Bukan untung, tapi mengerem kerugian dengan memangkas beban pemasaran. 

 

31 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Beda wajah promosi Bukalapak dan para pesaingnya.

  • Strategi memangkas lemak memperbaiki neraca keuangan Bukalapak.

CARA Bukalapak mengejar pertumbuhan sudah terlihat jauh berbeda dibanding dua kompetitornya, Tokopedia dan Shopee. Beberapa tahun terakhir, Bukalapak tidak lagi jorjoran dalam urusan pemasaran ataupun trik mengakuisisi pelanggan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukalapak, misalnya, tidak ikut-ikutan mendatangkan superstar dunia dalam materi pariwara mereka. Ketika Tokopedia dan Shopee bergiliran menggunakan dua bintang populer Korea Selatan alias K-pop sebagai wajah iklan dan duta produk, yaitu BTS dan Blackpink, Bukalapak cukup menggaet Sophia Latjuba dan Nazril Ilham alias Ariel, vokalis grup musik Noah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilansir dari Koreaboo, bayaran BTS untuk membintangi satu iklan mencapai 3-5 miliar won atau Rp 37,5-62,6 miliar dengan kurs Rp 12,5 per won. Harga itu adalah tarif iklan termahal sepanjang sejarah di Korea Selatan. Tarif ini di atas bayaran selebritas level S Korea yang sebesar 1-2 miliar won atau Rp 12,5-25 miliar per iklan. Sementara itu, tidak diketahui berapa bayaran Ariel dan Sophia sebagai bintang iklan Bukalapak. Namun agaknya kita tak boleh bermimpi angka yang mereka kantongi akan melampaui dua bintang super K-pop tersebut.

Dampak keputusan Bukalapak tidak ikut jorjoran menggaet pengguna itu juga amat terang. Bukalapak kini tampak berada di luar gelanggang perebutan sabuk juara perdagangan berbasis elektronik alias e-commerce. Bukalapak, yang telah berusia lebih dari satu dekade, seperti menjadi penonton adu banteng Tokopedia versus Shopee. Pada 2020, jumlah mitra pelanggan di Bukalapak sebanyak 6 juta pelapak. Sedangkan Tokopedia punya 9,9 juta toko online.

Kinerja Bukalapak di setiap segmen juga kedodoran dibanding Tokopedia dan Shopee. Penyedia layanan riset dan data e-commerce di Asia Tenggara, iPrice, mencatat jumlah pengguna aktif bulanan Bukalapak sepanjang triwulan I 2021 cuma 34 juta. Sedangkan angka yang diraih Tokopedia mencapai 135 juta dan Shopee sebanyak 127 juta.

Dari jumlah pengguna aktif yang lebih sedikit, Bukalapak pada akhirnya hanya sanggup menghasilkan nilai transaksi bruto (gross merchandise value/GMV) sebesar US$ 6 miliar sepanjang 2020. Capaian ini tertinggal dua kali lipat lebih dari Tokopedia, yang meraup US$ 14 miliar, dan Shopee, yang mendapatkan US$ 14,2 miliar.

Capaian GMV Bukalapak tersebut membuat perusahaan hanya menggenggam 14,8 persen pangsa pasar e-commerce, merujuk pada riset Frost & Sullivan. Pangsa pasar Bukalapak sedikit lebih besar di kelas layanan e-commerce di kota-kota kecil, non-tier 1, yakni mencapai 35 persen.

Para petinggi Bukalapak menyadari betul situasi ini. “Bukalapak saat ini bukanlah perusahaan dengan transaksi paling besar, modal paling banyak, atau paling terkenal,” kata Muhammad Rachmat Kaimuddin, Chief Executive Officer Bukalapak, dalam public expose penawaran umum perdana saham perusahaannya, Jumat, 9 Juli lalu.

Tentu saja nilai transaksi bruto itu langsung berdampak pada pendapatan Bukalapak. Selama ini, Bukalapak bertumpu pada pendapatan dari komisi transaksi; iklan; langganan; rabat logistik dalam transaksi customer-to-customer; layanan teknologi finansial; fitur premium untuk pedagang, seperti data dan pemasaran; serta biaya pengguna prioritas dan produk virtual.

Pada 2018, pendapatan Bukalapak mencapai Rp 291,9 miliar. Setahun kemudian, angka itu melompat tinggi menjadi Rp 1,076 triliun. Pada 2020, ketika perusahaan mulai mengalihkan fokus untuk mengejar pertumbuhan berkelanjutan, pendapatannya cuma bertambah menjadi Rp 1,351 triliun.

Rachmat paham, di ekosistem perusahaan berbasis teknologi, perusahaan harus “membakar uang” lebih banyak jika mau tumbuh lebih besar, dengan risiko rugi makin tinggi. “Tapi cara pikir kami di Bukalapak berbeda. Kami ingin tumbuh sekaligus memperbaiki profitabilitas,” tutur Rachmat, yang ditunjuk mengemudikan kapal Bukalapak sejak 9 Desember 2019.

Hasil strategi itu langsung terlihat. Perusahaan menekan laju pertumbuhan beban usaha. Pada 2019, beban pokok pendapatan perusahaan masih Rp 267,8 miliar. Setahun kemudian, angka itu tinggal Rp 123,1 miliar.

Bukalapak perlahan memangkas lemak usaha yang selama ini menggerus keuangan perusahaan. Biaya pemasaran sepanjang tahun lalu memang naik menjadi Rp 96,5 miliar—pada 2019 hanya Rp 56,1 miliar. Tapi angka ini masih di bawah pengeluaran Bukalapak untuk pos yang sama pada 2018 yang mencapai Rp 117,2 miliar.

Beban promo, cashback, dan voucher yang sempat mencapai Rp 76,6 miliar pada 2019 turun menjadi Rp 65,4 miliar pada 2020. Kenaikan biaya hanya terjadi dalam hal perbaikan infrastruktur, seperti teknologi informasi dan fasilitas operasional.

Berkat pemangkasan biaya di sana-sini itu, beban akrual pada 2019 yang mencapai Rp 400,4 miliar tinggal Rp 378 miliar tahun lalu. Dampaknya, rasio beban penjualan dan pemasaran terhadap pendapatan neto pada 2020 membaik, tinggal minus 112 persen—jauh dibanding dua tahun sebelumnya yang berturut-turut minus 684 persen dan minus 216 persen. Pendek kata, kerugian perusahaan mengecil. “Kami berusaha agar tren ini terus berlanjut sehingga menjadi perusahaan yang menguntungkan dan berkelanjutan,” ucap Rachmat.

Mungkin inilah satu-satunya kebanggaan yang tersisa dari Bukalapak: berhasil mengerem kerugian tanpa mengurangi pertumbuhan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus