Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Amunisi Anyar Berburu Pencuci Uang

Penyidik di berbagai kementerian dan lembaga negara kini berwenang menyidik kasus pencucian uang. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi Pasal 74 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan membatalkan tafsir hanya enam lembaga yang berhak memburu para pencuci uang. Potensi pengembalian uang negara belasan triliun rupiah.

 

31 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Pasal 74 UU TPPU yang dimohon PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

  • Dengan penerapan TPPU, belasan kasus di KLHK berpotensi menghasilkan Rp 19 triliun ke kas negara.

  • KKP juga tengah membidik jaringan penyelundup benur di Singapura dengan pasal TPPU.

DUA tahun terakhir, sebuah kasus penyelundupan benih lobster membetot perhatian Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Yusuf. Mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini bersama timnya menemukan pola penyelundupan benur dari Indonesia ke Vietnam. “Ternyata ada bandar yang menampung di Singapura, tapi kami belum bisa menyentuhnya karena tak punya kewenangan menjerat dengan pidana pencucian uang,” ujar Yusuf pada Kamis, 29 Juli lalu.

Yusuf dan timnya meminta laporan transaksi keuangan mereka yang terlibat dalam penyelundupan benur ke Vietnam itu ke PPATK. Dari laporan yang mereka terima, terlihat ada aliran dana mencurigakan pada periode Februari 2016 hingga Oktober 2018 yang hampir mencapai Rp 1 triliun. Pelaku yang terlibat pun bermacam-macam, ada oknum pegawai negeri sipil di berbagai daerah, penegak hukum, pengusaha perikanan, hingga penyedia jasa penukaran valuta asing di Singapura dan Brunei Darusalam.

Masalahnya, mereka tahu ada transaksi itu tapi tak bisa berbuat apa-apa. Penyidik pegawai negeri sipil di Kementerian Kelautan tak punya hak menyidik dugaan pidana pencucian uang karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang hanya membolehkan enam lembaga mengusut kejahatan ini.

Enam lembaga itu adalah polisi, jaksa, Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Badan Nasional Narkotika, serta petugas pajak. Para penyidik pegawai negeri sipil di luar enam lembaga ini hanya boleh menyelidiki kejahatan asalnya. Dalam penyelundupan benur, mereka hanya punya kewenangan menjerat para penyelundup, tak sampai pada transaksi di baliknya yang memiliki indikasi pencucian uang. Padahal dua kejahatan ini seiring-sejalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Yusuf./www.facebook.com/HumasItjenKKP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yusuf pun mendorong penyidiknya, Garribaldi Marandita dan Mubarak, mengajukan permohonan uji materi Pasal 74 UU TPPU yang membatasi definisi penyidik pencucian uang. Pada akhir April lalu, bersama dua penyidik lain dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—Cepi Arifiana dan M. Dedy Hardinianto—mereka mengajukan uji materi pasal itu ke Mahkamah Konstitusi.

Penyidik Kementerian Kelautan sebenarnya sudah mengajukan permohonan serupa ke Mahkamah Konstitusi pada 2018. Laporan ini ditolak karena hakim menilai penyidik Kementerian Kelautan tak punya kedudukan hukum. Tak ingin mengulang kejadian serupa, dalam gugatan kali ini mereka memperkuat legal standing dengan mengajak penyidik instansi lain.

Mereka menganggap Pasal 74 membatasi kewenangan penyidik dari kementerian dan lembaga negara mengusut pidana pencucian. Dalam alasan hukum mereka, pasal ini bertentangan dengan norma Pasal 24 ayat 1, Pasal 27 ayat 1, dan Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. “Bila ada penyidikan dugaan pidana pencucian uang, penyidik di kementerian akan melanggar undang-undang,” tulis para penyidik dalam berkas permohonan uji materi tersebut.

Para pemohon menganggap Pasal 74 memunculkan perbedaan dalam tiap perkara pencucian uang. “Padahal tujuan penegakan hukum itu untuk keadilan, pemanfaatan, dan kepastian hukum. Manfaatnya untuk siapa kalau begitu?” ujar Yusuf.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan perkara di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (29/6/2021)./ANTARA/M Risyal Hidayat

Permohonan ini pun berbuah manis. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut pada 29 Juni lalu. Dengan perubahan ini, semua penyidik pegawai negeri sipil di kementerian dan lembaga negara kini memiliki amunisi baru karena bisa mengusut pencucian uang dari pidana asal kejahatan di instansi masing-masing.

Setelah keluarnya putusan ini, Yusuf bersama para penyidik Kementerian Kelautan bersiap menerapkan pasal pencucian uang untuk jaringan penyelundup benur di Indonesia ke Singapura dan Vietnam. “Sekarang masih proses,” tuturnya.

Tak hanya kasus penyelundupan benih lobster, para penyidik itu akan menjerat pelaku kejahatan pencurian ikan di perairan Indonesia memakai pasal pencucian uang. Selama ini, mereka hanya bisa menangkap para awak kapal, bukan pengusaha, karena dibatasi oleh Pasal 74 itu. “Pengusaha hanya duduk-duduk saja tapi menikmati uang hasil kejahatannya,” ucap Yusuf.  “Selama ini kami tidak bisa membuka rekening mereka.”

Pada 2020, misalnya, Kementerian Perikanan menangani 356 kasus kapal pencuri ikan di perairan Indonesia. Dari salah satu kapal saja, kata Yusuf, harga lelang ikan curian itu mencapai Rp 22 miliar. Penyidik tak bisa menyentuh aliran uang tersebut. “Biasanya kami berkoordinasi dengan kepolisian untuk menangani pencucian uang. Namun terkadang koordinasi itu hanya gampang diucapkan, pelaksanaannya sulit,” ujarnya.

Harapan Baru Pengusutan Pencucian Uang/Tempo



Para penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga tengah bersemangat dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dikutip dari acara “Diskusi Jumatan PPATK” pada 23 Juli lalu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan tujuan penegakan hukum bukan mencari uang, melainkan mencegah tindak kejahatan yang bisa merugikan negara dan masyarakat.

Selama ini, kata dia dalam acara tersebut, ada berbagai instrumen yang berkaitan dengan upaya mengembalikan kerugian negara. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, menurut Rasio, penyidik bisa menerapkan denda administratif dan perdata di berbagai perkara sesuai dengan peraturan. “Ini bentuk restoratif,” ucap Roy—panggilan Rasio. Roy tak kunjung merespons permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 31 Juli lalu.

Melalui mekanisme perdata tersebut, Roy mengatakan sudah ada 13 perkara yang berkekuatan hukum tetap yang ditangani penyidik Kementerian Lingkungan dengan nilai mencapai Rp 19,8 triliun. “Sementara kasus yang lain masih banyak lagi,” tuturnya. Namun, dari uang jumbo hasil kejahatan itu, uang yang berhasil disetorkan ke negara lewat mekanisme perdata hanya sekitar Rp 300 miliar.

Meski kecil, jumlah ini masih lebih besar ketimbang hasil yang dicapai dalam penerapan pidana pencucian uang sebelum putusan MK tersebut. PPATK menyebutkan, dari 549 kasus TPPU yang pernah diusut, uang yang berhasil dikembalikan ke kas negara hanya Rp 122 miliar.

Roy optimistis putusan Mahkamah Konstitusi akan memudahkan penyidik Kementerian Kehutanan mengusut kejahatan lingkungan, seperti kebakaran hutan serta pertambangan dan pembalakan liar. “Ini suatu langkah memperkuat penegakan hukum kejahatan lingkungan dan kehutanan,” katanya.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Dian Ediana Rae juga menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi ini. Menurut dia, ada kenaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang terindikasi tindak pidana kehutanan dan sektor lain setiap tahun.

Pada 2018, misalnya, PPATK hanya membuat empat laporan. Jumlah ini bertambah menjadi 28 laporan pada 2019. Penelusuran dan analisis kasus pencucian uang menurun pada 2020 akibat pandemi Covid-19 yang menyulitkan penyidik turun ke lapangan. “Dengan makin banyaknya penyidik pencucian uang, akan makin meningkatkan pengungkapan kasus-kasus hukum di berbagai sektor,” ujar Dian.

Dian Ediana Rae, di Jakarta, 9 Januari 2017./TEMPO/STR/Frannoto

Ia mengatakan para penyidik kini mampu mengungkap kasus di tiap sektor dengan baik dan efektif, karena mereka memahami regulasi, pengawasan, dan dilakukan secara berkelanjutan dengan mengikuti perkaranya sejak di lapangan. “Sehingga ke depannya penindakan tindak pidana asal akan sekaligus dilakukan dengan penindakan pidana pencucian uang,” ucap Dian.

PPATK mengklaim sudah melakukan berbagai upaya untuk mendorong penegak hukum lain agar memanfaatkan Undang-Undang TPPU dalam penyelamatan aset negara yang dicuri dalam berbagai kejahatan. Pada 2020 dan 2021, Pusat Pendidikan dan Pelatihan PPATK mengalokasikan personel, anggaran, dan waktu untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan penyidik tindak pidana asal. “Dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini, kami berharap penegakan hukum pencucian uang bisa meningkat,” kata Dian.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus