Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bakiro, gaya tukang krupuk

Johanes bakiro, anak tukang becak yogyakarta jadi kampiun nasional jalan cepat dalam kejuaraan atletik se-jawa ke-4 di senayan, berhasil memecahkan rekor nasional, beberapa kali memenangkan kejuaraan.

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"TUKANG krupuk! Tukang krupuk!" Ejekan inilah tantangan pertama yang harus dihadapi Johanes Bakiro ketika pertama kali dia memutuskan untuk menjadi pejalan cepat. Teriakan-teriakan mengejek itu datang dari orang-orang di tepi jalan, karena melihat teknik jalan Bakiro yang mirip lenggang-lenggok tukang krupuk sedang memikul kaleng dagangan. Tetapi sekarang, ejekan-ejekan yang selalu dia terima kalau sedang berlatih jalan cepat antara Yogyakarta-Kalasan pulang-pergi, kelihatannya sudah berubah menjadi sapaan yang sopan. Karena Bakiro yang berayah tukang becak dan ibu tukang kue ini, sudah menjadi nama nasional karena prestasi jalan cepatnya. Di bawah sengatan matahari di lintasan Stadion Utama Senayan, dalam Kejuaraan Atletik se-Jawa ke-4 tanggal 8 Agustus yang lalu, Bakiro berhasil memecahkan rekor nasional jalan cepat 10 km. Dia mulai memimpin di depan sendirian setelah putaran ke enam (2,4 km). Sampai di garis finish dia meninggalkan lawannya yang paling dekat sekitar 500 meter di belakang. Catatan waktunya 49 menit 37,38 detik (2 menit 10 detik lebih baik dati rekor yang ia ciptakan di Kejuaraan Atletik se-Jawa di Semarang Maret yang lalu). Nomor jalan cepat sendiri baru dipertandingkan dalam Pekan Olahraga Nasional X tahun 1981 di Jakarta. Rifai Raba, guru sekolah dari Situbondo, Jawa Timur, mematok rekor 10 km jalan cepat ketika itu dengan wak 52 menit. Bakiro sendiri muncul belakangan. Menekuni nomor ini tahun 1979. Mula-mula dia hanya latihan untuk nomor lari, beberapa waktu setelah dia memutuskan niatnya berhenti menjadi loper film dari bioskop ke bioskop di Yogyakarta. Dia berhenti karena kesehatannya sering terganggu. "Diganggu batuk," katanya. Alasannya pindah dari nomor lari ke jalan cepat sederhana saja. "Kalau lari banyak musuh. Sedangkan jalan cepat ini belum populer. Sehingga untuk menjadi atlet nasional lebih besar kemungkinannya," ucap Bakiro. Tetapi di samping alasan yang kedengarannya oportunistis itu, Bakiro memilih cabang olahraga ini "karena gaya berjalan yang berlenggang-lenggok seperti tukang krupuk." Bakiro pertama kali merasakan apa arti menjadi juara tahun 1980 ketika dia memenangkan nomor jalan cepat dalam Pekan Olahraga Desa se-Kotamadya Yogyakarta. Ia adalah andalan Kecamatan Gedongtengen. Baru 2 tahun kemudian, dalam Kejuaraan Atletik se-Jawa I di Malang, dia muncul untuk pertandingan tingkat nasional -- dan juara. Sekalipun prestasinya kurang meyakinkan: 53 menit 6 detik. Saban hari dia berlatih 2 jam. Enam hari dalam seminggu. Sekitar 70% latihannya terdiri dari latihan daya tahan dalam bentuk lari maupun jalan. Selebihnya latihan daya tahan kecepatan (menempuh jarak jauh dengan kecepatan optimal) plus latihan teknik melangkah. Seminggu sekali naik-turun jalan berbukit sepanjang lebih kurang 11 km di jalan antara Yogyakarta-Wonosari. ANAK tukang becak, Padmowihardjo, yang hanya bisa mencapai bangku sekolah dasar kelas 5 ini untuk pertama kali muncul dalam duel jalan cepat di luar negeri Mei yang lalu. Ia ikut ambil bagian dalam lomba Malay Big Walk, menempuh jarak 20 km. Bagaikan tuk ang becak yang kehilangan sewa, ia cukup kecewa sepulang dari pertandingan itu. Karena ternyata Bakiro hanya bisa menduduki urutan ke-22 di antara 15.000 peserta. "Jaraknya 20 km dan berbukitbukit," pelatih Kadardjo memberi alasan. Untuk tingkat nasional Bakiro nampaknya tak segan-segan mengumbar kata-kata. "Kalau saja dalam kejuaraan se-Jawa ini ada saingan kuat, rekor saya bisa lebih tajam lagi," katanya. Ambisinya sekarang menjadi juara di SEA Games. Tapi itu berarti dia harus bisa memperbaiki rekornya yang sekarang 2 menit lebih tajam lagi. "Saya senang dengan prestasi saya, tapi lebih senang lagi kalau bisa membantu keluarga," akhirnya dia berkata dengan memelas. Pemuda berusia 25 tahun itu selalu teringat pesan ayahnya, "Kue iki wis gede. Mbok yo golek gawean," Artinya: "Engkau sudah besar, cari kerjalah." Ia sering mengungkapkan pesan itu. "Mudah-mudahan pelatih saya bisa mencarikan kerja buat saya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus