"TUKANG krupuk! Tukang krupuk!" Ejekan inilah tantangan pertama
yang harus dihadapi Johanes Bakiro ketika pertama kali dia
memutuskan untuk menjadi pejalan cepat. Teriakan-teriakan
mengejek itu datang dari orang-orang di tepi jalan, karena
melihat teknik jalan Bakiro yang mirip lenggang-lenggok tukang
krupuk sedang memikul kaleng dagangan.
Tetapi sekarang, ejekan-ejekan yang selalu dia terima kalau
sedang berlatih jalan cepat antara Yogyakarta-Kalasan
pulang-pergi, kelihatannya sudah berubah menjadi sapaan yang
sopan. Karena Bakiro yang berayah tukang becak dan ibu tukang
kue ini, sudah menjadi nama nasional karena prestasi jalan
cepatnya.
Di bawah sengatan matahari di lintasan Stadion Utama Senayan,
dalam Kejuaraan Atletik se-Jawa ke-4 tanggal 8 Agustus yang
lalu, Bakiro berhasil memecahkan rekor nasional jalan cepat 10
km. Dia mulai memimpin di depan sendirian setelah putaran ke
enam (2,4 km). Sampai di garis finish dia meninggalkan
lawannya yang paling dekat sekitar 500 meter di belakang.
Catatan waktunya 49 menit 37,38 detik (2 menit 10 detik lebih
baik dati rekor yang ia ciptakan di Kejuaraan Atletik se-Jawa
di Semarang Maret yang lalu).
Nomor jalan cepat sendiri baru dipertandingkan dalam Pekan
Olahraga Nasional X tahun 1981 di Jakarta. Rifai Raba, guru
sekolah dari Situbondo, Jawa Timur, mematok rekor 10 km jalan
cepat ketika itu dengan wak 52 menit.
Bakiro sendiri muncul belakangan. Menekuni nomor ini tahun 1979.
Mula-mula dia hanya latihan untuk nomor lari, beberapa waktu
setelah dia memutuskan niatnya berhenti menjadi loper film dari
bioskop ke bioskop di Yogyakarta. Dia berhenti karena
kesehatannya sering terganggu. "Diganggu batuk," katanya.
Alasannya pindah dari nomor lari ke jalan cepat sederhana saja.
"Kalau lari banyak musuh. Sedangkan jalan cepat ini belum
populer. Sehingga untuk menjadi atlet nasional lebih besar
kemungkinannya," ucap Bakiro. Tetapi di samping alasan yang
kedengarannya oportunistis itu, Bakiro memilih cabang olahraga
ini "karena gaya berjalan yang berlenggang-lenggok seperti
tukang krupuk."
Bakiro pertama kali merasakan apa arti menjadi juara tahun 1980
ketika dia memenangkan nomor jalan cepat dalam Pekan Olahraga
Desa se-Kotamadya Yogyakarta. Ia adalah andalan Kecamatan
Gedongtengen. Baru 2 tahun kemudian, dalam Kejuaraan Atletik
se-Jawa I di Malang, dia muncul untuk pertandingan tingkat
nasional -- dan juara. Sekalipun prestasinya kurang meyakinkan:
53 menit 6 detik.
Saban hari dia berlatih 2 jam. Enam hari dalam seminggu. Sekitar
70% latihannya terdiri dari latihan daya tahan dalam bentuk lari
maupun jalan. Selebihnya latihan daya tahan kecepatan (menempuh
jarak jauh dengan kecepatan optimal) plus latihan teknik
melangkah. Seminggu sekali naik-turun jalan berbukit sepanjang
lebih kurang 11 km di jalan antara Yogyakarta-Wonosari.
ANAK tukang becak, Padmowihardjo, yang hanya bisa mencapai
bangku sekolah dasar kelas 5 ini untuk pertama kali muncul
dalam duel jalan cepat di luar negeri Mei yang lalu. Ia ikut
ambil bagian dalam lomba Malay Big Walk, menempuh jarak 20 km.
Bagaikan tuk ang becak yang kehilangan sewa, ia cukup kecewa
sepulang dari pertandingan itu. Karena ternyata Bakiro hanya
bisa menduduki urutan ke-22 di antara 15.000 peserta. "Jaraknya
20 km dan berbukitbukit," pelatih Kadardjo memberi alasan.
Untuk tingkat nasional Bakiro nampaknya tak segan-segan
mengumbar kata-kata. "Kalau saja dalam kejuaraan se-Jawa ini ada
saingan kuat, rekor saya bisa lebih tajam lagi," katanya.
Ambisinya sekarang menjadi juara di SEA Games. Tapi itu berarti
dia harus bisa memperbaiki rekornya yang sekarang 2 menit lebih
tajam lagi. "Saya senang dengan prestasi saya, tapi lebih senang
lagi kalau bisa membantu keluarga," akhirnya dia berkata dengan
memelas.
Pemuda berusia 25 tahun itu selalu teringat pesan ayahnya, "Kue
iki wis gede. Mbok yo golek gawean," Artinya: "Engkau sudah
besar, cari kerjalah." Ia sering mengungkapkan pesan itu.
"Mudah-mudahan pelatih saya bisa mencarikan kerja buat saya,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini