Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Galunggung kapan selesai?

Usaha dilakukan untuk menanggulangi bahaya banjir lahar. bila musim hujan tiba, dikuatirkan akan menerjang tasikmalaya. upacara mistik dilakukan penduduk mereka enggan keluar dari daerah bahaya I. (ling)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUNCAK Galunggung membara dihiasi semprotan pijar menyala. Sesekali terlihat kilatan api bagaikan halilintar. Penduduk ramai pergi ke luar rumah, seperti biasa hendak menonton Galunggung yang sedang murka. Suatu malam pekan lalu, letusan besar yang ke-26 terjadi, sementara letusan kecil agaknya tak terhitung banyaknya. Setelah lebih 4 bulan Galunggung itu mengamuk, kini letusannya bagi penduduk Tasikmalaya bukan hal aneh lagi. Justru penduduk merasa aneh bila dalam dua tiga hari Galunggung tidak meletus. Tapi di balik "hiburan" bagaikan adegan perang di puncak bukit, penduduk dicekam rasa takut menjelang tibanya musim hujan. Sebab ini berarti bencana banjir lahar dan air. Saat ini ditaksir sekitar 16 juta m3 lahar menyelimuti tepi kepundan dan lereng Gunung Galunggung. Dari jumlah ini diperhitungkan 30%, atau 5 juta m3 lebih, bakal mengalir melalui sungai-sungai yang bersumber di lereng gunung itu. Apalagi bila hujan deras berturut-turut, "boleh jadi tigaperempat jumlah itu sekaligus menerjang Kota Tasikmalaya dan sekitarnya," ujar Bupati Tasikmalaya, Hudly Bambang Aruman pekan lalu. Menjelang Lebaran lalu masyarakat Tasikmalaya sudah mencicipi malapetaka itu. Sekedar hujan rintik-rintik sempat menghanyutkan lahar di kali Ciloseh, memporakporandakan 76 rumah penduduk. Di kampung Marengtong Desa Indrajaya, 8 km dari Tasikmalaya sebuah tanggul penahan lahar jebol. Akibatnya sekitar 15 rumah penduduk yang sudah dikosongkan, hanyut diterjang lahar. Kini suasana di tempat itu menyeramkan. Batu besar berserakan di mana-mana, permukaan lahar di sungai sudah rata dengan daratan, dan banyak pohon bertumbangan. Kecuali gemercik bunyi air, tak lagi terdengar suara manusia maupun hewan. Suasana sunyi gersang bagaikan di padang pasir. Sesekali angin kencang bertiup, menerpa debu. Di bagian lain sebuah tanggul sudah terbenam lahar yang meluap dari kantung lahar. Akibatnya 11 rumah, termasuk sebuah pesantren Al-Muawwanah hancur. Rumah Hadirin, 60 tahun, sudah tiada. Dulu rumah itu tegak sekitar 100 m di balik tanggul itu. Dua hari sebelum Lebaran, Hadirin bersama kelima anaknya masih sempat membersihkan rumah. "Kami kepingin berlebaran di rumah," ujar petani yang dulu memiliki 300 tumbak (4.200 m2) sawah. Esok harinya rumahnya sudah tidak kelihatan, rata dengan lahar. "Tadinya saya percaya akan kekuatan tanggul itu," ujar Hadirin. Tanggul yang diandalkan Hadirin dan tetangganya itu sebetulnya cukup kuat. Ia dibangun dengan swadaya masyarakat berdasarkan petunjuk teknis dari DPU, tak lama setelah Galunggung mulai meletus. Sistem "Gabion" dipergunakan, yaitu bronjong kawat yang diisi dengan batu. Tapi luapan lahar memang di luar perkiraan karena Galunggung terus-menerus memuntahkan bahannya. Bahkan tanggul raksasa yang direncanakan sepanjang 2,5 km -- baru selesai 500 m -- yang bertujuan membendung lahar di kantung lahar sebanyak 2,4 juta m3 sekarang sudah kelihatan tak memadai. Rencana tanggul sepanjang itu juga dibangun dengan sistem bronjong. Tingginya mencapai 5 m dengan lebar alas 8 m dan lebar atas 3 m. Pelaksanaan pembangunannya dimulai awal Agustus dan diharapkan selesai dalam Oktober, menjelang musim hujan. Semula tanggul pertama itu diperkirakan mencukupi untuk membendung dan mengendalikan aliran lahar di musim hujan kelak. Tapi ternyata Galunggung berkepanjangan kegiatannya dan: tak hentinya memuntahkan bahan lahar. Menurut Ir. Adjat Sudradjat, Kepala Direktorat Vulkanologi selama letusan Juli lalu material itu sudah bertambah dengan 1 juta m3 lagi, menjadi kini seluruhnya sekitar 16 juta m3 berumpuk di puncak dan lereng guunung yang amuk itu. Kalau beberapa bulan lagi gunung itu meletus, "bisa saja jumlah material itu menjadi dua kali lipat," kata Adjat lagi. JUGA Ir. Hayatun, Kepala DPU Wilayah Priangan mengakui kapasitas tanggul itu tak akan memadai. "Ibarat gelas yang diisi terus-menerus. akibatnya bisa limpas." Tanggul itu dibangun dengan biaya Rp 500 juta tapi agaknya realisasi biaya itu tersendat-sendat, hingga sampai pekan lalu belum ada pemborong yang sudah menerima upah borongan. Ini tentu mempengaruhi juga semangat kerja. Apalagi seperti dikatakan Hayatun, "Kami berpacu dengan waktu." Mempertinggi tanggul yang sudah hampir rata dengan luapan lahar, tidak mungkin. Semakin tinggi justru semakin besar bahaya bila tanggul itu jebol. Hayatun yakin banjir lahar pasti datang di musim hujan. "Saya belum bisa membayangkan bagaimana kalau bencana itu tiba," ujarnya kepada TEMPO. "Apalagi lahar itu membawa batu-batu besar dan pohon-pohon yang bisa menyumbat jembatan." Selama ini agaknya perhatian utama dicurahkan pada usaha mengurus pengungsi. "Hanya 20% memperhatikan bahaya lahar," ujar Sesdalopbang Solichin G.P. ketika berada di Tasikmalaya pekan lalu. Bupati Hudly kini sungguh memusatkan perhatian pada ancaman bahaya banjir lahar. "Masyarakat Kota Tasikmalaya kini benar-benar ketakutan," ujarnya. Hujan diduga mulai turun dalam Oktober. Menurut Pusat Analisa dan Pengolahan, Badan Meteorologi dan Geofisika, curah hujan di daerah Priangan tahun ini akan berada di atas normal. Satu faktor yang mendorong kenaikan mi ialah banyaknya debu Galunggung yang menyebar di udara. Debu itu bisa bertindak sebagai inti kondensasi. Curah hujan rata-rata selama musim hujan (Oktober-Mei) biasanya 1.800 mm setahun. Tapi tahun 1982-1983 ini diperkirakan akan mencapai 1.900 mm. Sementara curah hujan paling besar khusus untuk Tasikmalaya akan terjadi Januari. Menghadapi kenyataan ini, Bupati Hudly sudah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Bahaya Banjir Lahar. Tugasnya mengkoordinasikan semua upaya penanggulangan bahaya sepanjang aliran sungai-sungai Cioseh, Cimampang, Cimulu, Cikunir, Gibanjaran, Cikunten Cimerah, Cisaruni dan Cikupang serta berbagai anak sungainya. Satgas itu memberitahukan sedini mungkin datangnya banjir serta memberikan petunjuk dan bantuan penyelamatan kepada masyarakat. Selain melarang penduduk tinggal di daerah bahaya, Satgas itu mensiagakan penduduk di daerah waspada, terutama yang tinggal di tepian sungai. Juga dibuat berbagai pos pengamat menyebar di wilayah bencana, lengkap dengan alat komunikasi tradisional: kentungan. Pukulan satu-satu berarti aman, beruntun pukulan ganda berarti siap siaga dan pukulan terus-menerus berarti banjir melanda. Yang tak kalah penting ialah upaya penyuluhan kepada masyarakat tentang apa yang harus dilakukan jika memang banjir lahar melanda. Untuk itu juga Satgas sudah menetapkan beberapa daerah lokasi aman di pinggiran kota. Satgas yang dipimpin Bupati Hudly langsung melaksanakan tugasnya melalui 3 Satgas Galunggung. Satgas Galunggung I bertanggung jawab menanggulangi bahaya banir sepanang aliran Sungai Ciloseh, Cimampang dan Cimelu. Satgas ini dipimpin Kasdim 0612 Tasikmalaya. Satgas Galunggung II dipimpin Kadis Operasi Lanu Tasikmalaya dan bertugas sepanjang aliran Sungai Cibanjaran dan Cikunir. Sedang Satgas Galunggung III yang bertugas sepanang aliran Sungai Cikunten, Cimerah, Cisaruni dan Cikupang, dipimpin Wa Dan Res 844 Tasikmalaya. Tapi tampaknya kerja Satgas itu belum banyak diketahui masyarakat luas. "Kami belum memperoleh petunjuk apa yang harus kami lakukan bila banjir lahar tiba," ujar Solehuddin, 40 tahun, yang bertempat tinggal hanya 100 meter dari tepi Sungai Ciloseh di Kota Tasikmalaya. Beberapa tetangganya tampak sibuk membentengi rumah mereka dengan karung berisikan pasir. Suatu usaha sepele. "Tapi lumayanlah sekedar melindungi," ujar Rukanda, 50 tahun, pemilik toko kelontong yang belakang rumahnya hampir menyentuh air Ciloseh. Sungai Ciloseh yang membelah Kota Tasikmalaya memang cukup mengkhawatirkan. Seperti juga Sungai Cikunir, Cisangkan dan Cikunten, keadaannya sudah sarat dengan endapan lahar. Kota itu memang dilindungi Bukit Sinagar tapi lahar menyusup melalui Ciloseh yang berhulu sebelah utara bukit itu. Sebetulnya Ciloseh pun bebas dari lahar andaikata tidak ada saluran irigasi yang menghubungkannya dengan Sungai Cibanjaran Kecil. Melalui saluran yang dibuat pada zaman Jepang itulah lahar memasuki Ciloseh. Untuk mengatasi luapan Ciloseh, penduduk diajak pula bergotong-royong mengeruk lahar. Tapi tampaknya usaha yang sesekali itu kurang efektif. "Untuk mengeruk lahar di Kali Ciloseh diperlukan alat-alat berat," ujar Bupati Hudly. Apalagi lahar sudah menggenang dari hulu sampai muara sungai itu. STRATEGI penang gulangan bahaya banjir kini terpusat mengalihkan lahar dari wilayah Kota Tasikmalaya dan sekitarnya. Dengan pembuatan tanggul, kantung lahar, cekdam dan bendungan diharapkan luapan lahar nanti terutama akan mengalir melalui Sungai Cibanjaran Besar, Cibanjaran Kecil dan Cikunir yang melalui Sungai Ciwulan akhirnya bermuara di Samudera Indonesia. Akibatnya juga desa-desa di wilayah ini yang paling parah diterjang lahar. Ini termasuk Rancailat, Kubangeceng, Tawang Banteng, Sinagar, Ciponyo dan Kikisik (lihat Ajengan Yang Disangka Sakti). Sementara di sebelah timur mengalir Sungai Citanduy. Sungai yang juga bermuara di Samudra Indonesia agaknya oleh Sesdalopbang Solichin G.P. diperkirakan terancam banjir lahar musim hujan mendatang, terutama daerah alirannya yang meliputi Sungai Ciloseh dan Cimampang. Tapi Ir. Nurachim, Kepala Staf Bidang Pelaksanaan Proyek Citanduy tampak tenang. "Citanduy jauh dari ancaman banjir lahar musim hujan yang akan datang," ucapnya kepada TEMPO. Ia menilai sungai yang di musim hujan debit airnya bisa mencapai 850 m3 per detik dan berukuran lebar rata-rata 5060 meter dengan kedalaman 6-7 meter cukup mampu menampung kalaupun ada lahar. Ini pun diperkirakan terutama akan berasal dari Sungai Ciloseh yang bermuara di Citanduy, panjang Ciloseh masih sekitar 30 km. Selain itu terdapat tiga cekdam yang berfungsi menahan endapan lumpur atau lahar yang berasal dari hulu Ciloseh. Solichin G.P. mengucap syukur bahwa pejabat Proyek Citanduy sudah memperhitungkan banjir lahar tidak akan sampai melanda Sungai Citanduy. "Semua itu kan usaha pencegahan," ujar Sesdalopbang menjelang bertolak ke Jakarta pekan lalu. Menurut Solichin, usaha pencegahan itu bukan hanya ditujukan pada Daerah Bahaya I sampai III atau pengungsi di barak-barak. "Tetapi dipikirkan secara keseluruhan," ujarnya. Untuk itu pekan lalu Solichin mengadakan pertemuan dengan pejabat Direktorat Vulkanologi, Dinas PU, Meteorologi, TNI AU dan 3 ahli gunung api dari Universitas Kagoshima, Jepang. Solichin mengambil langkah buat mengamankan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy, Citarum dan Cimanuk. Sumber lahar menurut Sesdalopbang akan membawa efek perusakan pada 3 DAS itu. Karennya kabupaten yang berada di DAS itu -- Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Kuningan, Majalengka, Indramayu dan Sumedang -- diingatkan oleh bekas gubernur Ja-Bar itu agar bersiap-siap. "Kita harus memperhitungkan akibat yang terberat," ucapnya. "Syukur-syukur itu tidak terjadi. " Sementara Zeni ABRI diminta untuk membantu, pemerintah Amerika Serikat menyumbang alat-alat seperti gergaji mesin, sekop, palu besar, semuanya berjumlah 14 ton. "Sekarang alat-alat itu masih di Singaparna," ujar Solichin. Saat ini kantung lahar di Ciponyo sedang giat dibangun PU di samping kantung lahar di Cimampang, sementara beberapa cekdam di Cimampang maupun di Ciloseh sedang diupayakan. Berbagai tanggul pengaman terbuat dengan bronjong kawat yang diisi batu sudah dibangun dengan jumlah panjang total 4.850 m sepanjang aliran Sungai Cikunir dan Cibanjaran. Pembuatan tanggul dengan peningkatan Jalan Kikisik sepanjang 2,5 km. Semua itu sudah selesai dibangun dengan biaya Rp 733 juta. Menurut Bupati Hudly yang masih dikerjakan ialah pembuatan sudetan, dua buah bangunan suplisi, pembuatan dam kantung lahar sepanjang 2,5 km dari Cihanjuang, Ciponyo sampai ke Kubangeceng serta pembuatan tanggul pada aliran Sungai Ciloseh. Tentu banyak kesulitan yang dihadapi. "Waktunya terbatas, datanya minim," ucap Solichin GP. Menurut Sesdalopbang data tentang Galunggung tidak dipersiapkan lebih dulu seperti halnya di Gunung Merapi. Galunggung ini sekonyong-konyong terjadi. Sebaliknya hal Merapi yang sudah diamati bertahun-tahun, "orang sudah hafal," kata Solichin. "Sedang Galunggung, sambil meletus, sambil diamati dan dianalisa." Meski semua upaya dilakukan untuk mengurangi akibat buruk bila lahar turun di musim hujan nanti, sukar dihindari kemungkinan terjadi rawan pangan di berbagai daerah. Daerah itu kini sudah dibagi dalam tiga klasifikasi. Ketiga daerah itu -- berat, sedang ringan -- mencakup lebih 1,5 juta penduduk. Bupati Hudly memperkirakan pada musim tanam mendatang selama 6 bulan, penduduk Kabupaten Tasikmalaya akan mengalami paceklik sehingga diperlukan persediaan pangan kurang lebih 5.000 ton beras. "Jumlah sebanyak itulah yang kini belum tersedia," ujar Hudly. Dengan makin banyak lahar yang bakal turun di musim hujan mendaung, dapat dipastikan jumlah kerugian di berbagai sektor pun bakal membengkak. Sampai pertengahan Juli lalu, kerugian yang diderita Kabupaten Tasikmalaya berjumlah sekitar Rp 29,6 milyar. Ini dari sub-sektor pertanian pangan, peternakan, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Di sub-sektor tanaman pangan kerugian Tasikmalaya ditaksir Rp 14 milyar. Kerugian Kabupaten Ciamis Rp 2,5 milyar dan Kabupaten Garut Rp 8,5 milyar. Sub sektor peternakan mendatangkan kerugian bagi Kabupaten Tasikmalaya sekitar Rp 344 juta, Garut Rp 182 juta, Ciamis Rp 225 juta dan Kabupaten Bandung Rp 350 juta. Sub-sektor perkebunan Tasikmalaya merugi sekitar Rp 3,6 milyar, Garut Rp 1,7 milyar, Ciamis dan Bandung masing-masing Rp 900 juta. Kerugian di sektor perkebunan disebabkan musnahnya tanaman kelapa, cengkih, karet, teh dan kopi, semuanya dihantam debu Galunggung. Akibatnya tak memenuhi syarat untuk diekspor. Di sub-sektor kehutanan, sekitar 4.250 ha pohon pinus dan 1.950 ha hutan lindung hasil reboisasi, musnah dengan kerugian sekitar Rp 4,5 milyar. Kabupaten Tasikmalaya menderita kerugian paling parah di sub-sektor perikanan sejumlah Rp 2,8 milyar, Garut Rp 450 juta dan Ciamis Rp 141 juta. Selain kerugian pada sektor pertanian dengan kelima sub-sektornya, Tasikmalaya mengalami kerugian sekitar Rp 6,2 milyar akibat kerusakan pada jalan-jalan, jembatan, irigasi, dam, SD Negeri dan Inpres, masjid, Puskesmas dan perumahan rakyat. Semua itu disebabkan gunung api |yang kini sudah lebih 4 bulan mengamuk. Galunggung itu terletak 17 km ke arah barat laut Kota Tasikmalaya hampir di perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya. Sebetulnya Galunggung bersama sejumlah gunung api lain membentuk suatu gugusan. Termasuk di antaranya Gunung Beuti Canar, G. Guntur, G. Walirang, G. Dindingari, G. Siang dan G. Jadi. Gugusan ini mempunyai beberapa kawah, yaitu kawah Siang, Guntur, Walirang, Karso dan kubah lava Gunung Jadi. Yang terakhir inilah anak G. Galunggung, yang menimbulkan musibah itu. Sebelum April lalu, Galunggung itu terakhir meletus di tahun 1918. Letusan itu kemudian membentuk kubah lava G. Jadi. Sejak itu Galunggung tidak aktif, kecuali di tahun 1958 dan 1959, namun tidak sampai meletus. Setelah masa istirahat yang 64 tahun itu, 5 April lalu Galunggung meletus lagi hingga kini. Kapan akan berakhir? Dalam suatu percakapan dengan TEMPO, Prof. Dr. J.A. Katili, Dirjen Pertambangan Umum mengemukakan bahwa letusan 28 Juli lalu menunjukkan sifat yang berlainan dari erupsi yang sudah-sudah. Memang kemudian terjadi lagi letusan besar dan kecil tapi semua letusan itu tidak menghembuskan abu sampai ke stratosfera. Abu hanya jatuh sekitar gunung api saja, sementara kepingan lava (batu meleleh) tampak terlempar ke luar. Semua ledakan itu disertai tekanan gas yang tak begitu kuat. Semua gejala itu memberikan indikasi bahwa G. Galunggung besar kemungkinan mulai memasuki fase akhir (fase efusiva), sebelum beristirahat. Dari data yang selama ini terkumpul, ahli vulkanologi Indonesia membagi seluruh rangkaian letusan Galunggung dalam tiga fase. Fase penghancuran kubah lava lama secara bertahap yang berlangsung selama 1« bulan (5 April 19 Mei). Kemudian fase abu-gas yang membentuk pipa kepundan berbentuk corong Fase ini berlangsung sekitar 2 bulan (19 Mei - 23 Juli). Dan menyusul fase awal efusiva disertai lemparan lava pijar yang dimulai 23 Juli hingga kini. Fase ke-3 ini pada umumnya menunjuk pada penutupan suatu siklus letusan, meski tetap sukar orang memastikan berapa lama fase ini berlangsung hingga gunung api itu istirahat kembali. Secara spekulatif, mengkorelasikannya dengan kurun waktu fase terdahulu, letusan Galunggung berkemungkinan akan berakhir dalam Oktober. Perkiraan ini sangat hati-hati diungkapkan Dr. Katili. Sebab, menurut dia, perubahan strktur pada waduk magma bisa saja terjadi. Ini memungkinkan ada paroksisme (puncak ledakan) baru meskipun belum ada tanda ke arah itu. Namun Dr. Katili mengingatkan bahwa Gunung Agung di Bali mengalami dua kali puncak ledakan dalam kurun waktu yang berdekatan. Ini mengacaukan perkiraan teoretis para ahli waktu itu dan memperlihatkan betapa sulitnya menganalisa tingkah laku sebuah gunung api. Apalagi Galunggung yang sekarang sudah dikenal banyak ulah. Ketika ia meletus April lalu, kadar silikat material yang disemburkan sebesar 55,7%. Juli lalu, kadar itu berangsur turun. "Secara teoretis, penurunan kadar silikat, tanda aktivitas gunung segera menurun," ujar Ir. Adjat di Bandung. Nyatanya Galunggung terus giat dan tak berhenti meletus. Adat aneh yang lain dari Galunggung ialah tentang gempa yang mendahului letusan. Teori mengajarkan karena magma di perut bumi mendesak ke permukaan, sebelum terjadi erupsi, lebih dulu terjadi gempa, 3 sampai 7 km di kedalaman bumi. Gempa itu disusul gempa yang kian dangkal kemudian terjadi gempa tremor yang menyertai letusan. Umumnya Galunggung tidak menyimpang dari pola ini tapi seringkali juga menyimpang. "Tanpa didahului gempa vulkanik dalam, tiba-tiba Galunggung meletus," ujar Adjat. Terlepas dari interpretasi macam ulah Galunggung, semua pihak agaknya sependapat bahwa bahaya terbesar kini merupakan ancaman banjir lahar di musim hujan mendatang. Terutama perlu dicegah lahar itu memasuki sungai-sungai Citanduy dan Cimanuk. Di kedua DAS itu terdapat sistem irigasi yang bermilyar rupiah nilainya, menurut Dr. Katili. Dirjen Pertambangan Umum itu sudah menginstruksikan Direktorat Vulkanologi untuk membuat peta lahar dalam kondisi yang paling jelek. Suatu skenario bilamana curah hujan mencapai maksimum dan bila kantung lahar tak lagi sanggup menampung seluruh material yang turun. Peta itu disertai lokasi "bukit perlindungan", tempat penduduk bisa menyelamatkan diri. Atau mungkin penduduk menuruti uga (ramalan yang diyakini kebenarannya oleh penduduk) Galunggung seperti terungkap dalam suatu kitab kuno bertuliskan huruf Arab gundul. Kepada TEMPO Drs. Agus Permadi, dosen Antropologi di Universitas Siliwangi menceritakan isinya. Bila pada akhirnya Tasikmalaya jadi lautan pasir (keusik ngalayah -- TEMPO, 7 Agustus), penduduk akan mengungsi ke Sukapura di selatan Sukabumi dan ke Padawaras, selatan Tasikmalaya. Menurut Agus Permadi yang pernah menulis Sejarah Berdirinya Kabupaten Tasikmalaya, tanda-tanda ke arah itu memang sudah ada. Antara lain kini di tempat pengungsian itu, tengah dibangun sebuah bendungan irigasi yang mampu mengairi sawah sekitar 800 ha. "Daripada susah-susah transmigrasi keluar Jawa," kata Agus Permadi, "lebih baik mereka disuruh bersawah saja di sana."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus