PUNCAK Galunggung membara dihiasi semprotan pijar menyala.
Sesekali terlihat kilatan api bagaikan halilintar. Penduduk
ramai pergi ke luar rumah, seperti biasa hendak menonton
Galunggung yang sedang murka. Suatu malam pekan lalu, letusan
besar yang ke-26 terjadi, sementara letusan kecil agaknya tak
terhitung banyaknya.
Setelah lebih 4 bulan Galunggung itu mengamuk, kini letusannya
bagi penduduk Tasikmalaya bukan hal aneh lagi. Justru penduduk
merasa aneh bila dalam dua tiga hari Galunggung tidak meletus.
Tapi di balik "hiburan" bagaikan adegan perang di puncak bukit,
penduduk dicekam rasa takut menjelang tibanya musim hujan. Sebab
ini berarti bencana banjir lahar dan air.
Saat ini ditaksir sekitar 16 juta m3 lahar menyelimuti tepi
kepundan dan lereng Gunung Galunggung. Dari jumlah ini
diperhitungkan 30%, atau 5 juta m3 lebih, bakal mengalir melalui
sungai-sungai yang bersumber di lereng gunung itu. Apalagi bila
hujan deras berturut-turut, "boleh jadi tigaperempat jumlah itu
sekaligus menerjang Kota Tasikmalaya dan sekitarnya," ujar
Bupati Tasikmalaya, Hudly Bambang Aruman pekan lalu.
Menjelang Lebaran lalu masyarakat Tasikmalaya sudah mencicipi
malapetaka itu. Sekedar hujan rintik-rintik sempat menghanyutkan
lahar di kali Ciloseh, memporakporandakan 76 rumah penduduk. Di
kampung Marengtong Desa Indrajaya, 8 km dari Tasikmalaya sebuah
tanggul penahan lahar jebol. Akibatnya sekitar 15 rumah penduduk
yang sudah dikosongkan, hanyut diterjang lahar.
Kini suasana di tempat itu menyeramkan. Batu besar berserakan di
mana-mana, permukaan lahar di sungai sudah rata dengan daratan,
dan banyak pohon bertumbangan. Kecuali gemercik bunyi air, tak
lagi terdengar suara manusia maupun hewan. Suasana sunyi gersang
bagaikan di padang pasir. Sesekali angin kencang bertiup,
menerpa debu.
Di bagian lain sebuah tanggul sudah terbenam lahar yang meluap
dari kantung lahar. Akibatnya 11 rumah, termasuk sebuah
pesantren Al-Muawwanah hancur. Rumah Hadirin, 60 tahun, sudah
tiada. Dulu rumah itu tegak sekitar 100 m di balik tanggul itu.
Dua hari sebelum Lebaran, Hadirin bersama kelima anaknya masih
sempat membersihkan rumah. "Kami kepingin berlebaran di rumah,"
ujar petani yang dulu memiliki 300 tumbak (4.200 m2) sawah.
Esok harinya rumahnya sudah tidak kelihatan, rata dengan lahar.
"Tadinya saya percaya akan kekuatan tanggul itu," ujar Hadirin.
Tanggul yang diandalkan Hadirin dan tetangganya itu sebetulnya
cukup kuat. Ia dibangun dengan swadaya masyarakat berdasarkan
petunjuk teknis dari DPU, tak lama setelah Galunggung mulai
meletus. Sistem "Gabion" dipergunakan, yaitu bronjong kawat yang
diisi dengan batu. Tapi luapan lahar memang di luar perkiraan
karena Galunggung terus-menerus memuntahkan bahannya.
Bahkan tanggul raksasa yang direncanakan sepanjang 2,5 km --
baru selesai 500 m -- yang bertujuan membendung lahar di kantung
lahar sebanyak 2,4 juta m3 sekarang sudah kelihatan tak memadai.
Rencana tanggul sepanjang itu juga dibangun dengan sistem
bronjong. Tingginya mencapai 5 m dengan lebar alas 8 m dan lebar
atas 3 m. Pelaksanaan pembangunannya dimulai awal Agustus dan
diharapkan selesai dalam Oktober, menjelang musim hujan.
Semula tanggul pertama itu diperkirakan mencukupi untuk
membendung dan mengendalikan aliran lahar di musim hujan kelak.
Tapi ternyata Galunggung berkepanjangan kegiatannya dan: tak
hentinya memuntahkan bahan lahar. Menurut Ir. Adjat Sudradjat,
Kepala Direktorat Vulkanologi selama letusan Juli lalu material
itu sudah bertambah dengan 1 juta m3 lagi, menjadi kini
seluruhnya sekitar 16 juta m3 berumpuk di puncak dan lereng
guunung yang amuk itu. Kalau beberapa bulan lagi gunung itu
meletus, "bisa saja jumlah material itu menjadi dua kali lipat,"
kata Adjat lagi.
JUGA Ir. Hayatun, Kepala DPU Wilayah Priangan mengakui kapasitas
tanggul itu tak akan memadai. "Ibarat gelas yang diisi
terus-menerus. akibatnya bisa limpas."
Tanggul itu dibangun dengan biaya Rp 500 juta tapi agaknya
realisasi biaya itu tersendat-sendat, hingga sampai pekan lalu
belum ada pemborong yang sudah menerima upah borongan. Ini tentu
mempengaruhi juga semangat kerja. Apalagi seperti dikatakan
Hayatun, "Kami berpacu dengan waktu."
Mempertinggi tanggul yang sudah hampir rata dengan luapan lahar,
tidak mungkin. Semakin tinggi justru semakin besar bahaya bila
tanggul itu jebol. Hayatun yakin banjir lahar pasti datang di
musim hujan. "Saya belum bisa membayangkan bagaimana kalau
bencana itu tiba," ujarnya kepada TEMPO. "Apalagi lahar itu
membawa batu-batu besar dan pohon-pohon yang bisa menyumbat
jembatan."
Selama ini agaknya perhatian utama dicurahkan pada usaha
mengurus pengungsi. "Hanya 20% memperhatikan bahaya lahar," ujar
Sesdalopbang Solichin G.P. ketika berada di Tasikmalaya pekan
lalu. Bupati Hudly kini sungguh memusatkan perhatian pada
ancaman bahaya banjir lahar. "Masyarakat Kota Tasikmalaya kini
benar-benar ketakutan," ujarnya.
Hujan diduga mulai turun dalam Oktober. Menurut Pusat Analisa dan
Pengolahan, Badan Meteorologi dan Geofisika, curah hujan di
daerah Priangan tahun ini akan berada di atas normal. Satu
faktor yang mendorong kenaikan mi ialah banyaknya debu
Galunggung yang menyebar di udara. Debu itu bisa bertindak
sebagai inti kondensasi.
Curah hujan rata-rata selama musim hujan (Oktober-Mei) biasanya
1.800 mm setahun. Tapi tahun 1982-1983 ini diperkirakan akan
mencapai 1.900 mm. Sementara curah hujan paling besar khusus
untuk Tasikmalaya akan terjadi Januari.
Menghadapi kenyataan ini, Bupati Hudly sudah membentuk Satuan
Tugas (Satgas) Penanggulangan Bahaya Banjir Lahar. Tugasnya
mengkoordinasikan semua upaya penanggulangan bahaya sepanjang
aliran sungai-sungai Cioseh, Cimampang, Cimulu, Cikunir,
Gibanjaran, Cikunten Cimerah, Cisaruni dan Cikupang serta
berbagai anak sungainya. Satgas itu memberitahukan sedini
mungkin datangnya banjir serta memberikan petunjuk dan bantuan
penyelamatan kepada masyarakat. Selain melarang penduduk tinggal
di daerah bahaya, Satgas itu mensiagakan penduduk di daerah
waspada, terutama yang tinggal di tepian sungai. Juga dibuat
berbagai pos pengamat menyebar di wilayah bencana, lengkap
dengan alat komunikasi tradisional: kentungan. Pukulan satu-satu
berarti aman, beruntun pukulan ganda berarti siap siaga dan
pukulan terus-menerus berarti banjir melanda.
Yang tak kalah penting ialah upaya penyuluhan kepada masyarakat
tentang apa yang harus dilakukan jika memang banjir lahar
melanda. Untuk itu juga Satgas sudah menetapkan beberapa daerah
lokasi aman di pinggiran kota.
Satgas yang dipimpin Bupati Hudly langsung melaksanakan tugasnya
melalui 3 Satgas Galunggung. Satgas Galunggung I bertanggung
jawab menanggulangi bahaya banir sepanang aliran Sungai
Ciloseh, Cimampang dan Cimelu. Satgas ini dipimpin Kasdim 0612
Tasikmalaya. Satgas Galunggung II dipimpin Kadis Operasi Lanu
Tasikmalaya dan bertugas sepanjang aliran Sungai Cibanjaran dan
Cikunir. Sedang Satgas Galunggung III yang bertugas sepanang
aliran Sungai Cikunten, Cimerah, Cisaruni dan Cikupang, dipimpin
Wa Dan Res 844 Tasikmalaya.
Tapi tampaknya kerja Satgas itu belum banyak diketahui
masyarakat luas. "Kami belum memperoleh petunjuk apa yang harus
kami lakukan bila banjir lahar tiba," ujar Solehuddin, 40 tahun,
yang bertempat tinggal hanya 100 meter dari tepi Sungai Ciloseh
di Kota Tasikmalaya. Beberapa tetangganya tampak sibuk
membentengi rumah mereka dengan karung berisikan pasir. Suatu
usaha sepele. "Tapi lumayanlah sekedar melindungi," ujar
Rukanda, 50 tahun, pemilik toko kelontong yang belakang rumahnya
hampir menyentuh air Ciloseh.
Sungai Ciloseh yang membelah Kota Tasikmalaya memang cukup
mengkhawatirkan. Seperti juga Sungai Cikunir, Cisangkan dan
Cikunten, keadaannya sudah sarat dengan endapan lahar. Kota itu
memang dilindungi Bukit Sinagar tapi lahar menyusup melalui
Ciloseh yang berhulu sebelah utara bukit itu. Sebetulnya Ciloseh
pun bebas dari lahar andaikata tidak ada saluran irigasi yang
menghubungkannya dengan Sungai Cibanjaran Kecil. Melalui saluran
yang dibuat pada zaman Jepang itulah lahar memasuki Ciloseh.
Untuk mengatasi luapan Ciloseh, penduduk diajak pula
bergotong-royong mengeruk lahar. Tapi tampaknya usaha yang
sesekali itu kurang efektif. "Untuk mengeruk lahar di Kali
Ciloseh diperlukan alat-alat berat," ujar Bupati Hudly. Apalagi
lahar sudah menggenang dari hulu sampai muara sungai itu.
STRATEGI penang gulangan bahaya banjir kini terpusat
mengalihkan lahar dari wilayah Kota Tasikmalaya dan sekitarnya.
Dengan pembuatan tanggul, kantung lahar, cekdam dan bendungan
diharapkan luapan lahar nanti terutama akan mengalir melalui
Sungai Cibanjaran Besar, Cibanjaran Kecil dan Cikunir yang
melalui Sungai Ciwulan akhirnya bermuara di Samudera Indonesia.
Akibatnya juga desa-desa di wilayah ini yang paling parah
diterjang lahar. Ini termasuk Rancailat, Kubangeceng, Tawang
Banteng, Sinagar, Ciponyo dan Kikisik (lihat Ajengan Yang
Disangka Sakti).
Sementara di sebelah timur mengalir Sungai Citanduy. Sungai yang
juga bermuara di Samudra Indonesia agaknya oleh Sesdalopbang
Solichin G.P. diperkirakan terancam banjir lahar musim hujan
mendatang, terutama daerah alirannya yang meliputi Sungai
Ciloseh dan Cimampang.
Tapi Ir. Nurachim, Kepala Staf Bidang Pelaksanaan Proyek
Citanduy tampak tenang. "Citanduy jauh dari ancaman banjir lahar
musim hujan yang akan datang," ucapnya kepada TEMPO. Ia menilai
sungai yang di musim hujan debit airnya bisa mencapai 850 m3 per
detik dan berukuran lebar rata-rata 5060 meter dengan kedalaman
6-7 meter cukup mampu menampung kalaupun ada lahar. Ini pun
diperkirakan terutama akan berasal dari Sungai Ciloseh yang
bermuara di Citanduy, panjang Ciloseh masih sekitar 30 km.
Selain itu terdapat tiga cekdam yang berfungsi menahan endapan
lumpur atau lahar yang berasal dari hulu Ciloseh.
Solichin G.P. mengucap syukur bahwa pejabat Proyek Citanduy
sudah memperhitungkan banjir lahar tidak akan sampai melanda
Sungai Citanduy. "Semua itu kan usaha pencegahan," ujar
Sesdalopbang menjelang bertolak ke Jakarta pekan lalu. Menurut
Solichin, usaha pencegahan itu bukan hanya ditujukan pada Daerah
Bahaya I sampai III atau pengungsi di barak-barak. "Tetapi
dipikirkan secara keseluruhan," ujarnya.
Untuk itu pekan lalu Solichin mengadakan pertemuan dengan
pejabat Direktorat Vulkanologi, Dinas PU, Meteorologi, TNI AU
dan 3 ahli gunung api dari Universitas Kagoshima, Jepang.
Solichin mengambil langkah buat mengamankan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Citanduy, Citarum dan Cimanuk. Sumber lahar menurut
Sesdalopbang akan membawa efek perusakan pada 3 DAS itu.
Karennya kabupaten yang berada di DAS itu -- Tasikmalaya,
Ciamis, Garut, Kuningan, Majalengka, Indramayu dan Sumedang --
diingatkan oleh bekas gubernur Ja-Bar itu agar bersiap-siap.
"Kita harus memperhitungkan akibat yang terberat," ucapnya.
"Syukur-syukur itu tidak terjadi. "
Sementara Zeni ABRI diminta untuk membantu, pemerintah Amerika
Serikat menyumbang alat-alat seperti gergaji mesin, sekop, palu
besar, semuanya berjumlah 14 ton. "Sekarang alat-alat itu masih
di Singaparna," ujar Solichin.
Saat ini kantung lahar di Ciponyo sedang giat dibangun PU di
samping kantung lahar di Cimampang, sementara beberapa cekdam di
Cimampang maupun di Ciloseh sedang diupayakan. Berbagai tanggul
pengaman terbuat dengan bronjong kawat yang diisi batu sudah
dibangun dengan jumlah panjang total 4.850 m sepanjang aliran
Sungai Cikunir dan Cibanjaran. Pembuatan tanggul dengan
peningkatan Jalan Kikisik sepanjang 2,5 km. Semua itu sudah
selesai dibangun dengan biaya Rp 733 juta.
Menurut Bupati Hudly yang masih dikerjakan ialah pembuatan
sudetan, dua buah bangunan suplisi, pembuatan dam kantung lahar
sepanjang 2,5 km dari Cihanjuang, Ciponyo sampai ke Kubangeceng
serta pembuatan tanggul pada aliran Sungai Ciloseh. Tentu banyak
kesulitan yang dihadapi. "Waktunya terbatas, datanya minim,"
ucap Solichin GP.
Menurut Sesdalopbang data tentang Galunggung tidak dipersiapkan
lebih dulu seperti halnya di Gunung Merapi. Galunggung ini
sekonyong-konyong terjadi. Sebaliknya hal Merapi yang sudah
diamati bertahun-tahun, "orang sudah hafal," kata Solichin.
"Sedang Galunggung, sambil meletus, sambil diamati dan
dianalisa."
Meski semua upaya dilakukan untuk mengurangi akibat buruk bila
lahar turun di musim hujan nanti, sukar dihindari kemungkinan
terjadi rawan pangan di berbagai daerah. Daerah itu kini sudah
dibagi dalam tiga klasifikasi. Ketiga daerah itu -- berat,
sedang ringan -- mencakup lebih 1,5 juta penduduk. Bupati Hudly
memperkirakan pada musim tanam mendatang selama 6 bulan,
penduduk Kabupaten Tasikmalaya akan mengalami paceklik sehingga
diperlukan persediaan pangan kurang lebih 5.000 ton beras.
"Jumlah sebanyak itulah yang kini belum tersedia," ujar Hudly.
Dengan makin banyak lahar yang bakal turun di musim hujan
mendaung, dapat dipastikan jumlah kerugian di berbagai sektor
pun bakal membengkak. Sampai pertengahan Juli lalu, kerugian
yang diderita Kabupaten Tasikmalaya berjumlah sekitar Rp 29,6
milyar. Ini dari sub-sektor pertanian pangan, peternakan,
perkebunan, kehutanan dan perikanan.
Di sub-sektor tanaman pangan kerugian Tasikmalaya ditaksir Rp 14
milyar. Kerugian Kabupaten Ciamis Rp 2,5 milyar dan Kabupaten
Garut Rp 8,5 milyar. Sub sektor peternakan mendatangkan kerugian
bagi Kabupaten Tasikmalaya sekitar Rp 344 juta, Garut Rp 182
juta, Ciamis Rp 225 juta dan Kabupaten Bandung Rp 350 juta.
Sub-sektor perkebunan Tasikmalaya merugi sekitar Rp 3,6 milyar,
Garut Rp 1,7 milyar, Ciamis dan Bandung masing-masing Rp 900
juta. Kerugian di sektor perkebunan disebabkan musnahnya tanaman
kelapa, cengkih, karet, teh dan kopi, semuanya dihantam debu
Galunggung. Akibatnya tak memenuhi syarat untuk diekspor.
Di sub-sektor kehutanan, sekitar 4.250 ha pohon pinus dan 1.950
ha hutan lindung hasil reboisasi, musnah dengan kerugian sekitar
Rp 4,5 milyar. Kabupaten Tasikmalaya menderita kerugian paling
parah di sub-sektor perikanan sejumlah Rp 2,8 milyar, Garut Rp
450 juta dan Ciamis Rp 141 juta. Selain kerugian pada sektor
pertanian dengan kelima sub-sektornya, Tasikmalaya mengalami
kerugian sekitar Rp 6,2 milyar akibat kerusakan pada
jalan-jalan, jembatan, irigasi, dam, SD Negeri dan Inpres,
masjid, Puskesmas dan perumahan rakyat.
Semua itu disebabkan gunung api |yang kini sudah lebih 4 bulan
mengamuk. Galunggung itu terletak 17 km ke arah barat laut Kota
Tasikmalaya hampir di perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten
Tasikmalaya. Sebetulnya Galunggung bersama sejumlah gunung api
lain membentuk suatu gugusan. Termasuk di antaranya Gunung Beuti
Canar, G. Guntur, G. Walirang, G. Dindingari, G. Siang dan G.
Jadi. Gugusan ini mempunyai beberapa kawah, yaitu kawah Siang,
Guntur, Walirang, Karso dan kubah lava Gunung Jadi. Yang
terakhir inilah anak G. Galunggung, yang menimbulkan musibah
itu.
Sebelum April lalu, Galunggung itu terakhir meletus di tahun
1918. Letusan itu kemudian membentuk kubah lava G. Jadi. Sejak
itu Galunggung tidak aktif, kecuali di tahun 1958 dan 1959,
namun tidak sampai meletus. Setelah masa istirahat yang 64 tahun
itu, 5 April lalu Galunggung meletus lagi hingga kini. Kapan
akan berakhir?
Dalam suatu percakapan dengan TEMPO, Prof. Dr. J.A. Katili,
Dirjen Pertambangan Umum mengemukakan bahwa letusan 28 Juli
lalu menunjukkan sifat yang berlainan dari erupsi yang
sudah-sudah. Memang kemudian terjadi lagi letusan besar dan
kecil tapi semua letusan itu tidak menghembuskan abu sampai ke
stratosfera. Abu hanya jatuh sekitar gunung api saja, sementara
kepingan lava (batu meleleh) tampak terlempar ke luar. Semua
ledakan itu disertai tekanan gas yang tak begitu kuat. Semua
gejala itu memberikan indikasi bahwa G. Galunggung besar
kemungkinan mulai memasuki fase akhir (fase efusiva), sebelum
beristirahat.
Dari data yang selama ini terkumpul, ahli vulkanologi Indonesia
membagi seluruh rangkaian letusan Galunggung dalam tiga fase.
Fase penghancuran kubah lava lama secara bertahap yang
berlangsung selama 1« bulan (5 April 19 Mei). Kemudian fase
abu-gas yang membentuk pipa kepundan berbentuk corong Fase ini
berlangsung sekitar 2 bulan (19 Mei - 23 Juli). Dan menyusul
fase awal efusiva disertai lemparan lava pijar yang dimulai 23
Juli hingga kini.
Fase ke-3 ini pada umumnya menunjuk pada penutupan suatu siklus
letusan, meski tetap sukar orang memastikan berapa lama fase ini
berlangsung hingga gunung api itu istirahat kembali. Secara
spekulatif, mengkorelasikannya dengan kurun waktu fase
terdahulu, letusan Galunggung berkemungkinan akan berakhir dalam
Oktober.
Perkiraan ini sangat hati-hati diungkapkan Dr. Katili. Sebab,
menurut dia, perubahan strktur pada waduk magma bisa saja
terjadi. Ini memungkinkan ada paroksisme (puncak ledakan) baru
meskipun belum ada tanda ke arah itu. Namun Dr. Katili
mengingatkan bahwa Gunung Agung di Bali mengalami dua kali
puncak ledakan dalam kurun waktu yang berdekatan. Ini
mengacaukan perkiraan teoretis para ahli waktu itu dan
memperlihatkan betapa sulitnya menganalisa tingkah laku sebuah
gunung api.
Apalagi Galunggung yang sekarang sudah dikenal banyak ulah.
Ketika ia meletus April lalu, kadar silikat material yang
disemburkan sebesar 55,7%. Juli lalu, kadar itu berangsur turun.
"Secara teoretis, penurunan kadar silikat, tanda aktivitas
gunung segera menurun," ujar Ir. Adjat di Bandung. Nyatanya
Galunggung terus giat dan tak berhenti meletus. Adat aneh yang
lain dari Galunggung ialah tentang gempa yang mendahului
letusan. Teori mengajarkan karena magma di perut bumi mendesak
ke permukaan, sebelum terjadi erupsi, lebih dulu terjadi gempa,
3 sampai 7 km di kedalaman bumi. Gempa itu disusul gempa yang
kian dangkal kemudian terjadi gempa tremor yang menyertai
letusan. Umumnya Galunggung tidak menyimpang dari pola ini tapi
seringkali juga menyimpang. "Tanpa didahului gempa vulkanik
dalam, tiba-tiba Galunggung meletus," ujar Adjat.
Terlepas dari interpretasi macam ulah Galunggung, semua pihak
agaknya sependapat bahwa bahaya terbesar kini merupakan ancaman
banjir lahar di musim hujan mendatang. Terutama perlu dicegah
lahar itu memasuki sungai-sungai Citanduy dan Cimanuk. Di kedua
DAS itu terdapat sistem irigasi yang bermilyar rupiah nilainya,
menurut Dr. Katili. Dirjen Pertambangan Umum itu sudah
menginstruksikan Direktorat Vulkanologi untuk membuat peta lahar
dalam kondisi yang paling jelek. Suatu skenario bilamana curah
hujan mencapai maksimum dan bila kantung lahar tak lagi sanggup
menampung seluruh material yang turun. Peta itu disertai lokasi
"bukit perlindungan", tempat penduduk bisa menyelamatkan diri.
Atau mungkin penduduk menuruti uga (ramalan yang diyakini
kebenarannya oleh penduduk) Galunggung seperti terungkap dalam
suatu kitab kuno bertuliskan huruf Arab gundul. Kepada TEMPO
Drs. Agus Permadi, dosen Antropologi di Universitas Siliwangi
menceritakan isinya. Bila pada akhirnya Tasikmalaya jadi lautan
pasir (keusik ngalayah -- TEMPO, 7 Agustus), penduduk akan
mengungsi ke Sukapura di selatan Sukabumi dan ke Padawaras,
selatan Tasikmalaya.
Menurut Agus Permadi yang pernah menulis Sejarah Berdirinya
Kabupaten Tasikmalaya, tanda-tanda ke arah itu memang sudah
ada. Antara lain kini di tempat pengungsian itu, tengah dibangun
sebuah bendungan irigasi yang mampu mengairi sawah sekitar 800
ha. "Daripada susah-susah transmigrasi keluar Jawa," kata Agus
Permadi, "lebih baik mereka disuruh bersawah saja di sana."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini