Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERISTIWA pemain melawan wasit di lapangan sepak bola, tampaknya, belum akan berakhir. Kejadian tak terpuji itu kembali berlangsung ketika pertandingan PSMS melawan Persitara, 14 Februari lalu. Bukan cuma wasit memberikan kartu merah kepada Rahman Gurning, 27 tahun, dan Amri Siregar, 25 tahun, keduanya pemain PSMS. Juga, PSSI dalam rapatnya, Kamis pekan lalu, menjatuhkan skorsing masing-masing 5 tahun dan 1 tahun. Insiden bermula ketika penyerang PSMS Medan, Dasrul Bahri, ditebas Jeffri Samuel (Persitara Jakarta Utara) di kotak penalti hanya sepuluh menit sebelum pertandingan usai. Kejadian itu oleh pemain-pemain PSMS dilihat sebagai pelanggaran, dan mereka menuntut penalti kepada Wasit Siswanto (Yogya). Tapi menurut wasit - dan dibenarkan ketua komisi kompetisi dan pertandingan PSSI, Max Boboy - pemain Persitara tak melakukan pelanggaan. Sikap wasit itu menyebabkan para pemain Medan berbondong-bondong memprotes wasit dan hakim garis. Dengan emosional kapten PSMS Rahman Gurning mendorong-dorong wasit sambil menundukkan kepalanya. Di antara kerumunan pemain PSMS, tiba-tiba Wasit Siswanto terjengkang. Kontan ia mengeluarkan kartu merah untuk Rahman dan Amri. Kejadian tak berhenti sampai di situ. Rahman, entah mengapa, malah merampas kartu merah itu dari tangan wasit - peristiwa yang rasanya baru pertama kali ini terjadi. Hanya selang empat hari kemudian pengurus harian PSSI bersidang membahas insiden itu. Hasilnya, kedua pemain kena skorsing. Amri dianggap menghina dan memukul hakim garis. Rahman, yang menyeruduk wasit dan merebut kartu merah terkena hukuman paling berat. "Sebagai kapten dan bekas pemain nasional ia tak patut melakukan perbuatan itu," ujar Nugraha Besoes, Sekretaris Umum PSSI. Dan yang memberatkan, ia baru saja menyelesaikan hukuman tak boleh bermain empat kali pertandingan karena buntut kericuhan yang dibuatnya di turnamen Piala UDA (Universitas Darma Agung) di Medan, Juni 1987 lalu. Hampir semua tuduhan PSSI itu dibenarkan Rahman. Tapi ia menyangkal telah menanduk wasit. "Saya cuma agak menunduk waktu protes kepada wasit," ujar ayah seorang putri itu. Begitu pula Amri membantah perbuatan yang dituduhkan PSSI itu kepadanya. "Saya tak melakukan apa pun, apalagi memukul hakim garis," katanya. Juga manajer tim PSMS Buha Tambunan tak menerima vonis keras PSSI itu. "Ini namanya pembunuhan. Pemain dipaksa gantung sepatu," katanya berapi-api. Ia berniat membawa kasus ini ke LBH. Ketua Bidang Kompetisi PSMS, Padamulia Lubis, malah mengancam . "Bukan tak mungkin nantinya PSMS memboikot kompetisi divisi utama," katanya serius. Sikap PSSI membela wasit yang tidak becus sangat disayangkannya. Tapi pemain yang terkena skorsing malah berkata lain. "Yah, mau apa lagi, keputusan itu kami terima dengan dada lapang," ujar Rahman pasrah. "Sesal pun tak ada gunanya lagi," tambah Amri memelas. Bahkan Ketua Badan Pembina PSMS, Amran Ys, menganjurkan kepada dua pemain itu, "Kalau perlu minta maaf kepada PSSI." Anjuran Amran tampaknya tak berbeda dengan sikap PSSI. "Kalau mereka menunjukkan sikap menyesal, bukan tak mungkin PSSI meninjau kembali keputusannya," ujar Nugraha. Vonis keras PSSI menurut dia hanya untuk mengingatkan pemain bola lainnya agar bisa menahan diri di lapangan. "Kami cuma ingin menyelamatkan sepak bola Indonesia," katanya. Kasus Rahman dengan hukuman lima tahun itu memang bukan yang pertama. Dalam kompetisi yang sama, 1985, Tukidjan, pemain PSP Padang, juga diskors 5 tahun. Hukuman terhadap Tukidjan - karena menonjok wasit - itu akhirnya tahun lalu dihapuskan. A.K.S. dan Affan Bey (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo