Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Diantara Rasa Lapar Kemenangan

PSSI di bawah pimpinan Ali Sadikin belum baik. Beberapa pemain menerima suap. Untuk memecahkan masalah sepak bola non amatir dan non profesional, diperkenalkan wadah liga sepak bola utama, Galatama. (or)

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARAK antara kejuaraan Piala Dunia di Argentina dan PSSI di Indonesia agaknya hanya terpisah segelinding bola. Dari topik Mario Kempes kini orang beralih ke masalah Ronny Pasla. "Bagaimana sih PSSI di di bawah Ali Sadikin," ujar Eddy Rusli ketika Master Nasional catur ini kebetulan berjumpa dengan wartawan TEMPO di Lokasari. "Ali Sadikin bisa membangun Jakarta, tapi belum tentu ia bisa membangun PSSI." Eddy, seperti juga kebanyakan penggemar olahraga lainnya, lebih asyik mengunyah soal bola daripada memperbincangkan dwilomba antara Karpov dan Korchnoi. Tak kurang spontan adalah tanggapan M. Syarifuddin, Pemimpin Redaksi Bintang Sport dan Film Medan. "Di mata penggemar bola di Medan PSSI kini kian merosot," katanya. "Sebab tampaknya orang sekeliling Bang Ali tak berani memberi voeding apa yang benar dan apa yang salah. Ini sangat penting. Ali Sadikin kan masih awam." Dalam pembicaraan selanjutnya dengan wartawan TEMPO, Syarifuddin mengingatkan agar Ali Sadikin jangan mencari-cari "kambing hitam" untuk menutupi kegagalannya di lapangan hijau, yang tak kunjung membaik sejak dia di situ. (Lihat Tabel Hasil Pertandingan PSSI). "Jangan Ali Sadikin tenggelam dalam pemberantasan suap-menyuap. Itu tugas polisi. Yang penting bagaimana bertindak ke dalam memperjuangkan kesejahteraan, memperkuat mental dan iman pemain." Lakon Ali Sadikin di PSSI memang menarik. Ia bukan orang bola. Setahun yang lalu di bulan Agustus ia digiring Kongres Luar Biasa PSSI di Semarang untuk mengambil alih pimpinan dari Bardosono. Ada keengganan semula terpancar dari wajahnya. Tapi dasar orangnya enggan mundur jika ditantang, Ali Sadikin pun memutuskan: "Saya terima." Tepuk-sorak Kongres bergemuruh menyambut tokoh non-PSSI yang baru meninggalkan kursi Gubernur sebulan sebelumnya. Ia dipandang sebagai "juru selamat" sepakbola nasional. Tapi kini setahun kemudian, suara gemuruh pula terdengar menuntut: Apa prestasi PSSI di bawah Ali Sadikin. Malah seorang rekan wartawan koran sore di Jakarta sementara menyimpulkan "PSSI di bawah Ali Sadikin lebih buruk dari Bardosono." Ia sendiri tak tega menurunkan kalimat tersebut. "Kasihan." katanya. Tapi menjelang Sidang Paripurna Pengurus (SPP) PSSI pada tanggal 6 s/d 8 Oktober ini, tidak cuma suara yang mengecam terdengar. Dari keluarga besar PSSI sendiri nada yang membela kepemimpinan Ali Sadikin cukup santer. Dan kompak. Hanya tidak berkumandang keluar. Sekretaris Umum PSMS di Medan, drs. Bahrumsyah misalnya, mengatakan pada Koresponden TEMPO di Medan bahwa "belum waktunya menilai kepemimpinan Ali Sadikin hanya dalam waktu setahun. Marilah kita tunggu sampai tahun 1981 nanti, setelah periode kepengurusan habis." Agaknya, Bahrumsyah lengah, bahwa Ketua Umum Bardosono pun dijatuhkan oleh para anggota PSSI sebelum periode kepengurusannya habis (1975-1977). Tapi pertimbangan untuk memberi waktu sampai 1981 bukan tanpa dasar. "Selama setahun ini pengurus PSSI berhasil menerbitkan kalender kegiatan. Ini sangat penting. Berkat kalender ini kegiatan di daerah berlangsung lancar. Tidak bentrokan dengan Pusat. Kompetisi di daerah membangkitkan pembibitan. Pemain lewat kompetisi itu dapat memperlihatkan kemampuannya untuk dipilih mewakili daerahnya secara adil." Kesimpulan Bahrumsyah: Ali Sadikin belum gagal. Dan jika kasus suap memang benar terjadi, itu pun menurut Bahrumsyah, tak perlu dikaitkan dengan kedudukan Ali Sadikin, karena jelas peristiwa itu di luar kemampuan dia. Sejalan dengan Sekum PSMS Medan itu adalah fakta yang ditonjolkan Ketua Harian PSIT Cirebon, drs. Kumaedhi. "Dari segi organisasi sangat positif," katanya. Ia mengingatkan akan kursus wasit dan latihan instruktur sepakbola di ke-26 Komda seluruh Indonesia. Di samping itu, tentu saja masuknya Kota Udang dalam daftar pertandingan internasional, sangat menyenangkan penggemar bola di sini. Juga dari Persipal Palu, Ketua Bidang pertandingan dan Kompetisi, drs. Aminuddin Ponulele berpendapat sama. Malah, menurut dia, ada kemajuan: Palu bisa menjadi tuan-rumah dalam pertandingan dengan Feyenoord Belanda. Membandingkan kepemimpinan Bardosono dan Ali Sadikin, Ponulele berkata "Tak banyak beda. Yang sedikit berbeda mungkin dalam program kerja dan proses pengambilan keputusan." "Proses pengambilan keputusan" Ali Sadikin, oleh Ketua Harian PSM Ujung Pandang, drs. H.M. Yusuf Kalla, diberi predikat "demokratis". Karena itu, "buah demokrasi jangan dilihat sekarang nanti sesudah satu atau dua tahun lagi.' Demikian pula Ketua Komda Sulawesi Selatan, H. Faisal Thung, menilai Ali Sadikin selalu bermusyawarah dalam seti ap tindakannya. "Cuma," kata Haji Thung, "dulu zaman Bardosono servis lebih baik. Kalau menang atau seri ada bonus. Sekarang uang saku cuma 6 dolar." Nada memberi kesempatan karena secara organisatoris PSSI lebih baik, datang pula dari Ketua Persebaya, Joko Sutopo, yang dalam KLB Semarang memegang palu pimpinan sidang pemilihan. "Kompetisi lancar, tidak ada gontok-gontokan sesama pengurus, tidak ada protes dan tidak ada juara kembar," katanya. "Kalau yang dinilai dari tidak berhasilnya pemain dalam turnamen, ya repot. Faktornya kan banyak. Atau kalau memang lawan lebih baik, kita tidak menang." Tampaknya bukan saja argumentasi yang rasionil, tapi juga yang emosionil ikut mendukung Ali Sadikin jalan terus. Bagaimanakah pendapat Kosasih Purwanegara SH, Ketua Kehormatan PSSI yang tak dapat mencuci tangan dari corak PSSI hari ini? "Apapun yang dicapai secara organisatoris baik, kalau tidak tercermin di lapangan hijau, selalu dicap gagal," kata Kosasih. Tapi ia ingatkan bahwa keadaan PSSI sekarang tidak lepas dari perkembangan PSSI 10 tahun terakhir. "Katakanlah bagian saya 70 persen, Bardosono 20 persen dan Ali Sadikin 10 persen," katanya, "jadi tidak fair kita menuntut terlampau banyak dari masa yang begitu singkat." Namun Kosasih menekankan bahwa dari dulu sampai sekarang masalah pokoknya selalu berkisar pada pembinaan tim nasional. Selama 10 tahun ini tanpaknya kondisi tim nasional memang belum menunjukkan garis yang stabil malah merosot. Tahun 1968 PSSI masih mampu menjadi juara King's Cup Banngkok, 1969 Runner-up King's Cup. Akhir 1970 mencapai titik terendah di Asian Games VI Bangkok. Tahun 1971 Frars Hutasoit dari unsur Jayakarta masuk ke, pimpinan PSSI bidang teknik, tapi tak lama kemudian mengundurkan diri. Kedudukannya digantikan Syarnubi Said sebagai Kordinator Teknik/Ketua II. Ada perbaikan. 1972 PSSI A dan B keduanya menjuarai Pesta Sukan di Singapura. Juga juara Anniversary Cup III, setelah Kesebelasan PSSI mengalahkan Burma (juara bertahan) 1-0 dalam pertandingan pembukaan dan mengalahkan Korea Selatan 5-2 dalam final. Dalam dua tahun itu penggemar sepakbola juga disuguhi permainan Cruzeiro dengan Tostao-nya dan Santos dengan Pele-nya. Syarnubi kemudian tak tahan juga. Ia mengundurkan diri. Masuklah Suparyo Poncowinoto dari unsur PS Angkasa. Ia pun tak tahan. Praktis ia telah mengundurkan diri sewaktu Tim PSSI yang ia ikut pimpin masih dalam perlawatan di Eropa pada September 1974. Tangan Bardosono ketika itu sudah jauh menjamah isi-perut PSSI. Dengan bantuan Kosasih pula Bardosono mementingkan pemilihan pengurus PSSI periode 1974-1978 dalam Kongres Yogya. Dan untuk menghadapi Kongres itu ketiga tokoh eks-bidang-teknik itu melembaga menjadi Trio Plus (+ Tony Poganik , dan Maulwi Saelan). "Jadi masalahnya dari dulu bagaimana kita tegakkan One-man managership dalam pembinaan tim," kata Kosasih. "Orang itu bertanggungjawab penuh, memiliki garis perintah langsung yang tak boleh terganggu oleh rekan pimpinan lainnya." Ia mengambil contoh di Inggeris. Ke arah itu harus PSSI dikemIangkan. "Tapi pengelola tunggal yang kita inginkan belum ada, jadi tak dapat dipaksakan." Meskipun harus diakui bahwa Coerver, di bawah Bardosono yang nyaris mengalahkan Kesebelasan Korea Utara pada Pra Olimpiade di Senayan awal 1976 yang lampau, telah membuktikan suksesnya sistim pengelolaan tunggal dalam pembinaan tim. Pengurus PSSI yang sekarang menurut Kosasih, terdiri dari raksasa-raksasa. Semuanya jenderal-jenderal," katanya. "Tapi, kata orang Belanda, tentara Spanyol tak pernah berprestasi karena mereka semuanya terdiri dari jenderal, tidak ada serdadunya." Maksudnya, mereka semua merasa bisa, meskipun bukan bidang kepengurusannya. Contohnya? "Kesebelasan Nasional yang seharusnya masuk di bidang Acub Zainal, kenapa bisa dipegang oleh Saelan yang Sekretaris Umum juga?" Tapi kini Kosasih melihat titik terang. Jalan menuju pengelola tunggal terbuka sudah. "Orangnya saya lihat ada," katanya yakin. Siapa? "Pak Hutasoit." "Tapi," lanjutnya" dalam soal keuangan tampaknya dia belum bisa otonom." Lalu bagaimana pula sistim itu bisa jalan? "Saya kira Syarnubi bisa diikut sertakan dalam unit itu. Bukankah hanya Syarnubi dari Trio Plus yang belum diberi kesempatan lagi." Syarnubi yang selama ini tercecer di luar, sesungguhnya tak pernah putus hubungannya dengan para pemain maupun eks koleganya di PSSI. "Tanyakan kepada para pemain, tanyakan pada Pak Paryo, Pak Hutasoit, apakah karena saya secara formil organisatoris tidak lagi menjadi pengurus PSSI, lalu saya tidak membantu sepakbola nasional?" tantangnya pada TEMPO. Dan bagaimanakah reaksi Ali Sadikin terhadap perkembangan PSSI satu tahun ini, lebih-lebih menjelang Sidang Paripurna Pengurus? "Saya anggap SPP itu rutin," katanya. "Waktu saya terima palu pimpinan, manajemen organisasi tak jelas. Wasit tidak berwibawa. Tak ada pembibitan. Setiap kali TC 50 persen waktu habis untuk mengulang latihan dasar. Karena itu langkah pertama yang dia tempuh adalah perbaikan organisasi. "Strategi saya bahwa dalam mencapai sesuatu tujuan, selalu lewat organisasi. Di KKO, di Perhubungan, di DKI misalnya, saya utamakan perbaikan organisasi." Tapi dalam hal sepakbola Ali Sadikin sadar benar bahwa "rakyat sudah lapar kemenangan." Dalam kondisi ini, "saya baru bisa menyuguhkan permainan Tim Nasional B (yang gagal di Seoul) dan Junior asuhan Jamiat Dalhar." Dalam tahun pertama ini Ali Sadikin merasa nasibnya memimpin PSSI kurang baik. Kegagalannya di lapangan hijau seperti di Kuala Lumpur (Merdeka Games) ia yakin di luar permainan yang wajar. "Sekarang penyogokan itu jelas ada. Bagaimana kita bisa berprestasi kalau akhirnya ditentukan oleh pihak luar?" Maka ia tak akan berkompromi dan akan memberantasnya secara tuntas (Lihat Apa Boleh Buat 1 Untuk Penyuap). Akan halnya isyu sepakbola prof, Ali Sadikin tegas menolak istilah "profesional." "Ini bisa melemahkan kedudukan PSSI di forum internasional," katanya. Seperti Kosasih ia setuju ditampung dalam sebuah wadah. Wadah ini berdasarkan konsep Suparyo Poncowinoto, Ketua Bidang Organisasi PSSI dan Kadir Yusuf, Komisi Sepakbola Prof, disebut "Galatama", singkatan dari Liga Sepakbola Utama. (Lihat Galatama). Dari berbagai sumber TEMPO di daerah, .erlihat sikap Komda dan Perserikatan yang makin lunak terhadap perkembangan sepakbola non-amatir. lanya bagain-anakah nanti sikap itu dituangkan dalam SPP bila masalah itu dilemparkan? Masih sulit diramalkan sekarang. Karena sangat tergantung pada pembawa masalah maupun pendekatannya. Aktifitas klub-klub Persapja maupun sponsor yang makin memperlihatkan bentuknya selama satu tahun ini tampaknya merupakan gejala yang sehat: sepakbola nasional tidak ditentukan dari atas saja, tapi tumbuh dari bawah, dari klub-klub yang mampu memberi jaminan kesejahteraan dan kesinambunan pembinaan. Bukankah sudah cukup lama ide "orientasi pada klub" digembar-gemborkan lewat forum perserikatan, seminar dan tulisan-tulisan di media massa, tapi dalam perkembangannya mereka tidak mendapat tempat yang layak? Peristiwa-peristiwa setahun di bawah pimpinan Ali Sadikin tidak sepi, juga tidak nyaman. Keputusan KONI Pusat untuk tidak mengirim tim nasional sepakbola ke Asian Games Bangkok Desember 1978 ini merupakan angka-mati buat prestasi PSSI di lapangan hijau. Pengunduran diri Acub Zainal sebagai Ketua Bidang Pembinaan Tim Nasional merupakan masalah tersendiri. Konon Ali Sadikin akan langsung memegang jabatan yang ditinggalkan Acub. Ini untuk menghindarkan kesan bahwa seolah kedudukan Ketua Bidang tersebut memang sudah lama menjadi rebutan di antara para pembantunya, meskipun secara teknis dapat saja Ali Sadikin menguasakan kepada orang lain, yang dalam sistim pengelolaan tunggal tetap menempatkan Ketua Umum Ali Sadikin sebagai penguasa tertinggi. Jadi di samping mengupas masalah rutin, tampaknya Ali Sadikin akan menggalang konsensus lebih besar dari SPP -- dalam menata kembali susunan pengurus PSSI. Dan memperjuangkan "garis komando" langsung antara PSSI dan klub-klub, baik yang di dalam maupun di luar perserikatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus