MEREKA yang kaya dan yang miskin saling memperingatkan. Nada
cemas masih terdengar dalam sidang gabungan International
Monetary Fund (Dana Moneter lnternasional) dan World Bank (Bank
Dunia). Berlangsung di Washington minggu lalu, sidang yang
tahunan itu dihadiri oleh para pejabat tinggi ekonomi-keuangan
yang mewakili 135 negara.
Kecemasan timbul karena negara kaya seperti Amerika Serikat
dilanda inflasi. Defisitnya besar sekali dalam neraca
pembayarannya, membuat nilai dollar jatuh. Musibah ekonomi AS
itu, walaupun belum jatuh ke resesi, sudah membawa gelombang
yang merusak ke mana-mana. Tekad untuk memperbaiki keadaan ini
sudah disuarakan dalam Konperensi puncak 7 negara kaya di Bonn
pada bulan Juli.
Hasil puncak Bonn itu ternyata membawa pengaruh positif. Hingga
mereka yang menghadiri sidang gabungan IMF Bank Dunia itu sudah
kurang bertikai. Cahaya di ujung terowongan yang gelap sudah
dilihat mereka?
"Janganlah ada kekuatiran lagi di pikiran anda tentang betapa
seriusnya saya memenuhi janji-janji ini," kata Presiden AS Jimmy
Carter mengingatkan apa yang dijanjikannya di Bonn untuk melawan
inflasi, mengurangi impor dan memperbesar ekspor negaranya.
"Semua itu menjadi prioritas paling mendesak dalam pemerintahan
saya. Reputasi saya sedang dipertaruhkan sebagai pemimpm."
Tingkat inflasi AS yang tadinya mencapai 10% belakangan ini
memang menunjukkan harapan akan menurun ke 7%. Serangkaian
langkah pun tampak dijalankan pemerintahan Carter untuk
mendorong ekspor. Antara lain ditambahnya otorisasi pinjaman
Eximbank menjadi $ 3,6 milyar untuk 1979, naik lima kali lipat
dari 1977. Suatu RUU bertujuan mengurangi impor minyak - 1,4
juta barrel sehari -- pada tahun 1985 dan perundang-undangan
lainnya yang bersifat menghemat energi, menurut perkiraan, akan
disetujui Congress. Tadinya sering memblokir, belakangan ini
Congress memang banyak membantu Carter, terbukti dari pengesahan
rencana AS untuk bantuan luar negeri secara multilateral dan
bilateral.
Kubu Yang Berbeda
Secara lebih spesifik dalam langkah anti-inflasi itu, Menteri
Keuangan W. Michael Blumenthal memberitahukan bahwa defisit AS
dalam current account (yang dijadikan ukuran perdagangan barang
dan jasa serta transaksi keuangan internasional) akan diciutkan
ke $ 11 milyar sampai $ 13 milyar tahun depan, turun antara 30%
dan 40% dari tahun ini. Dijanjikannya pula bahwa AS akan
menurunkan tingkat pertumbuhan ekonominya ke sekitar 3,5% tahun
depan, ketimbang 4% lebih tahun ini. AS pernah menggenjot naik
pertumbuhan ekonominya ke 5,7% pada tahun 1976 dan 4,9% pada
tahun 1977 sebagai usaha menambah kesempatan kerja. Tingkat
penganggurannya memang menurun dari 9% lebih ke bawah 6% tapi
mengakibatkan naiknya inflasi.
IMF menganjurkan, kata Jacques de Larosiere yang baru saja
menjabat managing director, supaya negara-negara anggota
"menyumbang untuk pertumbuhan ekonomi dunia sesuai dengan
kekuatan neraca pembayaran dan perma inan harga" masing-masing.
Karena itu pula Jepang yang mengalami surplus itu -- sesudah
didesak oleh pendapat dunia -- sekali ini berusaha meningkatkan
pertumbuhannya ke 7% dalam tahun fiskal ini yang berakhir Maret
nanti. Setidaknya begitulah Menteri Keuangan Tatsuo Murayama
berjanji di forum gabungan IMF-Bank Dunia itu.
Negara surplus lainnya, Jerman Barat sejak puncak Bonn juga
dicatat menunjukkan kesediaannya untuk menguragi surplusnya
dengan menambah anggaran belanjanya. Washington yang tadinya
mengecam pemerintahan Helmut Schmidt karena enggan menjadi
"lokomotif" untuk menarik ekonomi dunia, kini memuji sikap Bonn.
Tapi Menteri Keuangan Jerman Hans Matthoefer menyatakan
harapannya supaya negara-negara lain, termasuk AS tentunya, bisa
"menggunakan kesempatan bersaing" dalam perdagangan sebagai
akibat naiknya nilai mark. Soalnya adalah kenaikan nilai mark
itu masih juga belum kelihatan akan menurunkan daya ekspor
Jerman.
Kelompok Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, di situ menyuarakan
supaya proteksionisme terutama di negara-negara industri yang
maju hendaknya jangan sampai menyusahkan ekspor negara-negara
berkembang. Bila Dunia Ketiga tertolong, demikian Menteri
Keuangan Indonesia Ali Wardhana, dengan sendirinya negara-negara
industri akan tambah maju. "Dunia Ketiga merupakan suatu pasaran
yang berpotensi besar, dan perkembangan ekonominya akan
menguntungkan semua negeri .... Kita dalam proses ini tidak
berada dalam kubu yang berbeda. Kita berada di pihak yang Sama,
dan sementara kita berbaris untuk menanggulangi kemelaratan,
kita maju sebagai partners (rekan seiring)."
Musim Bunga
Bahwa perlunya perhatian pada ekonomi Dunia Ketiga, Presiden
Bank Dunia Robert S. McNamara turut mengemukakannya. Sekitar 600
juta manusia masih akan tetap melarat pada akhir abad ini,
katanya, meskipun proteksinisme dikurangi dan bantuan
negara-negara kaya diperbesar.
Hasil industri Dunia Ketiga hanya mengisi 2% dari seluruh impor
negara-negara maju, demikian McNamara ya melihat proteksionisme
sungguh keterlaluan. Ancaman pengangguran di negara-negara
maju dikatakannya lebih banyak terjadi sebagai akibat kemaju
teknologi mereka sendiri yang bersif mengurangi pemakaian tenaga
kerja.
Namun banyak alasan bagi McNamara bergembira sekali ini.
Mengingat sumbangan negara-negara kaya terjamin akan bertambah,
kemampuan Bank Dunia dan badan-badan bawahannya untuk
meminjamkan akan meningkat 5% setahun.
Daya bantuan IMF pun meningkat secara dramatis. Sebelum sidang
gabungan itu berlangsung, Interim Committee (terdiri atas 20
negara anggota) ya menentukan kebijaksanaan IMF telah
mengusulkan: Supaya dinaikkan jatah (quota) IMF sebanyak 50% dan
diadakan alokasi baru untuk Special Drawing Rights (SDR) yang
kini berupa cadangan kekayaan IMF.
Jatah itu menentukan batas berapa sesuatu negara anggota boleh
mengharapkan bantuan IMF bila terjadi kesulitan dalam neraca
pembayarannya. Kini batas itu bisa ditinggikan 50% karena usul
itu ternyata mendapat dukungan selama sidang gabungan
berlangsung.
Mulai musim bunga nanti, alokasi SDR diharap akan bertarnbah
4000 juta setahun. Tambahan itu akan berlangsung selama 3 tahun,
hingga terkumpul 12.000 juta SDR (equivalen sekitar $ 15.000
juta) dari para anggota. Dengan demikian, komentar managing
director de Larosiere, makin kuat sumber keuangan dan wewenang
IMF. Tentu saja IMF mau membantu bila negara anggota
bersangkutan tunduk pada peraturan dan nasehatnya. IMF biasanya
menetapkan disiplin keuangan bagi anggotanya yang meminta
bantuan, seperti yang pernah (juga kini) dialami Indonesia.
Kini Indonesia tidak termasuk kelompok anggota yang mengalami
kesulitan dalam neraca pembayaran. Namun peranan IMF menentukan
sekali dalam sikap IGGI yang memberi bantuan tahunannya pada
Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini