KURNIA Kartamuhari, ternyata, lebih berjodoh dengan Rendra ketimbang dengan Ellyas Pical. Agustus tahun lalu, dengan modal Rp 150 juta, Kurnia meraih sukses ketika mementaskan drama Panembahan Reso. Nama Kurnia melesat, duitnya pun selamat. Tapi Sabtu malam pekan lalu, di Stadion Utama Senayan, uang satu milyar yang dikeluarkan untuk membiayai pertandingan Ellyas Pical-Khaosai Galaxy malah nyaris menenggelamkannya. Ketika namanya dipanggil untuk naik ke atas ring, sebelum pertandingan, sekitar 30.000 penonton ramai mengejeknya "Wuuuu .... Wuuuu." Maklumlah, menjelang pertandingan paling mahal di Indonesia itu, karena ulahnya sendiri, nama Kartamuhari hampir selalu mendapat publikasi buruk di berbagai media massa Ibu Kota. Dari ring tinju Senayan itu, Kurnia tak hanya kehilangan nama tapi juga kerugian yang cukup besar. Koran sore Suara Pembaruan menyebutkan jumlah kerugian Rp 400 juta. Sebesar itukah? "Memang rugi besar, tapi jumlahnya belum selesai dihitung," ujar Endun -- panggilan sehari-hari Kartamuhari -- kalem, Senin pekan ini. Ia menolak memberikan ancer-ancer angka. Kerugian itu memang mengagetkan banyak orang. Sebab, jumlah penonton Sabtu malam itu merupakan yang terbanyak selama penyelenggaraan kejuaraan tinju dunia di Indonesia. Ketua Harian KTI M. Anwar juga terkejut. "Belum ada laporan ke KTI. Tapi masa, sih, Kurnia rugi ?" tanya Anwar heran. Pengakuan Kurnia bahwa ia rugi, agaknya, bertentangan dengan data penjualan karcis. Syamsul Anwar, bekas petinju yang membantu Kurnia memantau penjualan karcis, sehari sebelum pertandingan memperkirakan secara nominal sudah 65% -- dari sekitar 80.000 -- tanda masuk terjual. Dari karcis yang diedarkan, dengan harga mulai Rp 5.000 sampai Rp 200.000, itu saja diperkirakan bisa masuk uang lebih dari Rp 1,5 milyar. Jumlah itu belum termasuk dana sponsor utama, perusahaan rokok Filtra Rp 50 juta lebih, Gudang Garam Rp 7 juta, perusahaan elektronik Sony Rp 8 juta, dan produsen air steril Aqua. Kalau Kurnia mengaku rugi, artinya penjualan karcis sesungguhnya tak mencapai 45% -- yang merupakan titik impas untuk menutup biaya penyelenggaraan. Pengeluaran terbesar Kurnia adalah pembayaran buat petinju: US$ 150.000 ditambah biaya perjalanan dan hotel untuk Galaxy dan rombongannya. Elly sendiri juga menerima US$ 150.000 meski ada kabar angin dia cuma menerima US$ 60.000. Promotor itu juga harus membayar Cakti Enterprise Rp 100 juta, serta sejumlah uang pula buat matchmaker Pol Tiglao. Hingga awal pekan ini, belum jelas bagaimana perincian laba-rugi pertarungan Sabtu malam lalu itu. Kurnia sendiri menunjuk banyaknya penonton tak berkarcis sebagai biang keladi kerugian. Ia kesal pada pengelola Gelora Senayan karena, sampai sekitar pukul 16.30, pintu-pintu masuk Stadion Utama Senayan belum juga dibuka. Padahal acara dijadwalkan dimulai pukul 16.00. Akibatnya, "Ketika pintu dibuka, penonton berhamburan masuk, dan banyak yang lolos tak membayar karcis," ujar Kurnia dengan nada jengkel. Bahkan pengawas pertandingan dari WBA, Ellias Cordova, dan juga Ketua Umum KTI Solihin G.P., sempat menunggu pintu dibuka petugas. Solihin marah besar atas perlakuan Gelora Senayan. Rupanya, menurut Kurnia, Gelora Senayan cuma menyediakan seorang petugas untuk membuka sekian banyak pintu stadion itu. "Sudah begitu, bukannya dia naik kendaraan biar cepat, eh, malah jalan kaki keliling stadion," ujarnya. Ada lagi soal lampu stadion. "Untuk menyalakan lampu saja, mereka minta Rp 500.000, padahal semua sudah termasuk kontrak," tutur Kurnia lagi. Akhirnya, setelah tawar-menawar, ia sepakat membayar "uang kabel" kepada pengelola Rp 150.000. Baru setelah dibayar, lampu stadion bisa dinyalakan. Apa pun kata Kartamuhari, penyelenggaraan pertandingan kali ini memang tampak kurang rapi. Tak ada batas antara penonton yang membayar Rp 150.000 (ring side) dan Rp 200.000 (executive) menyebabkan penonton enak saja berpindah tempat. Ketika pertarungan mencapai puncaknya, tahu-tahu kerumunan penonton -- agaknya dari kelas murah -- bisa mendekati ring menutupi pandangan pembeli karcis mahal hingga timbul caci-maki. Tatkala dari panggung Rhoma Irama mengalun keras lagu Lari Pagi -- sementara Pical baru saja kalah dan dipapah ke kamar ganti -- ratusan penonton menghambur ke lapangan, tanpa petugas mampu mengendalikan. Dan, asyiiik, mereka berjoget dilapangan rumput yang hari-hari ini dipakai pertandingan sepak bola 6 Besar PSSI. Itu sebabnya ketika panggung dipasang, sehari sebelum pertandingan, orang PSSI sempat ribut. Mereka mempersoalkan panggung Rhoma yang dipasang di depan VIP Timur dan menjarah lapangan hijau. "Panggung Rhoma tak ada dalam rencana," tutur Nugraha Besoes, Sekretaris Umum PSSI. Apa betul tak ada dalam kontrak? Kurnia membantah. "Ada dalam kontrak. Malah kami menjamin Rp 5 juta ke PSSI," tutur Kurnia. Karena tak ada yang rusak, kata Kartamuhari, "pihak PSSI akan mengembalikan uang jaminan itu." Tak cuma dengan orang luar Kurnia ribut. Mitra usahanya, Dwi Setyo Wahyudi -- anak kedua, dari delapan bersaudara, Gubernur Ja-Teng Ismail -- juga mengeluh. Sudah menyumbang Rp 480 juta dari seluruh biaya penyelenggaraan, Ganang -- begitu ayah satu anak ini biasa dipanggil -- menilai Kurnia tidak profesional. "Dia tidak memiliki perencanaan kerja yang baik dan kurang rendah hati," kata pereli mobil ini. Ia juga melihat Kurnia sudah menyimpan, dari proposal yang disodorkan padanya, Desember 1986 lalu. "Banyak pengeluaran yang tak ada di proposal," ujar Ganang. Akibatnya, biaya yang di proposal semula Rp 850 juta membengkak menjadi Rp 970 juta. Yang dimaksud Ganang adalah dana uplink TVRI untuk siaran langsung ke Muangthai Rp 38,7 juta, juga soal dana administrasi ke WBA yang memang tak ada dalam proposal. "Jumlahnya tak lebih dari seratus juta," kata Kurnia tenang. Alhasil, "Saya harus hati-hati memilih mitra usaha," kata Ganang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini