Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sepak bola orang kantoran

Dalam pertandingan kompetisi pssi divisi utama 1987, psis semarang yang selama ini dianggap tim anak bawang, muncul sebagai kesebelasan tangguh. menggilas psms & persija serta maju ke final.

7 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI sore masih memancarkan cahaya dengan cerahnya di atas Stadion Utama Senayan, Jakarta, Minggu pekan lalu. Lapangan tidak becek. Tetapi PSIS (Semarang) bermain begitu cantik. Hampir semua pemain bergerak mencari posisi yang tepat begitu bola mereka kuasai, dan segera menjaga lawan ketika bola lepas dari penguasaan. Operan-operan pendek merambat dari bawah, tahu-tahu gawang lawan sudah terancam. Apa boleh buat, PSMS (Medan) yang sudah 5 kali jadi juara PSSI itu, kali ini terpaksa bertekuk lutut 0-1 dari bond Kota Semarang -- yang selama ini dianggap cuma anak bawang. Hari tak hujan, mengapa "juara lapangan becek" ini menang? "Ah, itu hanya nama yang diberikan masyarakat," jawab Sartono Anwar, 40 pelatih merangkap manajer PSIS. Ejekan terhadap PSIS selama ini memang macam-macam. Selain "juara lapangan becek", ada pula yang menggelari tim ini "jago kandang". Semua itu muncul karena kesebelasan yang berasal dari ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini lebih sering menang kalau bertanding di kandang sendiri, atau di waktu hujan. Inilah satu-satunya bond ibu kota provinsi di Pulau Jawa yang sejak 1950 belum sekali pun menjuarai PSSI. Prestasi tertingginya paling menjadi juara III, pada 1959. Kalau mau diurut, mulai dari sejarah sepak bola sebelum Perang, tetap saja Semarang tak dapat tempat. Pada masa itu, yang banyak unjuk gigi justru kota lain, seperti Solo dan Yogya. Tahun ini -- sekalipun belum tentu juara -- PSIS membuat kejutan. Bukan cuma Medan, tetapi Persija (Jakarta), tim yang juga difavoritkan untuk menjadi finalis, sudah lebih dulu keok, 3-1. Sejak putaran 12 besar, Desember sampai Februari lalu, PSIS yang berada di wilayah timur (bersama 5 tim lainnya) sebetulnya sudah menunjukkan taring. Mereka keluar sebagai juara, dengan cuma sekali kalah, dari 11 pertandingan, yaitu dari Surabaya. Pujian pun datang berhamburan. Ronny Pattinasarany, bekas pemain nasional yang kini melatih Persiba (Balikpapan), menyebut baru kali ini menyaksikan permainan bola yang mengasyikkan, "setelah masa Iswadi dkk." Rata-rata pemain PSIS memiliki rasa percaya diri dalam memainkan bola, ditunjang inteligensi yang baik, sehingga serangan yang dihasilkan lebih bervariasi dari tim yang mana pun dalam kejuaraan ini. "Baik bermain individu maupun dalam bentuk unit, mereka cukup baik," kata bekas libero andal PSSI itu memuji. Pemain Semarang tak pula mau bermain kasar. Ketika bertemu Medan, misalnya, mereka tak terpancing bermain kasar. Padahal, beberapa pemain "Ayam Kinantan" yang sudah frustrasi membendung serangan Semarang, yang datang dari berbagai penjuru, mulai mencari kaki lain. "Kalau ada pemilihan tim terbaik, tahun ini PSIS-lah yang saya pilih," kata bekas pelatih PSSI, Harry Tjong. Pelatih PSSI A, Sarman Panggabean, membantah, dengan begitu para pemain PSIS dianggap penakut. "Mereka tidak takut digertak musuh," ujarnya, "tetapi tackling mereka tidak menjurus kasar." Dengan berbagai kelebihan Semarang ini, Sarman bekas pemain nasional asal Medan, berpendapat sewajarnya tahun ini PSIS jadi juara. Tentu saja itulah harapan Sartono Anwar, sang pelatih yang sejak 1977 sudah menangani tim ini tetapi beberapa kali dia berhenti untuk kemudian bergabung lagi. "Sudah waktunya untuk PSIS. Tetapi itu semua tergantung pemain, bisa bermain konsisten atau tidak," kata ayah tiga anak dan pengagum Bung Karno itu. Bekas pemain gelandang sebuah klub di Semarang Sartono adalah produk diklat sepak boia Salatiga angkatan 1962-1966, seangkatan Junaedi Abdillah, Waskito, dan Oyong Liza nama-nama yang pernah bersinar di tim nasional. Dia pernah pula, 1977, selama setahun menjadi asisten pelatih Wiel Coerver menangani diklat Salatiga. Kemudian melatih klub Galatama Tunas Inti dan UMS '80 di Jakarta. Pernah pula ia menjadi asisten pelatih tim Binatama yang berguru ke Brasil, dan sebagai asisten untuk berbagai proyek PSSI, misalnya untuk tim SEA Games, pada 1979. Pengalaman Sartono membawa dia untuk menerapkan sepak bola modern pada anak asuhnya. Untuk memilih pemain, yang dimulainya sejak Agustus tahun lalu, misalnya, dia menyeleksi Hb pemain. Yang berada di bawah 14, langsung dicoret. Selain itu, pemain dites lari 12 menit, dengan jarak tempuh 2,4 sampai 2,8 km. Hasilnya, sebagian besar yang terpilih adalah pemain yang sudah pernah memakai kostum putih-biru itu tahun-tahun lalu. "Cuma 3 pemain baru yang baru kali ini terjun ke Senayan," kata Sartono. Yang lain ada Budi Wahyono, penyerang tengah yang tahun lalu populer di kalangan penonton Senayan karena kepalanya yang gundul. Atau Ribut Waidi, pemain sayap dan Achmad Muharyah, pemain sayap yang lain, yang menciptakan gol indah ketika mengalahkan Persija, pekan lalu. Nama-nama tadi memang sudah akrab dengan Senayan, sejak PSIS turut putaran 12 besar 1985 dan cuma menduduki ranking ke-7, kemudian menapak ke urutan ke-5, tahun lalu. Dengan demikian, sekalipun disisip pemain baru, PSIS tak canggung lagi berlaga di Senayan. Sartono tak mengungkapkan hal-hal yang aneh dalam mempersiapkan tim ini. Selain menyeleksi ketat fisik pemain, disiplin latihan juga dijaga. Setiap hari mereka harus berlatih 2,5 jam: satu jam pagi selebihnya sore. Terbukti, siapa pun bisa menyaksikan, betapa fisik dan stamina mereka cukup mampu memainkan pola menyerang yang membutuhkan kondisi fisik prima itu. Tim ini tak membutuhkan berbagai bentuk pemusatan latihan yang panjang. "Mereka dikumpulkan cuma dua-tiga hari menjelang pertandingan, langsung berangkat," kata Sartono. Untuk pertandingan di dalam kota, pemain berangkat ke stadion langsung dari kantor atau rumahnya masing-masing. Cara itu memang pas untuk tim ini karena sebagian besar pemainnya adalah orang kantoran: 5 karyawan BRI, 3 Pertamina, 4 BBD, dan yang lain bekerja di Dolog dan Pemda. Menurut Ketua PSSI, A. Wahab Abdy, kemajuan bukan terjadi pada Semarang saja. Persipura (Jayapura), salah satu tim wilayah timur lainnya, juga meningkat. "Hanya saja, permainan penuh disiplin PSIS membuat penonton puas," kata Abdy. Jumlah penonton pertandingan pun terus meningkat. Selama 4 hari pertama, sudah terjual tiket seharga Rp 276.986.000, lebih besar dari tahun lalu yang Rp 228.787.275. Jumlah itu sungguh tidak seimbang kalau dibandingkan dengan hasil pertandingan Galatama. Amran Nasution

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus