Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Pical bukan lagi juara. solihin ...

7 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARAH mengucur terus dari luka di hidung dan alis mata kanannya, meleleh membasahi dadanya yang telanjang. Celananya yang berwarna putih bergaris biru kelihatan ternoda bercak merahnya darah bercampur keringat. Sementara itu, sang lawan, Khaosai Galaxy, seakan tanpa rasa kasihan terus memburu. Dari bawah ring, sejumlah pendukung di antaranya sejumlah artis, seperti Rima Melati, Rina Hassim, dan Chintami Atmanagara berteriak cemas, "Lari...lari Elly ...." Ellyas Pical memang masih berusaha lari. Tapi gerak kakinya tampak berat, lututnya kelihatan lemas. Galaxy, yang terus maju seakan tank itu, dengan mudah segera mengurungnya di pojok biru, pojok Elly sendiri. Saat itu, 15 detik menjelang berakhirnya ronde ke-14, dari pertandingan yang direncanakan 15 ronde. Sulit digambarkan bagaimana perasaan sekitar 30.000 penonton di Stadion Utama Senayan dan jutaan lainnya yang menonton lewat siaran langsung TVRI -- menyaksikan adegan yang terjadi malam itu, Sabtu pekan lalu. Ellyas Pical, juara dunia satu-satunya yang jadi kebanggaan Indonesia, cuma bisa berlindung di balik kedua lengannya (doublecover) yang sudah amat lemah, dihujani pukulan seakan sansak saja oleh jago Muangthai itu. Sebuah hook kiri, yang menghunjam ke rusuk kanan, mengakhiri pertarungan: tubuh Elly melongsor seperti ban dalam dikempiskan dan terduduk lunglai bersandarkan tiang ring. Wasit Ken Morita dari Jepang, tanpa menghitung, mengibaskan kedua tangannya, sebagai aba-aba pertandingan sudah dihentikan dan Ellyas Pical kalah dengan TKO (Technical Knocked Out): tak mampu untuk melanjutkan pertandingan. "Saya tak perlu lagi menghitung, karena saya lihat Pical sudah habis," kata wasit itu seusai pertandingan. Ini agaknya akhir babak pertama pertarungan beberapa bulan. Yaitu sejak Dali Sofari, manajer Ellyas Pical, berebut dengan Promotor Kurnia Kartamuhari untuk mengontrak juara dunia WBA dari Muangthai, Khaosai Galaxy, guna menjadi lawan Ellyas Pical. KTI kemudian memutuskan Kurnia yang jadi promotor. Ribut-ribut mungkin sudah selesai, kalau KTI tak memberikan syarat bahwa pertandingan harus memenuhi 4 prinsip, satu di antaranya, gelar IBF yang disandang. Ellyas Pical tak boleh copot, sekalipun dia dikalahkan Galaxy. Kurnia Kartamuhari langsung menjamin bahwa gelar Elly di IBF sudah diamankan. Tapi belakangan diketahui, Kurnia ternyata sama sekali tak pernah menghubungi badan tinju itu. Maka, sebagai rasa bertanggung jawab atas kekisruhan ini, Ketua Umum KTI mengumumkan akan mengundurkan diri jika Ellyas Pical kalah dan gelarnya copot (TEMPO, 28 Februari 1987). Sekarang, gelar itu sudah copot. Presiden IBF Robert Lee sendiri yang menyatakannya kepada TEMPO, lewat telepon internasional, Senin malam yang lalu, "Karena kekalahan itu, Ellyas Pical tidak lagi memegang gelar juara IBF. Gelar itu dinyatakan lowong." Dengan demikian, rencana pertandingan wajib (mandatory fight) Elly melawan petinju Kor-Sel, Chang Tae Il, 5 Mei mendatang - yang direncanakan Promotor Anton Sihotang akan diselenggarakan di Osaka, Jepang -- dinyatakan batal pula. Seperti dikatakan pimpinan tertinggi IBF itu dari kantornya di Clinton Street, Newark, New Jersey, AS, dalam waktu dekat IBF segera merencanakan pertandingan untuk mengisi gelar yang kosong, antara Chang Tae Il (penantang nomor 1) dan Choon Soon Kwan (penantang nomor 2). Nasib Elly? "Pekan ini akan kami umumkan rating baru IBF, dan Elly masih masuk datar penantang, tapi paling mujur nomor 6," jawab Robert Lee dengan nada kesal. "Yah, apa mau dikata, itu 'kan keinginan Ellyas Pical dan KTI." Babak berikutnya, agaknya, tinggal realisasi rencana pengunduran diri Solihin G.P. selaku Ketua Umum KTI. Senin pagi pekan ini, Solihin mempertegas sikapnya itu di depan para pengurus KTI. "Surat pengunduran diri beliau sedang disusun. Akan disampaikan dalam waktu dekat," kata M. Anwar, Ketua Harian KTI. Hanya, untuk membicarakan pelaksanaan pengunduran diri Solihin, yang tak dikenal dalam AD/ ART selama ini, pekan depan para pengurus KTI daerah diundang untuk rapat luar biasa di Jakarta. "Pengunduran diri tidak perlu sama sekali, karena dalam olah raga bisa saja orang kalah dan menang," kata Menpora. Menteri Gafur tak salah. Hanya saja, gelar Ellyas Pical, yang selama ini sudah memainkan peranan sebagai penggerak lajunya bisnis tinju bayaran di sini, punya kelas yang berbeda. Tidak sama harganya dengan beberapa gelar Juara OPBF (Asia-Pasifik), misalnya, yang pernah diraih petinju kita dan kemudian lepas. Apalagi ketika Elly merebut gelar juara dunia itu dari tangan petinju Kor-Sel, Judo Chun, Mei 1985, adalah kali pertama Indonesia punya juara dunia. Filipina, kalau mau di sebut, telah mencetak juara dunia kelas terbang, Pancho Villa, pada 1923. Apalagi, negeri itu pernah mencetak seorang Gabriel Flash Elorde, juara dunia kelas ringan yunior 1960-1967, yang namanya begitu terkenal, karena memegang berbagai gelar juara, dan mampu mempertahankan gelar itu semuanya. Nama jagoan Filipina itu akan ditabalkan menjadi trophy OPBF untuk petinju terbaik Asia-Pasifik mulai tahun ini. Muangthai punya juara dunia kelas terbang, Pone Kingpetch, sejak 1960. Negeri ini kini memiliki 3 juara dunia: Samart Payakaroon (juara kelas superbantam WBC), Sot Chitalada (juara kelas terbang WBC), dan Khaosai Galaxy (kelas superterbang WBA). Di tingkat OPBF, negeri itu menempatkan 4 juara, jauh di atas Indonesia yang cuma punya Suwarno (kelas menengah). Petinju itu pun Januari lalu dipukul KO oleh Jorge Amparo (Dominika) ketika mau merebut gelar juara dunia WBC Yunior. Karena itulah mengapa gelar Elly begitu penting. Elly sendiri pun menyadari arti itu. Lihatlah bagaimana dia bertarung dengan gagah berani, sekalipun darah sudah bercucuran. Namun, ada benarnya apa yang dikatakan Edward Tangarajah, wartawan dan tokoh tinju Muangthai, "Pukulan Pical kuat, solid, dan ia sangat berani. Tapi modal itu saja tidak cukup untuk bertinju." Nilai yang diberikan ketiga juri, Lorry Rozadilla (AS), Chung Hyung Soo (Kor-Sel), dan Takeshi Simakawa (Jepang), dari ronde 1 sampai 13, memang menunjukkan, dari pengumpulan angka pun, Galaxy sudah memenangkan pertandingan. Elly cuma memenangkan ronde 2 dan 9, ronde 1 dan 8 sama kuat, sedangkan 9 ronde selebihnya dimenangkan Galaxy. Tapi kalau diteliti angka-angka yang diberikan juri untuk 9 ronde kemenangan Galaxy itu, semua terdiri dari kemenangan tipis 10-9 -- kecuali ronde 11 tatkala ada juri yang memberi kemenangan meyakinkan 10-8. Selain itu, cuma pada ronde 5 dan 7, ketiga juri sepakat dengan angka 10-9 tadi, sedangkan pada 6 ronde lainnya, selalu ada salah satu juri yang memberikan nilai seri 10-10. Malah pada ronde 12 misalnya, Chung Hyung Soo dan Takeshi Simakawa memberi nilai sama 10-10, Larry Rozadilla saja yang memberi 10-9 untuk Galaxy. Dari data itu bisa diketahui bahwa para juri itu melihat pertandingan tidaklah berat sebelah. Tampaknya, yang memberi kemenangan pada petinju Muangthai itu adalah kaidah yang biasa dipegang wasit yang mengatakan: kalau dua petinju bertarung seimbang, kemenangan diberikan pada pihak yang lebih aktif menyerang. Khaosai Galaxy memang pihak yang menyerang sepanjang ronde -- kecuali ronde 1, saat dia masih menjajaki lawan. Ellyas Pical pun meladeninya dengan taktik pukul dan lari. Terkadang, seperti yang dia lakukan pada ronde 4 dan 5, Elly begitu berani menyongsong lawannya untuk saling tukar pukulan. Sekalipun Elly kalah, partai ini mungkin salah satu pertandingan paling seru yang pernah diselenggarakan di Jakarta. Cara pertarungan yang dikembangkan Elly itu membutuhkan stamina yang benar-benar prima. Apalagi Galaxy betul-betul petinju badak lahir batin. Betapa tidak, hook kiri Elly yang pernah dibanggakan sebagai terkeras di dunia di kelasnya, tak sebelah mata pun diacuhkan Galaxy. Begitu terkena pukulan telak, dia cuma menyeringai sejenak, terkadang malah senyum, setelah itu segera mengejar, tanpa terkesan capek apalagi jeri: Ini perang mental yang begitu sempurna dilakukan juara Muangthai itu. Sebab, sehabis pertandingan, dia mengaku kepada TEMPO, "Pukulan Elly keras juga. Ini pertarungan yang termasuk terberat dalam karier saya." Sabtu tengah malam, ketika menerima telepon jarak jauh Bangkok --Jakarta dari PM Muangthai, Prem Tinsulanonda, Khaosai juga menjawab pertanyaan tokoh penting negaranya itu. "Beliau mengucapkan selamat dan menanyakan apakah saya capek. Saya jawab, ya, memang capek," katanya. Dari pengecekan urine petinju itu setelah pertandingan, diketahui bahwa kencing Galaxy keruh seperti teh, dan kadar keasamannya (pH) tinggi, 6,5. Angka normal mestinya 7 ke atas. Menurut dr. Hario Tilarso, Pimpinan Pusat Kesehatan Olah Raga (PKO) KONI, "Gejala itu menunjukkan bahwa Galaxy betul-betul lelah." Berbeda dengan jago tuan rumah. Sampai ronde 10, tanda-tanda Elly sudah capek kentara kelihatan, ketika dia mulai merintangkan kedua belah lengannya (double cover) untuk melindungi rahang dari sergapan lawan. Padahal, sejak semula dia tak menggunakan cara itu -- tapi lari ketika lawan datang menyergap -- sebab pukulan Galaxy yang keras, terutama uppercut-nya yang tajam itu, akan mudah membongkarnya. Terbukti, pada ronde 10 hidung Elly mulai berdarah. Pada ronde berikutnya, darah kian mengucur. Di akhir ronde, terlihat Elly pulang sempoyongan ke sudutnya. Setelah itu, kejatuhan Elly tinggal waktu. Dia sudah tak mampu lagi melepas pukulan, bahkan untuk merangkul (clinch) lawan saja pun dia seperti tak lagi punya tenaga. Satu-satunya yang dia lakukan, ya double cover itu, dan uppercut lawan kian bertubi mencocor wajahnya. Ketika itu semprotan semangat yang diberikan suporter sudah sia-sia, dan akhirnya jago dari Saparua itu menyerah. Presiden Soeharto sendiri menyatakan penampilan Elly cukup baik. Hanya karena pertandingan begitu ketat, Elly kehabisan tenaga. Pernyataan itu disampaikan Presiden ketika menerima Menpora Abdul Gafur, Senin lalu, di Bina Graha. Banyak pengamat memang berpendapat Elly babak belur karena kehabisan stamina. Menurut dr. Hario Tilarso, untuk pertarungan seberat itu, idealnya Hb Elly 16-17 dan V02 Max (ambilan oksigen maksimal) minimal 55 cc/kg berat badan. Bagaimana data Elly? Sulit diketahui secara pasti, karena dr. Willy Widjanarko, yang mengawasi kesehatan petinju itu selama latihan, menolak memberi data. Data sebelumnya, ketika Elly memulai program latihan, diketahui memang di bawah batasan yang diberikan Hario Tilarso. Kadar Hb cuma 14-15 dan V02 Max 53-54 cc/kg berat badan. Bekas Promotor Boy Bolang, yang pertama mengorbitkan Elly ke jenjang juara dunia, melihat bahwa buruknya kondisi fisik petinju ini karena singkatnya program latihan. "Mestinya untuk menghadapi Galaxy dia latihan 4 bulan." Tapi, syukurlah, para pendukung yang cemas melihat juaranya berlumuran darah di atas ring -- di Ambon konon beberapa orang sempat meninggal menyaksikan kekalahan Elly -- masih bisa menerima kabar melegakan. "Luka-lukanya tidak dalam, kok," kata dr. Willy Widjanarko. Elly mengalami robek 2,5 cm di bawah alis mata kanan, kemudian kumparan pembuluh darah di hidungnya pecah, dan bibirnya bengkak. Setelah disuntik Anaroxyl 2,5 cc, pendarahannya berhenti. Tulang rusuknya tak ada yang patah, dan tengkorak kepalanya, setelah diperiksa dengan ronsen, juga tidak retak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus