TIM Piala Davis Indonesia akhirnya kandas. Di lapangan keras Hua Mark, Bangkok, pekan lalu, Tintus Arianto dan kawan-kawan dibabat tim tuan rumah Muangthai, 1-4 di babak perempat final Piala Davis Zone Asia Timur. Inilah untuk pertama kalinya Indonesia tumbang di tangan Muangthai setelah dua kali bertemu dalam babak penyisihan Piala Davis. Pada 1978, di Jakarta, Muangthai kalah 5-0 dari Yustedjo dan kawan-kawan. Bertekuk lututnya Indonesia di tangan tuan rumah di luar dugaan pengamat dan pembina tenis. Padahal, di SEA Games XIII, akhir 1985, di tempat yang sama, Tintus dkk mampu mempecundangi Muangthai. "Saya akui, kali ini Muangthai bermain lebih bagus dan lebih siap," tutur Gondowijoyo, pelatih merangkap kapten tak bermain, kepada Rudy Novrianto dari TEMPO melalui telepon internasional, Senin malam pekan ini. Tapi, ia merasa perlu menambahkan, pertandingan yang sempat tertunda selama dua hari membuat pemain tambah tegang. "Dan menjelang pertandingan kami tidak bisa berlatih, karena hujan terus di Bangkok," kata Gondowijoyo. Hal itu juga dibenarkan Tintus Arianto, 25, tulang punggung tim Piala Davis Indonesia, yang diharapkan meraih dua angka dari partai tunggal. "Saya sendiri heran mengapa sampai kalah sejauh itu," ujar Tintus. Dengan kekalahan ini, berarti dalam tiga tahun terakhir Indonesia selalu kandas di babak penyisihan zone Asia Timur. Padahal, tahun 1983, Indonesia, yang ketika itu masih diperkuat Yustedjo Tarik, mampu mencapai 16 besar dunia. "Sebenarnya, sekarang inilah saat yang tepat untuk bisa masuk 16 besar, dilihat dari pembagian pool yang cukup ringan," tutur Yustedjo. Lalu, di mana letak kesalahannya? Kebijaksanaan dalam menetapkan pelatih? Tampaknya begitu. "Kalau pelatihnya diganti, saya siap untuk memperkuat tim Piala Davis walaupun mulai dari bawah lagi," tekad Yustedjo serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini