Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Matahari panasnya berkurang

Cerita, skenario, dan sutradara : arifin c. noer pemain: marissa haque, wawan wanisar, w.d. mochtar, dll produksi: pt gramedia film resensi oleh: bambang bujono.

17 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI-MATAHARI Cerita, Skenario, dan Sutradara: Arifin C. Noer Pemain: Marissa Haque, Wawan Wanisar, W.D. Mochtar, Rima Melati Produksi: PT Gramedia Film AWAN jingga, matahari fajar, kokok ayam. Sawah yang luas, kebun-kebun yang hijau, dan rumah-rumah. Seseorang bangun tidur, menguap, minum, pergi ke sawah. Seekor katak meloncat ke kubangan. Di bawah matahari yang terik seorang petani membajak sawahnya. Dan ketika matahari berada di sisi dunia yang sebelah, malam pun turun. Di sebuah rumah lampu tempel dimatikan, sepasang suami istri melakukan kewajiban mereka. Sebuah desa yang tenteram, dari saat ke saat, dari hari ke hari. Alam dan manusia utuh dalam harmoni. Gambar-gambar awal film Arifin C. Noer, terbaru itu memang sebuah reportase tentang desa yang tenteram dan menyejukkan. Dan kemiskinan, di desa itu, akrab dengan sebagian besar warganya. Sampai kepulangan Sarkim, suatu hari, bekas warga desa yang urbanisasi ke Jakarta. Maka, Warga, tokoh dalam kisah ini, tiba-tiba jadi sadar bahwa hidupnya sungguh sengsara. Apalah arti upah seorang buruh tani dibandingkan dengan cincin dan arloji emas gemerlap Sarkim. Dan Kokom, penyanyi dangdut yang sukses itu, juga pulang menjenguk desa kelahiran bersama Sarkim. Lenggak-lenggok Kokom di halaman rumah Pak Lurah, dalam satu pertunjukan gratis tentunya, melambungkan angan Warga - lelaki kekar yang bisa menundukkan kerbau mengamuk ini jatuh cinta kepada penyanyi itu. Lengkaplah persiapan cerita untuk melontarkan Warga dan Iyom, istrinya, dari ketenteraman desa ke kebalauan kota. Dan saat itu tiba ketika bayi Iyom meninggal karena Warga tak berhasil memperoleh utangan guna membiayai pengobatan. Maka, layar pun berubah dari suasana hijau ke cokelat kumuh. Dari rumah-rumah desa yang batanya tak berplester ke gubuk-gubuk kayu centang perenang, dengan penghuni yang hiruk-pikuk. Gubuk kayu itulah asrama para pengemis yang diasuh oleh Sarkim, bos pengemis yang memungut komisi dari anak buahnya. Sampai di situ Matahari-matahari memang menyuguhkan satu kisah yang lancar dengan gambar-gambar yang bagus. Kontras antara desa dan asrama pengemis begitu terasa. Ketabahan Iyom (Marissa Haque), perempuan bisu, dan kenekatan Warga (Wawan Wanisar) tersajikan lewat adegan dan dialog yang pas. Tapi kemudian muncullah tokoh Nancy, novelis gagal yang kurang waras dari keluarga kaya raya. Diperkenalkanlah seorang pengusaha koran bekas yang menolong Iyom. Dan, tentu, dimunculkan kembali Kokom (Rima Melati), penyanyi top yang kemudian tersingkir karena selera publik berubah. Cuma porsi perhatian yang diberikan oleh Arifin kepada mereka, tampaknya, berlebihan. Kurang jelas seberapa jauh mendukung cerita konflik keluarga Nancy yang dipaparkan itu, misalnya. Sebaliknya, ada yang kurang jelas, yakni bebasnya Iyom dari tuduhan dialah yang membakar asrama pengemis. Kesaksian yang diberikan oleh salah seorang tukang pukul Sarkim tak diceritakan. Lepas dari itu semua, secara keseluruhan film ini memang tak mencapekkan. Dalam mengatur tempo, Arifin, sutradara film yang punya reputasi dalam dunia drama Indonesia ini, memang cermat. Ia masukkan adegan musik dangdut atau tari topeng Cirebon pada saat suasana perlu dicairkan. Pada akhirnya, Arifin, orang Cirebon asli, memihak ke desa. Iyom sukses bisa membeli sawah, pulang ke desa bersama anaknya. Mereka dengan sabar menunggu kepulangan Warga, yang ditahan di kota karena membunuh Sarkim. Kamera tertuju pada hamparan sawah. Bayangan seorang perempuan dan seorang anak lelaki. "Emak memang hebat, kita punya sawah lagi. Kapan Bapak pulang, Mak," tanya anak Iyom. Jadinya ini memang bukan sebuah tragedi. Apalagi ada satu adegan yang menggambarkan betapa irigasi di desa berlangsung dengan lancar, dan bagaimana gemerlapnya lalu lintas di kota. Rasa pahit, yang mulai tercicip ketika gubuk atau asrama pengemis terbakar, urung jadi napas kisah ini. Malah menimbulkan tanda tanya: apa sebenarnya yang dimaui oleh sutradara dengan set-set kemiskinan itu. Sebuah tema yang menggantung. Tapi itulah Matahari-matahari yang telah digarap oleh Badan Sensor Film. Sebenarnya tak banyak yang dibuang. Hanya dialog-dialog yang tentunya dianggap "mempertajam perbedaan sosial" - penilaian yang diberikan oleh pihak BSF yang menyebabkan film ini tertahan agak lama - yang dipotong sensor. Tapi rasanya gunting sensor memang efisien. Kebetulan saya sempat menyaksikan film yang utuh (TEMPO 19 Oktober 1985). Tak ada perbedaan jalannya cerita, juga akhir kisah, tapi ada rasa yang berubah. Seingat saya dialog-dialog yang hilang sebenarnya mempertegas kemuraman gubuk pengemis dan kepengapan nasib mereka semua Efeknya, hal-hal yang menyimpang sepertl boleh dimaafkan, umpamanya cerita yang melebar dengan kisah Kokom jadi tua itu. Maka, adegan dan dialog penutup boleh tak berubah, tapi konotasinya memang terasa berbelok. Nada kata-kata Pipin dulu terasa getir. Dalam Matahari yang ini, "Kapan Bapak pulang," terasa optimistis. Yang dulu, justru mengesankan suatu harapan yang terasa sia-sia, klop dengan keseluruhan napas cerita. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus