Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kejutan Di Bangkok

Kejutan di kejuaraan terbuka Muangthai di saat perbulutangkisan Indonesia suram. Icuk Sugiarto tampil lagi sebagai juara tunggal. Eddy Kurniawan mengalahkan Han Jian, juara dunia ke-4 di Calgary. (or)

20 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ICUK Sugiarto bangkit lagi. Setelah kehilangan gelar di Calgary, Kanada, bulan lalu, bekas juara dunia tunggal putra ini Sabtu pekan lalu membuktikan bahwa dia masih seorang pemain tunggal yang perlu diperhitungkan. Ia merebut juara tunggal untuk kedua kalinya di Kejuaraan Muangthai Terbuka di Bangkok. Tak pelak lagi, ini gelar pertama yang direbut Icuk tahun ini. Dengan kemenangan ini, pelan-pelan ia mengembuskan angin segar ke perbulutangkisan nasional - yang sejak akhir tahun lalu tampak menyuram setelah kekalahan-kekalahan beruntun sejumlah pemain andalan. Hampir berturut-turut, mulai All England, 1985, di London, hingga terakhir di Kejuaraan Dunia ke-4 di Calgary, jago-jago kita, termasuk Icuk, dipecundangi para pemain bulu tangkis lawan. Bisa dimengerti bila Icuk, 23, terlihat sangat gembira. Ayah seorang anak ini meraih kemenangan kali ini setapak demi setapak. Mula-mula ia mengalahkan runner-up juara dunia 1985, Morten Frost Hansen, dalam semifinal. "Ternyata, setelah tak terlalu diharap untuk menang, saya bisa bermain bagus," katanya. Sering melempar senyum renyah, Icuk yang mengantungi Rp 2,5 juta - mengatakan, ia kini lebih yakin pada kemampuannya. Tak hanya Icuk. Kejuaraan Muangthai Terbuka boleh dianggap memberikan juga hadiah hiburan lain yang lumayan menggembirakan ketika pemain Indonesia mampu memenangkan partai ganda di turnamen yang secara keseluruhan menyediakan hadiah uang sekitar Rp 25 juta itu. Yakni ketika Bobby Ertanto/ Heryanto, pasangan ganda baru, keluar sebagai juara ganda. Lebih dari itu, kejuaraan di Bangkok kali ini juga membuat kejutan lain bagi Indonesia. Yaitu ketika pemain muda Eddy Kurniawan, 23, di babak awal pertarungan menundukkan beberapa pemain unggulan. Di antaranya, Steve Baddeley, unggulan keempat dari Inggris. Yang paling mengagetkan, ketika ia menyisihkan Han Jian, unggulan pertama Cina. Padahal, Han Jian baru dua minggu sebelumnya jadi juara tunggal putra Kejuaraan Dunia ke-4 di Calgary, Kanada. Tak tanggung-tanggung, bujangan asal Semarang ini menundukkan jago Cina itu dengan straight-set 15-11 dan 17-16. Kemenangan ini segera jadi buah bibir kalangan perbulutangkisan. Adalah Han Jian sendiri yang terang-terangan mengaku, dia memang kalah dari seorang pemain yang betul-betul tangguh. "Dia salah seorang pemain terbaik yang pernah kuhadapi selama ini," kata juara dunia yang berusia 29 tahun itu kepada koran Bangkok Post. Eddy sebenarnya bukan pemain baru. Anak Jawa Tengah ini, yang sejak 1978 pindah ke Jakarta karena diajak Rudy Hartono, sudah lima tahun terakhir ini menjadi salah seorang pemain senior Indonesia. Cuma, karena prestasinya yang naik turun, ia tak begitu populer. Pemain klub Jaya Raya asuhan Rudy Hartono ini rupanya lebih banyak berhasil secara kebetulan. Ini bisa dilihat dari prestasinya yang kurang stabil. Ia pernah menjadi juara kedua Kejuaraan Asia 1983, di bawah Lius Pongoh. Tapi setelah itu ia sering kalah di pelbagai pertarungan dalam kelas yang lebih rendah di dalam negeri, misalnya dalam seleksi nasional. Di dalam negeri sendiri, hingga saat ini, "pembunuh juara dunia" ini belum sekali pun berhasil menjadi juara nasional. Anak pertama dari dua bersaudara ini orangtuanya seorang pengusaha di Semarang - memulai kariernya di bulu tangkis sejak usia 11 tahun. "Saya mulai serius latihan sejak kelas dua SMP," katanya. Di Semarang, sebelum ditarik Rudy ke Jakarta, ia beberapa kali memegang juara dalam pertandingan antarklub yunior, di antaranya di Kejuaraan Semarang 1977. Setelah menetap di Jakarta, pemain yang tingginya 178 cm ini cepat berkembang. Di bawah bimbingan Rudy Hartono, ia mematangkan teknik bermain hingga kemudian bisa memiliki smash tajam menukik, seperti Rudy Hartono zaman muda dulu. Dengan modal keampuhan smash-nya itulah bujangan jebolan Fakultas Ekonomi UKI Jakarta ini beberapa kali menundukkan lawan-lawannya. Namun, senjata ampuh ini terkadang jadi tak sepenuhnya berhasil dimanfaatkan Eddy. Menurut seorang pelatih, ia termasuk pemain yang "seenaknya", dan kurang begitu intensif berlatih. Kepada TEMPO, Rudy Hartono, ketua Bidang Pembinaan PBSI, tak membantah soal perangai Eddy yang agak malas berlatih itu. "Kalau aktif berlatih, Eddy memang salah seorang pemain yang potensial," kata Rudy Hartono. Satu kelemahan lain, pemain yang baru membuat kejutan itu kurang bisa cepat menganalisa permainan lawan. Kekurangan inilah yang terkadang menyebabkan dia di kalahkan seorang lawan yang sama sekali di luar hitungan, tapi yang tak ia kenal permainannya. Sekalipun begitu, Rudy tetap menganggap Eddy seorang pemain yang cukup diharapkan karena memiliki pukulan yang komplet. Eddy juga seorang pemain dengan postur tubuh yang amat ideal untuk seorang pemain badminton. Dan ia memang telah membuktikan diri sebagai "pembunuh juara dunia" - meski belum beruntung merebut juara. MS Laporan Rudy Novrianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus