PARA orangtua murid itu kaget. Anak mereka telah dinyatakan lulus dari SMP, tapi ditolak ketika mendaftar masuk ke SMA dan STM. Para lulusan itu ternyata tak memiliki NEM atau nilai ebtanas murni. Mei lalu para orangtua murid SMP Bina Keluarga, Deli Serdang, 14 km arah timur laut Medan, itu mengadu ke Kanwil P & K Sumatera Utara. Hingga pekan ini, saat dimulainya tahun ajaran baru, ke-29 "lulusan" SMP tersebut belum jelas nasibnya. SMP Bina Keluarga mulai dibuka pada tahun ajaran 1983-1984 - dan baru tahun ini mengadakan ujian. Menurut Saiman, 43 ketua Yayasan Bina Keluarga, pendiri sekolah inij gedung dengan tiga lokal dan satu ruang kantor itu didirikan pada tanah wakaf. Setelah gedung berdiri dan diperoleh guru-guru lulusan IKIP, barulah dibuka penerimaan murid. Dengan persiapan seperti itu SMP ini langsung dipercaya masyarakat. Selama dua tahun berjalan tak sesuatu pun terjadi. Tiap tahun sekolah ini menerima murid baru, bahkan yayasannya lalu juga mendirikan SMA. Kini, SMP dan SMA Bina Keluarga mendidik 197 siswa. Lalu tibalah saat SMP mengadakan ujian, April lalu, disusul dengan pengumuman hasil ujian dan penyampaian ijazah. Maka, terbuka rahasianya. Mulai tahun ini diberlakukan kembali Ebtanas atau ujian negara untuk enam mata pelajaran bagi SMP. Selain ijazah atau STTB (surat tanda tamat belajar), siswa yang lulus juga diberi NEM (nilai ebtanas murni). Bila ke-29 "lulusan" SMP Bina Keluarga tak punya NEM, itu karena mereka tak menempuh Ebtanas. Yang mereka jalani sepenuhnya ujian yang soal-soalnya dibikin sendiri oleh sekolah. Sedangkan soal-soal Ebtanas dibagikan pihak Kanwil P & K. Mengapa SMP Bina Keluarga tak mendapatkan soal Ebtanas ? Sebab, sekolah ini ternyata memang belum terdaftar. Tapi mengapa SMP ini nekat mengadakan ujian tanpa terlebih dahulu menjelaskan statusnya terhadap siswa-siswanya? Syahruddin Nasution Mardiah, kepala sekolah, tak bisa ditemui. Menurut Iriadi, 43, wakil sekretaris Yayasan Bina Keluarga, dikhawatirkan bila sekolah tak mengadakan ujian, siswa akan keluar. Berarti, sekolah pun akan bubar. Bila ini terjadi, Yayasan akan kehilangan tanah wakaf ini karena tak digunakan. "Jadi niat kami menipu para murid tak ada sama sekali," kata Saiman, ketua Yayasan, kepada Amir S. Torong dari TEMPO. Kedengarannya, penjelasan Iriadi agak aneh. Mengadakan ujian palsu sekadar mempertahankan tanah wakaf 0,6 ha. Tapi perebutan tanah wakaf rupanya memang terjadi antara Yayasan Bina Keluarga dan Yayasan Shaddiqin. Yang belakangan itu juga punya SMP dan SMA, dan gedungnya dibangun persis di samping SMP Bina Keluarga. Menurut pihak Yayasan Shaddiqin, merekalah yang berhak atas tanah wakaf dari Kiai Nurani dan masyarakat di situ, dulu, 1968. Salah satu buktinya, SMP dan SMA Shaddiqin sudah dibolehkan ikut ujian negara dengan cara bergabung dengan sekolah negeri. Akibat skandal ini, SMP Bina Keluarga tahun ini tak dibolehkan menerima murid baru. "Kami patuhi larangan ini, tapi kami harap izin untuk sekolah kami bisa cepat keluar," kata Saiman, lulusan IKIP Negeri Medan jurusan Civic Hukum. Pihak Kanwil menilai bahwa yang dilakukan SMP Bina Keluarga benar-benar "merusakkan citra guru". Bahkan Soegijo, kepala Kanwil Sumatera Utara, menganjurkan kepada orangtua murid untuk "menyelesaikannya lewat prosedur hukum karena jelas-jelas ini penipuan". Selama ini SMP Bina Keluarga tak mendapatkan izin karena memang belum memenuhi syarat. "Administrasi sekolah itu semrawut. Masa baru berdiri pada 1983, kini sudah punya siswa kelas III," kata Jasudin Siregar, kepala Subbagian Penerangan Kanwil P&K Sum-Ut. Para orangtua murid sendiri hanya mengharap agar anak-anak mereka bisa segera mengikuti ujian resmi. "Agar bisa melanjutkan sekolah," kata seorang dari mereka. Konon, ada janji dari Syahruddin Nasution, kepala SMP yang kini sulit ditemui? 29 siswa itu akan diikutsertakan pada ujian ekstranen September dan Oktober nanti. "Tapi kami tidak percaya lagi. Takut ditipu dua kali," kata seorang siswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini