Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kekalahan Di Asian Games Serba Ketinggalan

Prestasi kontingen Asian Games Indonesia di new delhi merosot, usia dan sistem latihan, merupakan kunci ketinggalan atlet Indonesia. atlet2 muda kurang diperhatikan. (or)

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HONTINGEN Asian Games Indonesia yang pulang dari New Delhi disambut bagaikan serdadu kalah perang. Tak ada elu-eluan untuk mereka-satu-satunya kalungan bunga cuma buat Chef de Mission Gatot Soewagio. "Tidak dilempari telur busuk saja sudah untung," komentar seorang atlet. Rombongan olahragawan nasional itu, yang mendarat di bandar udara Halim Perdanakusumah, Jakarta, pekan lampau, cuma berhasil meraih 4 medali emas, 4 perak, dan 7 perunggu--separuh dan yang diboyong dalam Asian Games di Bangkok, 1978. Sekjen KONI Pusat M.F. Siregar tidak menyalahkan siapa-siapa. Tcntang melorotnya perolehan medali, katanya, karena persaingan makin ketat. "Tapi dalam misi kita naik," ucap Siregar. Ia menambahkan sekarang Indonesia menempati urutan keenam di antara 33 negara--sebelumnya urutan ketujuh dari 28 kontingen. Sesuai target? Jika dilihat dari sudut pengatrolan urutan betul. Tapi bila ditinjau dari perolehan medali gagal. Sebelum bertolak ke New Delhi, Ketua Harian KONI Pusat D. Soeprajogi optimistis Indonesia bakal meraih minimal 11 medali emas. "Perhitungan itu sudah dipotong 25%," katanya sehari setelah Kontingen Indonesia lepas landas menuju India, pertengahan November. Perkiraan kasar yang diangkat Soeprajogi berdasarkan laporan kemajuan dari pembina cabang olahraga inti tercatat sekitar 15 medali emas sanggup disabet. Cabang olahraga yang semula diperkirakan bakal menjadi tambang emas bagi Indonesia dan sempat disebut sebagai dianak-emaskan, adalah bulutangkis, tenis, angkat besi, renang, panahan, tinju, dan balap sepeda. Peluang Indonesia dalam tujuh mata lomba ini, menurut Soeprajogi, 60 banding 40. Perhitungan di kertas itu mulai berantakan begitu atlet bertarung di gelanggang. Maman Suryaman, misalnya, yang diandalkan merebut tempat utama di angkat besi, hanya mampu menyabet perunggu. Pasalnya: sesampai di New Delhi, Maman harus menurunkan berat badannya sebanyak 3 kg--waktu di pelatnas bobotnya 55 kg. "Otomatis, bila berat badan diturunkan, kekuatan akan berkurang," ujar pelatih Madek Kasman . Tak cuma kelebihan berat badan yang jadi masalah. Setelah di New Delhi ketahuan bahwa atlet angkat besi Indonesia ketinggalan dalam banyak hal. Antara lain: usia dan sistem latihan. Olahragawan RRC, Korea Selatan, dan Jepang yang memboyong banyak medali emas di cabang ini setiap hari berlatih 3 kali sehari--1 kali lebih banyak dibanding atlet kita. Juga total angkatan. Cerita Madek: untuk kelas di bawah 60 kg, umpamanya, rata-rata seorang atlet dari tiga negara itu mengangkat beban 25 ton per hari. Sedang Maman cuma berlatih sebatas 15 ton. Angkat besi mendapat jatah 8 atlet-sebelum bertolak ke India mereka sempat berlatih di tiga tempat: Lembang, Tawangmangu, dan Gisting, Lampung. Kontingen Indonesia menyabet medali emas pertama setelah tim tenis, dimotori Justedjo Tarik, mengalahkan India dalam final beregu putra. Tak heran: saat ini pemain kita memang terkuat di Asia -- Indonesia adalah wakil Asia dalam pertandingan kelompok 16 Besar turnamen Piala Davis yang akan diselenggarakan di Stockholm, Maret depan. Selang beberapa hari kemudian Justedj(l menyumbangkan lagi 1 medali emas dari nomor perorangan. Satu-satunya yang los dari target semula adalah akibat tidak fit-nya Hadiman yang bermain ganda dengan Justedjo. "Kalau saja Hadiman fit saya optimistis bisa menambah satu medali emas lagi," kata Justedjo. Untuk 2 medali emas itu tim tenis putra Indonesia, terdiri atas Justedjo, Tintus Aribowo, Hadiman, dan Donald Waelan, berlatih keras sekitar 5 bulan di bawah asuhan Bill Tym dari Amerika Serikat--3 bulan di Alabama, AS, dan sisanya di Jakarta. Tim tenis putri yang terdiri atas Sri Utaminingsih dan Suzana Anggakusuma memang tidak diperhitungkan bisa mencapai tempat terhormat--beregu maupun perorangan. Pukulan "memalukan" dalam Asian Games IX di New Delhi di mata pecandu olahraga adalah gagalnya tim bulutangkis putra dan putri Indonesia menyabet 4 dari 7 medali emas yang diperebutkan di nomor beregu maupun perorangan. Target ini disamakan dengan prestasi di Bangkok, 1978. Tapi setelah di lapangan, Liem Swie King dan Verawaty dan kawan-kawan cuma memboyong 2 medali emas--dari ganda putra Icuk Sugiarto/Christian Hadinata dan ganda campuran Christian Hadinata/Ivanna Lie (lihat: Bulutangkis). Kegagalan melewati prestasi Kristiono dalam kolam renang Asian Games di Bangkok, menurut atlet Gerald Item, yang juga masih ikut di New Delhi, karena peremajaan yang terlambat. "Pembina, kurang bisa menggairahkan perenang-perenang muda sehingga yang menonjol sedikit," kata Gerald (Jerry) Item. Akibatnya: prestasi juga meningkat pelan. Waktu di Bangkok, Indonesia meraih satu medali emas atas nama Kristiono . Ekor keterlambatan dalam peremajaan, menurut Jerry, mengakibatkan atlet yang ditampilkan terpaksa yang itu-itu juga--seperti dia sendiri, Lukman Niode, John Item, dan lain-lain. Ia lalu menyarankan untuk meniru sistem pembinaan di Jepang. Jerry berkata: "Di Jepang tak ada lagi jurang pemisah antara atlet senior dengan junior." Di New Delhi, menurut Jerry, hanya dua perenang lagi yang merupakan sisa Asian Games 1978. Tim renang Indonesia, terdiri enam putra dan lima putri, yang sebagian besar sempat berlatih di San Diego, AS, yang lolos kualifikasi Asian Games IX cuma regu estafet putra 4 x 100 m gaya bebas. Motor tim adalah Jerry, Lukman, dan John Item. Kesalahan lain yang membuat tim renang Indonesia kehilangan emas, menurut Lukman, adalah perubahan jam dari panitia. Ia yang optimistis bisa merebut medali emas nomor 200 m gaya bebas, kehilangan konsentrasi waktu berlomba lantaran kurang pemanasan. Ceritanya: semula pertandingan di rencanakan pukul 14.00. Tapi oleh panitia diajukan 30 menit lebih cepat. Akibatnya, dia dan Jerry, sekalipun sudah tiba pukul 12.00 kurang waktu untuk menyiapkan diri. Ya, sudah. Di New Delhi: tim renang Indonesia meraih lima perunggu--tiga di antaranya dari nomor estafet. Lain pula cerita tinju. Siregar melihat kelemahan sistem latihan yang kurang keras. "Kami memang kekurangan kawan berlatih yang seimbang," kata petinju Lodewyk Akwan. Tak hanya itu yang disesalkannya: petinju pelatnas Asian Games IX juga tidak diperbolehkan naik ring dalam kejuaraan nasional tinju di Semarang, Oktober. Pendapat ini ditopang oleh tiga anggota tim lainnya: Adhi Swandana, Herry Maitimu, dan Charles Yerisitouw. Kelemahan atlet tinju nasional tampak tak hanya terletak pada soal pengalaman bertanding. Juga, menurut beberapa tokoh tinju, disebabkan rendahnya kemampuan otak mereka membaca gerak lawan. Berbeda sekali dengan angkatan Syamsul Anwar maupun Ferry Moniaga -- keduanya alumni ASMI. "Lantaran dipukuli terus makanya IQ mereka jadi rendah," guyon Siregar. Dari ring tinju Indonesia tak kebagian apa-apa. Tim panahan, yang dalam seleksi sempat memecahkan rekor Asian Games, juga pulang tanpa medali emas. Soeprajogi semula berharap dua prestasi Asia bisa disabet oleh Arjuna dan Srikandi Indonesia. Apa pasal? "Atlet kita labil," kata pemanah Tatang Ferry Budiman. Ia menambahkan ada kala prestasi mereka tinggi sekali, tiba-tiba bisa pula anjlok. Tentang penyebabnya adalah kurangnya kesempatan bertanding di gelanggang internasional. "Waktu di New Delhi begitu mau bertanding saya sudah grogi duluan melihat musuh yang hebat-hebat," pengakuan Nurfitriyana yang lolos kualifikasi dengan memperbaiki rekor Asian Games. Akibatnya: konsentrasinya buyar. Di New Delhi, Nurfitriyana cuma menduduki urutan kesebelas, dan angka tembakan yang diperolehnya melampaui rekor nasional pun tidak. Ia berharap bisa menebus kegagalan itu dalam Asian Games X di Seoul, 1986. Atlet balap sepeda, juga diharapkan menyumbang medali emas, gagal pula. Menurut pembalap andalan Sutiyono: persiapan untuk Asian Games IX dengan 6 bulan di pelatnas sama sekali tidak memadai. Menjelang turun dalam Asian Games di Bangkok, katanya, tim dipersiapkan dengan latihan teratur selama tiga tahun. Selain itu arena lomba yang datar di New Delhi, menurut Sutiyono, juga kurang menguntungkan tim Indonesia yang dikenal hebat di tanjakan. Sisanya Sutiyono menyerahkan kepada nasib. Sebab secara teknis, kecuali nomor velodrom, pembalap Indonesia setara dengan lawan -- termasuk RRC dan Jepang. Bertolak dari kenyataan pahit di New Delhi, Gatot Suwagio, yang juga Kenla Bidang Pembinaan KONI Pusat, menekankan pentingnya pembinaan yang kontinyu dan ilmiah. "Kita harus sadar bahwa atlet kita banyak yang sudah mulai berumur. Untuk itu peremajaan harus segera dilakukan," katanya. Pernyataan ini sebetulnya sudah berulang kali diutarakan Gatot Suwagi(l. Cuma hasilnya, seperti yang lalu juga, tak pernah kelihatan. Tak tahu di mana letak salahnya. Jadi, harap maklum jika dalam Asian Games X di Seoul, 1986 kontingen Indonesia bakal pulang dengan wajah kuyu lagi. Entah kalau di tingkat pimpinan KONI Pusat juga segera dilakukan peremajaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus