HONTINGEN Asian Games Indonesia yang pulang dari New Delhi
disambut bagaikan serdadu kalah perang. Tak ada elu-eluan untuk
mereka-satu-satunya kalungan bunga cuma buat Chef de Mission
Gatot Soewagio. "Tidak dilempari telur busuk saja sudah untung,"
komentar seorang atlet.
Rombongan olahragawan nasional itu, yang mendarat di bandar
udara Halim Perdanakusumah, Jakarta, pekan lampau, cuma berhasil
meraih 4 medali emas, 4 perak, dan 7 perunggu--separuh dan yang
diboyong dalam Asian Games di Bangkok, 1978.
Sekjen KONI Pusat M.F. Siregar tidak menyalahkan siapa-siapa.
Tcntang melorotnya perolehan medali, katanya, karena persaingan
makin ketat. "Tapi dalam misi kita naik," ucap Siregar. Ia
menambahkan sekarang Indonesia menempati urutan keenam di antara
33 negara--sebelumnya urutan ketujuh dari 28 kontingen.
Sesuai target? Jika dilihat dari sudut pengatrolan urutan betul.
Tapi bila ditinjau dari perolehan medali gagal. Sebelum bertolak
ke New Delhi, Ketua Harian KONI Pusat D. Soeprajogi optimistis
Indonesia bakal meraih minimal 11 medali emas. "Perhitungan itu
sudah dipotong 25%," katanya sehari setelah Kontingen Indonesia
lepas landas menuju India, pertengahan November. Perkiraan kasar
yang diangkat Soeprajogi berdasarkan laporan kemajuan dari
pembina cabang olahraga inti tercatat sekitar 15 medali emas
sanggup disabet.
Cabang olahraga yang semula diperkirakan bakal menjadi tambang
emas bagi Indonesia dan sempat disebut sebagai dianak-emaskan,
adalah bulutangkis, tenis, angkat besi, renang, panahan, tinju,
dan balap sepeda. Peluang Indonesia dalam tujuh mata lomba ini,
menurut Soeprajogi, 60 banding 40.
Perhitungan di kertas itu mulai berantakan begitu atlet
bertarung di gelanggang. Maman Suryaman, misalnya, yang
diandalkan merebut tempat utama di angkat besi, hanya mampu
menyabet perunggu. Pasalnya: sesampai di New Delhi, Maman harus
menurunkan berat badannya sebanyak 3 kg--waktu di pelatnas
bobotnya 55 kg. "Otomatis, bila berat badan diturunkan, kekuatan
akan berkurang," ujar pelatih Madek Kasman .
Tak cuma kelebihan berat badan yang jadi masalah. Setelah di New
Delhi ketahuan bahwa atlet angkat besi Indonesia ketinggalan
dalam banyak hal. Antara lain: usia dan sistem latihan.
Olahragawan RRC, Korea Selatan, dan Jepang yang memboyong banyak
medali emas di cabang ini setiap hari berlatih 3 kali sehari--1
kali lebih banyak dibanding atlet kita. Juga total angkatan.
Cerita Madek: untuk kelas di bawah 60 kg, umpamanya, rata-rata
seorang atlet dari tiga negara itu mengangkat beban 25 ton per
hari. Sedang Maman cuma berlatih sebatas 15 ton.
Angkat besi mendapat jatah 8 atlet-sebelum bertolak ke India
mereka sempat berlatih di tiga tempat: Lembang, Tawangmangu, dan
Gisting, Lampung.
Kontingen Indonesia menyabet medali emas pertama setelah tim
tenis, dimotori Justedjo Tarik, mengalahkan India dalam final
beregu putra. Tak heran: saat ini pemain kita memang terkuat di
Asia -- Indonesia adalah wakil Asia dalam pertandingan kelompok
16 Besar turnamen Piala Davis yang akan diselenggarakan di
Stockholm, Maret depan. Selang beberapa hari kemudian Justedj(l
menyumbangkan lagi 1 medali emas dari nomor perorangan.
Satu-satunya yang los dari target semula adalah akibat tidak
fit-nya Hadiman yang bermain ganda dengan Justedjo. "Kalau saja
Hadiman fit saya optimistis bisa menambah satu medali emas
lagi," kata Justedjo.
Untuk 2 medali emas itu tim tenis putra Indonesia, terdiri atas
Justedjo, Tintus Aribowo, Hadiman, dan Donald Waelan, berlatih
keras sekitar 5 bulan di bawah asuhan Bill Tym dari Amerika
Serikat--3 bulan di Alabama, AS, dan sisanya di Jakarta.
Tim tenis putri yang terdiri atas Sri Utaminingsih dan Suzana
Anggakusuma memang tidak diperhitungkan bisa mencapai tempat
terhormat--beregu maupun perorangan.
Pukulan "memalukan" dalam Asian Games IX di New Delhi di mata
pecandu olahraga adalah gagalnya tim bulutangkis putra dan putri
Indonesia menyabet 4 dari 7 medali emas yang diperebutkan di
nomor beregu maupun perorangan. Target ini disamakan dengan
prestasi di Bangkok, 1978. Tapi setelah di lapangan, Liem Swie
King dan Verawaty dan kawan-kawan cuma memboyong 2 medali
emas--dari ganda putra Icuk Sugiarto/Christian Hadinata dan
ganda campuran Christian Hadinata/Ivanna Lie (lihat:
Bulutangkis).
Kegagalan melewati prestasi Kristiono dalam kolam renang Asian
Games di Bangkok, menurut atlet Gerald Item, yang juga masih
ikut di New Delhi, karena peremajaan yang terlambat. "Pembina,
kurang bisa menggairahkan perenang-perenang muda sehingga yang
menonjol sedikit," kata Gerald (Jerry) Item. Akibatnya: prestasi
juga meningkat pelan. Waktu di Bangkok, Indonesia meraih satu
medali emas atas nama Kristiono .
Ekor keterlambatan dalam peremajaan, menurut Jerry,
mengakibatkan atlet yang ditampilkan terpaksa yang itu-itu
juga--seperti dia sendiri, Lukman Niode, John Item, dan
lain-lain. Ia lalu menyarankan untuk meniru sistem pembinaan di
Jepang. Jerry berkata: "Di Jepang tak ada lagi jurang pemisah
antara atlet senior dengan junior." Di New Delhi, menurut Jerry,
hanya dua perenang lagi yang merupakan sisa Asian Games 1978.
Tim renang Indonesia, terdiri enam putra dan lima putri, yang
sebagian besar sempat berlatih di San Diego, AS, yang lolos
kualifikasi Asian Games IX cuma regu estafet putra 4 x 100 m
gaya bebas. Motor tim adalah Jerry, Lukman, dan John Item.
Kesalahan lain yang membuat tim renang Indonesia kehilangan
emas, menurut Lukman, adalah perubahan jam dari panitia. Ia yang
optimistis bisa merebut medali emas nomor 200 m gaya bebas,
kehilangan konsentrasi waktu berlomba lantaran kurang pemanasan.
Ceritanya: semula pertandingan di rencanakan pukul 14.00. Tapi
oleh panitia diajukan 30 menit lebih cepat. Akibatnya, dia dan
Jerry, sekalipun sudah tiba pukul 12.00 kurang waktu untuk
menyiapkan diri. Ya, sudah.
Di New Delhi: tim renang Indonesia meraih lima perunggu--tiga di
antaranya dari nomor estafet.
Lain pula cerita tinju. Siregar melihat kelemahan sistem latihan
yang kurang keras. "Kami memang kekurangan kawan berlatih yang
seimbang," kata petinju Lodewyk Akwan. Tak hanya itu yang
disesalkannya: petinju pelatnas Asian Games IX juga tidak
diperbolehkan naik ring dalam kejuaraan nasional tinju di
Semarang, Oktober. Pendapat ini ditopang oleh tiga anggota tim
lainnya: Adhi Swandana, Herry Maitimu, dan Charles Yerisitouw.
Kelemahan atlet tinju nasional tampak tak hanya terletak pada
soal pengalaman bertanding. Juga, menurut beberapa tokoh tinju,
disebabkan rendahnya kemampuan otak mereka membaca gerak lawan.
Berbeda sekali dengan angkatan Syamsul Anwar maupun Ferry
Moniaga -- keduanya alumni ASMI. "Lantaran dipukuli terus
makanya IQ mereka jadi rendah," guyon Siregar. Dari ring tinju
Indonesia tak kebagian apa-apa.
Tim panahan, yang dalam seleksi sempat memecahkan rekor Asian
Games, juga pulang tanpa medali emas. Soeprajogi semula berharap
dua prestasi Asia bisa disabet oleh Arjuna dan Srikandi
Indonesia. Apa pasal? "Atlet kita labil," kata pemanah Tatang
Ferry Budiman. Ia menambahkan ada kala prestasi mereka tinggi
sekali, tiba-tiba bisa pula anjlok. Tentang penyebabnya adalah
kurangnya kesempatan bertanding di gelanggang internasional.
"Waktu di New Delhi begitu mau bertanding saya sudah grogi
duluan melihat musuh yang hebat-hebat," pengakuan Nurfitriyana
yang lolos kualifikasi dengan memperbaiki rekor Asian Games.
Akibatnya: konsentrasinya buyar. Di New Delhi, Nurfitriyana cuma
menduduki urutan kesebelas, dan angka tembakan yang diperolehnya
melampaui rekor nasional pun tidak. Ia berharap bisa menebus
kegagalan itu dalam Asian Games X di Seoul, 1986.
Atlet balap sepeda, juga diharapkan menyumbang medali emas,
gagal pula. Menurut pembalap andalan Sutiyono: persiapan untuk
Asian Games IX dengan 6 bulan di pelatnas sama sekali tidak
memadai. Menjelang turun dalam Asian Games di Bangkok, katanya,
tim dipersiapkan dengan latihan teratur selama tiga tahun.
Selain itu arena lomba yang datar di New Delhi, menurut
Sutiyono, juga kurang menguntungkan tim Indonesia yang dikenal
hebat di tanjakan. Sisanya Sutiyono menyerahkan kepada nasib.
Sebab secara teknis, kecuali nomor velodrom, pembalap Indonesia
setara dengan lawan -- termasuk RRC dan Jepang.
Bertolak dari kenyataan pahit di New Delhi, Gatot Suwagio, yang
juga Kenla Bidang Pembinaan KONI Pusat, menekankan pentingnya
pembinaan yang kontinyu dan ilmiah. "Kita harus sadar bahwa
atlet kita banyak yang sudah mulai berumur. Untuk itu peremajaan
harus segera dilakukan," katanya.
Pernyataan ini sebetulnya sudah berulang kali diutarakan Gatot
Suwagi(l. Cuma hasilnya, seperti yang lalu juga, tak pernah
kelihatan. Tak tahu di mana letak salahnya. Jadi, harap maklum
jika dalam Asian Games X di Seoul, 1986 kontingen Indonesia
bakal pulang dengan wajah kuyu lagi. Entah kalau di tingkat
pimpinan KONI Pusat juga segera dilakukan peremajaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini