MAJELIS Hakim yang diketuai L.J. Ferdinandus dari Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dalam perkara pembunuhan terhadap Yulie
Yasin, pada sidang Sabtu pekan lalu, menetapkan bahwa sidang
atas terdakwa Haji Fauzi, "dibuka kembali." Padahal semua saksi
sudah selesai diperiksa. Dan Jaksa J.R. Bangun sudah pula
membacakan tuntutan. Sedang pembela Yan Apul telah membacakan
pembelaannya.
Dalam penetapannya, Majelis Hakim memerintahkan agar jaksa
memanggil wartawan yang katanya memergoki Fauzi "ternyata
seperti orang normal": bisa mengejar bis, memberikan tempat
duduknya kepada wanita dan menawar bajaj .
Padahal selama persidangan berlangsung, Fauzi bertingkah aneh:
tidur-tiduran di bangku ruang sidang, bahkan di lantai, sembari
terus memegangi kepalanya dan selalu dipapah petugas karena
seperti tak mampu berdiri. Dan antara lain karena itulah pada
persidangan sebelumnya jaksa mencabut tuntutannya dan minta agar
tertuduh dibebaskan. Berpura-purakah Fauzi?
Menurut visum dokter Letkol C.D.I Djoko Soemartedjo dari RSPAD,
berdasarkan observasi selama sekitar dua bulan, terdakwa utama
dalam kasus pembunuhan peragawati itu menderita sindroma otak
organik, akibat kecelakaan lalu lintas yang dialaminya tahun
1971. Penderita ini, kata Djoko di muka sidang
Pengadilan,"sangat diragukan dapat bertanggung jawab apabila ia
melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum." Kesimpulan
dokter Djoko yang menjabat Kepala Departemen Jiwa RSPAD Gatot
Soebroto, Jakarta, itu memperkuat surat keterangan dokter
Dengara Pane dari Rumah Sakit Jiwa Grogol, yang Juni lalu
melakukan observasi sekitar dua minggu atas diri Fauzi, 56
tahun.
Penderita sindroma otak organik, menurut Djoko, secara umum
kehilangan sikap abstrak: tak mampu bila dihadapkan pada situasi
yang membutuhkan abstraksi seperti merencanakan sesuatu. Ia juga
akan terganggu menghadapi situasi yang berubah-ubah. Tapi, kata
Djoko, "bila menghadapi pekerjaan rutin seperti merokok, mencuci
atau pembicaraan ringan, penderita penyakit ini kelihatan
seperti orang normal."
Gejala pada penderita yaitu: sering sakit kepala berlebihan,
napas cepat, nadi tak teratur dan bila berjalan merasa goyang.
Ia bisa agresif bila tak dapat menguasai situasi. Namun, "hal
itu tidak dilakukannya secara sadar." Tambah Djoko lagi:
penderita sindroma otak organik tak bisa disembuhkan. Obat hanya
berfungsi agar keadaannya tidak bertambah parah.
Jaksa J.R. Bangun dalam sidang dua pekan lalu, rupanya yakin
akan penyakit tertuduh. Bangun sendiri memang percaya terdakwa
bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana, seperti
diatur pasal 340 jo pasal 55 (1) KUHPidana. Tapi karena
keadaannya, kepada Fauzi tak bisa dimintakan tanggung jawab atas
perbuatan itu.
"Saya berpegang kepada visum dokter Djoko dan keterangan dokter
Dengara Pane, yang menjadi saksi ahli dalam sidang," kata Bangun
kepada TEMPO.
Ia merasa tak punya alasan untuk meragukan keterangan saksi ahli
itu, bab visum yang dibuat Djoko merupakan hasil "godokan"
lima orang ahli di RSPAD. Dan di Rumah Sakit Jiwa Grogol,
terdakwa diobservasi tujuh ahli empat psikiater, dua psikolog
dan seorang neurolog. "Kalau sudah 12 ahli yang memeriksa,
mengapa saya tidak percaya?" kata Bangun lagi.
Tuntutan bebas dari jaksa, membuat pembela Yan Apul senang,
tentu saja. Apalagi karena ia yakin, kliennya "betul-betul tidak
waras." Pernah, katanya, Fauzi mengeluh pusing. Yan memberi Rp
10 ribu untuk berobat ke dokter.
Ketika Fauzi balik lagi, pembela itu meminta perincian uang yang
ia berikan. Fauzi pun menjawab: yang Rp 5 ribu untuk berobat dan
yang Rp 7 ribu untuk makan-makan. Padahal ia tak punya uang lain
selain pemberian yang Rp 10 ribu itu.
Tapi tingkat kesadaran Haji Fauzi sebenarnya cukup baik,
seperti tertera dalam visum Djoko yang diserahkan kepada
pengadilan. Asalkan, ia tidak dahulu keadaan tegang atau stress.
Dengan Julisar Kasiri dari TEMPO, misalnya, pekan lalu ia bisa
berdialog lancar. Mengenakan baju dan celana sedikit lusuh dan
rambut acak-acakan seperti biasanya Fauzi menyatakan kangen
terhadap enam anaknya yang tinggal di Surabaya.
ANAK sulungnya, katanya, kini kelas III SMA. Ada lagi yang di
SMP, sedang yang bungsu "murid SD kelas nol." Ia mengeluh
susah tidur malam hari, sering pusing kepala dan kakinya seperti
mau lumpuh. Bila sembahyang, ia mengaku melakukannya sambil
duduk dan mengganjal tempat sujudnya dengan bantal. Ditanya,
mengapa ia selalu tengadah? Jawabnya: "rasanya daging di kepala
mau jatuh saja." Dalam operasi setelah mengalami kecelakaan
tahun 1971 dulu, kepala bagian kanan Fauzi memang "ditambal"
dengan daging yang diambil dari pahanya sendiri. "Semua ini
cobaan Tuhan sejak kecelakaan dulu itu," katanya tanpa ekspresi,
scmbari menyipitkan mata seperti orang mengantuk .
Ketetapan Majelis Hakim agar sidang "dibuka kembali", bila nanti
ternyata ditemukan bukti baru, bisa membuat Jaksa Bangun
mengubah tuntutannya atas Haji Fauzi.
Yan Apul sendiri menyambut baik penetapan Majelis Hakim itu,
"demi kebenaran." Dan penetapan itu, sekaligus juga membuat Biru
dan Marjumin dua terdakwa lain dalam kasus ini, mesti sedikit
bersabar. Kedua terdakwa ini dituntut masing-masing 10 tahun
penjara oleh jaksa. Tapi Majelis Hakim yang juga diketuai
Ferdinandus menyatakan akan membacakan vonis keduanya bersamaan
dengan vonis atas Haji Fauzi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini