Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mereka Bicara Tentang Kekalahan

Beberapa tokoh bulu tangkis Tan Joe Hok, Eddy Yusuf, Ferry Sonneville, bicara soal perbulutangkisan di Indonesia yang sedang merosot, dan masalah pembinaan. (or)

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERBULUTANGKISAN Indonesia sedang menurun. Bukan saja karena tubuh PBSI belum beres. Tapi juga, lebih-lebih karena sistem pembinaan para pemain belum semestinya. Akibatnya belakangan ini berbagai kekalahan diderita tim Indonesia--terakhir di AG IX. Karena itulah, misalnya Tan Joe Hok, juara All England 1959, dengan suara cukup keras meminta "agar kita menentukan dulu satu pegangan, yaitu standar perbuluungkisan." Artinya tambah Joe Hok, ditentukan dulu apa itu pemain nasional, apa itu pembinaan, misalnya. Kalau itu sudah ada dan dicantumkan dalam program kerja dan dilaksanskan, akan mudah diketahui letak kesalahan "seandainya kita mengalami kegagalan." Menurut bekas juara itu, "dalam kemunduran perbulutangkisan kita sekarang, jangan salahkan pemain, sebab mereka sudah berusaha semaksimal mungkin." Yang salah, tambahnya, adalah manajemen PBSI sendiri. "Mengapa, misalnya, masih ada pengurus yang merangkap pelatih--siapa yang menoreksi pelatih serupa itu?" tanya Joe Hok. Sistem pembinaan pun dinilai Joe Hok belum menguntungkan cabang olahraga ini. "Serba mengambang sehingga para pemain hanya kumpul kalau ada TC," ucapnya. Di pihak lain pengurus PBSI disarankan Tan Joe Hok agar tegas dalam sistem pembinaan para pemain. Kalau pemerintah auu masyarakat tidak mau membantu, PBSI mestinya juga tegas mengaukan "jangan menuntut para pemain akan berprestasi yang muluk-muluk." Untuk mencari bibit-bibit pemain, menurut bekas juara yang kini jadi pengusaha itu, pengurus PBSI jangan hanya melihat mereka yang muncul di Senayan saja. Harus terjun ke daerah-daerah, kata Joe Hok, dan mengadakan kompetisi antarklub sesering mungkin. Selain itu pengurus PBSI juga harus memberi wewenang kepada pelatih untuk mencari pembantu-pembantunya. Sebab, tambah Eddy Yusuf, anggota tim Piala Thomas 1958, pembinaan pemain tak bisa kalau hanya dipegang satu orang pelatih. Dengan banyak pelatih, menurut Eddy, akan ada perbandingan hasil penanganan di antara beberapa pelatih. Tahir Djide "sekarang perlu dibantu pelatih lain." Begitu juga Rudy Hartono, "perlu didampingi empat sampai lima orang." Bagi Eddy Yusuf, Tahir Djide sekarang mungkin hanya untuk melatih pemain-pemain muda berbakat, sedang pemain nasional yang sudah ada, serahkan saja kepada pelatih lain. Eddy Yusuf tak mau hanya mengandalkan King, Icuk atau Edi Kumiawan, sebab "prestasi kita akan begitubegitu saja." (lihat juga box). Dia lebih banyak berharap pada pemain-pemain muda. Dalam sejarah juarajuara dunia, tambah Eddy, "kalau seorang juara sudah kawin, prestasinya pasti menurun --begitu juga King." Pemain yang sudah berkeluarga akan menurun daya duga dan antisipasinya, sebaik apa pun latihan yang diberikan kepadanya. Sistem latihan dan pembinaan pun diminta Eddy agar lebih konsisten -satu cara yang ia nilai menyebabkan perbulutangkisan di RRC semakin maju. "Pemusatan latihan pun jangan hanya di satu tempat seperti selama ini kalau perlu tiga atau empat tempat," tambah Eddy. Tapi semua itu, katanya, tergantung pada manajemen PBSI sendiri. "Kalau manajemen organisasi cukup baik, saya yakin PBSI mampu meningkatkan perbulutangkisan kita yang kini semakin memudar," tutur Eddy pula tanpa menjelaskan kekurangan dan bagaimana sebaiknya manajemen PBSI. Eddy juga menilai pemain putri Indonesia sekarang sudah tertinggal tiga thgkat di bawah RRC dan satu tingkat di bawah Korea Selatan. Potensi pemain putri cukup ada, menurut salah seorang penasihat PBSI itu, tapi pengurus PBSI kurang memperhatikan pemain-pemain berbakat di daerah. Ketua Umum PB$1, Ferry Sonneville, lebih banyak melihat kelemahan pemain-pemain bulutangkis Indonesia akhir-akhir ini sebagai kesalahan para pemain sendiri. Karena kegagalan di AG IX ia sudah bertekad mengambil tindakan. "Kartono, sorr, harus diberhentikan sebagai pemain. Pasangannya, Heryanto, harus bermain dengan orang lain," ungkap Ferry. Kesalahan Kartono menurut Ketua Umum PBSI itu, cukup fatal: sebagai pemain ganda yang main di belakang, seharusnya dia mempunyai fisik lebih baik--ternyata sebaliknya. Ketika pasangan ini sudah mcmimpin 13-3 atas pemain RRC, ternata bisa tersusul lawan karena fisik Kartono sudah loyo--dan kalah. PADAHAL, tambah Ferry, pembinaan para pemain, terutama pria, sudah cukup baik. "Hanya Kartono ang kurang bisa menjaga kekuatan fisiknya," katanya pula. Tapi Liem Swie King yang kalah dua kali dalam single di AG IX, dinilai Herry hanya melakukan kesalahan taktis memberi kesempatan lawannya berlnain panjang, satu cara yang merupakan kelemahannya dan sebaliknya kekuatan lawan. Ketua Umun PBSI itu berjanji akan banyak bicara dengan Kin dari hati ke hati--tak dijelaskan soal apa. Tapi Ferry membantah kemerosotan permainan King karena kesibukan pemain itu di dunia bisnis. "King sudah mulai memikirkan keluarga, jadi ada tanggung jawab ganda," ucap Ferry. Tapi Rudy Hartono, tambahnya kemudian, termasuk orang yang bisa membagi tanJgung jawab ganda itu. Janl Ketua Umum PBSI itu yang lain adalah niat organisasinya untuk menampilkan pemain-pemain muda, misalnya dalam SEA Games di Singapura Mei tahun depan. Katanya juga, tim pelatih pun akan dirombak. Misalnya Rudy Hartono khusus sebagai pelatih teknik perseorangan, sedangkan Christian Hadinata khusus untuk teknik ganda. Soal kapasitas latihan, rupanya dilihat Ketua Komisi Teknik PBSI, Willy Budiman, sebagai penyebab utama kekalahan tim Indonesia belakangan ini. "Kalau dulu hanya ada latihan pagi dan sore atau malam, sekarang perhl ditambah latihan siang," ungkap Will. Tapi buru-buru ia juga menambahkan, kelemahan pemain Indonesia juga karena kurang berdisiplin. "Padahal, kurang apa mereka itu -- apa saa dicukupi. Berapa ratus juta uang keluar untuk mereka--tak berbekas," tambah Willy dengan sedikit geram tanpa memberikan contoh pemain yang melanggar disiplin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus