PERBULUTANGKISAN Indonesia sedang menurun. Bukan saja karena
tubuh PBSI belum beres. Tapi juga, lebih-lebih karena sistem
pembinaan para pemain belum semestinya. Akibatnya belakangan ini
berbagai kekalahan diderita tim Indonesia--terakhir di AG IX.
Karena itulah, misalnya Tan Joe Hok, juara All England 1959,
dengan suara cukup keras meminta "agar kita menentukan dulu satu
pegangan, yaitu standar perbuluungkisan." Artinya tambah Joe
Hok, ditentukan dulu apa itu pemain nasional, apa itu pembinaan,
misalnya. Kalau itu sudah ada dan dicantumkan dalam program
kerja dan dilaksanskan, akan mudah diketahui letak kesalahan
"seandainya kita mengalami kegagalan."
Menurut bekas juara itu, "dalam kemunduran perbulutangkisan kita
sekarang, jangan salahkan pemain, sebab mereka sudah berusaha
semaksimal mungkin." Yang salah, tambahnya, adalah manajemen
PBSI sendiri. "Mengapa, misalnya, masih ada pengurus yang
merangkap pelatih--siapa yang menoreksi pelatih serupa itu?"
tanya Joe Hok.
Sistem pembinaan pun dinilai Joe Hok belum menguntungkan cabang
olahraga ini. "Serba mengambang sehingga para pemain hanya
kumpul kalau ada TC," ucapnya. Di pihak lain pengurus PBSI
disarankan Tan Joe Hok agar tegas dalam sistem pembinaan para
pemain. Kalau pemerintah auu masyarakat tidak mau membantu, PBSI
mestinya juga tegas mengaukan "jangan menuntut para pemain akan
berprestasi yang muluk-muluk."
Untuk mencari bibit-bibit pemain, menurut bekas juara yang kini
jadi pengusaha itu, pengurus PBSI jangan hanya melihat mereka
yang muncul di Senayan saja. Harus terjun ke daerah-daerah, kata
Joe Hok, dan mengadakan kompetisi antarklub sesering mungkin.
Selain itu pengurus PBSI juga harus memberi wewenang kepada
pelatih untuk mencari pembantu-pembantunya. Sebab, tambah Eddy
Yusuf, anggota tim Piala Thomas 1958, pembinaan pemain tak bisa
kalau hanya dipegang satu orang pelatih. Dengan banyak pelatih,
menurut Eddy, akan ada perbandingan hasil penanganan di antara
beberapa pelatih. Tahir Djide "sekarang perlu dibantu pelatih
lain." Begitu juga Rudy Hartono, "perlu didampingi empat sampai
lima orang." Bagi Eddy Yusuf, Tahir Djide sekarang mungkin hanya
untuk melatih pemain-pemain muda berbakat, sedang pemain
nasional yang sudah ada, serahkan saja kepada pelatih lain.
Eddy Yusuf tak mau hanya mengandalkan King, Icuk atau Edi
Kumiawan, sebab "prestasi kita akan begitubegitu saja." (lihat
juga box). Dia lebih banyak berharap pada pemain-pemain muda.
Dalam sejarah juarajuara dunia, tambah Eddy, "kalau seorang
juara sudah kawin, prestasinya pasti menurun --begitu juga
King." Pemain yang sudah berkeluarga akan menurun daya duga dan
antisipasinya, sebaik apa pun latihan yang diberikan kepadanya.
Sistem latihan dan pembinaan pun diminta Eddy agar lebih
konsisten -satu cara yang ia nilai menyebabkan perbulutangkisan
di RRC semakin maju. "Pemusatan latihan pun jangan hanya di satu
tempat seperti selama ini kalau perlu tiga atau empat tempat,"
tambah Eddy. Tapi semua itu, katanya, tergantung pada manajemen
PBSI sendiri. "Kalau manajemen organisasi cukup baik, saya yakin
PBSI mampu meningkatkan perbulutangkisan kita yang kini semakin
memudar," tutur Eddy pula tanpa menjelaskan kekurangan dan
bagaimana sebaiknya manajemen PBSI.
Eddy juga menilai pemain putri Indonesia sekarang sudah
tertinggal tiga thgkat di bawah RRC dan satu tingkat di bawah
Korea Selatan. Potensi pemain putri cukup ada, menurut salah
seorang penasihat PBSI itu, tapi pengurus PBSI kurang
memperhatikan pemain-pemain berbakat di daerah.
Ketua Umum PB$1, Ferry Sonneville, lebih banyak melihat
kelemahan pemain-pemain bulutangkis Indonesia akhir-akhir ini
sebagai kesalahan para pemain sendiri. Karena kegagalan di AG IX
ia sudah bertekad mengambil tindakan. "Kartono, sorr, harus
diberhentikan sebagai pemain. Pasangannya, Heryanto, harus
bermain dengan orang lain," ungkap Ferry. Kesalahan Kartono
menurut Ketua Umum PBSI itu, cukup fatal: sebagai pemain ganda
yang main di belakang, seharusnya dia mempunyai fisik lebih
baik--ternyata sebaliknya. Ketika pasangan ini sudah mcmimpin
13-3 atas pemain RRC, ternata bisa tersusul lawan karena fisik
Kartono sudah loyo--dan kalah.
PADAHAL, tambah Ferry, pembinaan para pemain, terutama pria,
sudah cukup baik. "Hanya Kartono ang kurang bisa menjaga
kekuatan fisiknya," katanya pula.
Tapi Liem Swie King yang kalah dua kali dalam single di AG IX,
dinilai Herry hanya melakukan kesalahan taktis memberi
kesempatan lawannya berlnain panjang, satu cara yang merupakan
kelemahannya dan sebaliknya kekuatan lawan. Ketua Umun PBSI itu
berjanji akan banyak bicara dengan Kin dari hati ke hati--tak
dijelaskan soal apa.
Tapi Ferry membantah kemerosotan permainan King karena kesibukan
pemain itu di dunia bisnis. "King sudah mulai memikirkan
keluarga, jadi ada tanggung jawab ganda," ucap Ferry. Tapi Rudy
Hartono, tambahnya kemudian, termasuk orang yang bisa membagi
tanJgung jawab ganda itu.
Janl Ketua Umum PBSI itu yang lain adalah niat organisasinya
untuk menampilkan pemain-pemain muda, misalnya dalam SEA Games
di Singapura Mei tahun depan. Katanya juga, tim pelatih pun akan
dirombak. Misalnya Rudy Hartono khusus sebagai pelatih teknik
perseorangan, sedangkan Christian Hadinata khusus untuk teknik
ganda.
Soal kapasitas latihan, rupanya dilihat Ketua Komisi Teknik
PBSI, Willy Budiman, sebagai penyebab utama kekalahan tim
Indonesia belakangan ini. "Kalau dulu hanya ada latihan pagi dan
sore atau malam, sekarang perhl ditambah latihan siang," ungkap
Will. Tapi buru-buru ia juga menambahkan, kelemahan pemain
Indonesia juga karena kurang berdisiplin. "Padahal, kurang apa
mereka itu -- apa saa dicukupi. Berapa ratus juta uang keluar
untuk mereka--tak berbekas," tambah Willy dengan sedikit geram
tanpa memberikan contoh pemain yang melanggar disiplin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini