18 pemain yang semula dipanggil masuk TC PSSI ke President's Cup
memang pas-pasan. Dengan kata lain mereka hampir dipastikan akan
diberangkatkan semua. Namun ketua Komtek PSSI, Suparjo, bukan
tidak tahu bahwa dengan jumlah yang minimal itu, semangat
berkompetisi di antara para pemain dalam masa penggemblengan di
TC bisa turun. Maka dalam konperensi pers dengan para
wartawanolahraga pekan lalu, ia menyebutkan ke-5 pemain
tambahan: Rake (penjaga gawang), Sofyan Hadi (gelandang), Abdul
Kadir, Suwendi dan Irawan Sukrna (penyerang).
Kendorkan Syaraf. Sudah barang tentu penambahan pemain itu
mengendorkan syaraf Suwardi Arland dan Bakir Cordey,
masing-masing sebagai coach dan asisten coach calon team PSSI ke
Seoul. Sementara bagai para pemain yang di-TC-kan di asrama
Wisma Krida di samping kantor Yayasan Gelora Senayan, boleh
berfikir-fikir dua kali sebelum mereka menyatakan pasti dibawh.
Terutama di bawah pimpinan Team Manager Djoko Sutopo yang
sehari-hari lebih dikenal sebagai letkol CPM yang gandrung pada
disiplin.
Faktor mental dan disiplin ini -- meski TC tidak lagi di
kompleks Halim Perdanakusumah -- diingatkan sekali lagi dalam
konperensi pekan lalu itu. Suparjo yang berseragam kolonel AURl
berkata: "Pemain nasional bukan pemain kampungan, kepentingan
nasional harus diutamakan di atas segalanya". Kepada siapa
pernyataan itu khusus ditujukan tidak sulit diterka. Karena
sembari melepas pandangan kepada Widodo yang turut hadir bersama
sebagian besar pemain TC, Suparjo berkata lagi: "Widodo sebagai
percobaan. Selama ini ia telah memperlihatkan banyak perubahan".
Kehadiran sebagian besar pemain TC dan para pengasuhnya termasuk
dokter Suhantoro untuk berhadap-hadapan dengan para wartawan agaknya
memberikan kesan tersendiri. Terlebih lagi ketika seorang
wartawan langsung menghunjam Komtek PSSI ini dengan pertanyaan:
"apa sebabnya Suwendi dipanggil, tapi Risdianto tidak. Padahal
Risdianto jelas lebih baik bukan?"
Jawab Suparjo mudah diduga: di samping PSSI masih membutuhkan
waktu untuk merubah mental Risdianto, Komtek juga tidak berani
menanggung resiko dengan menambah beban kepada ara pengasuh
dengan persoalan-persoalan berat yang mungkin timbul selama TC.
Friksi. Tapi rupanya absennya Kls dianto dihibur oleh kehadiran
kelnbali Abdul Kadir yang pada Turnamen Aversary Cup 1973 yang
l.llu dicutikan sementara. Konon Team Manager Djoko Sutopo
pernah mengemukakan bahwa "dengan atau tanpa izin PSSI, saya
akan bawa Kadir ke Seoul". Tentu saja alasannya bahwa sebagai
ketua Persebaya ia lebih tahu akan kondisi kiri luar ini.
Begitulah jadinya: Kadir muncul kembali di tengah-tengah
rekannya.
Adakah Kadir, 24 tahun, mampu memulihkan kondisi pada masa
jayanya? Agaknya pertanyaan ini lebih patut dijawab- Kadir
sendiri. Kepada TEMPO Kadir meyakinkan bahwa "kini hidupnya
lebih terjamin dan ia tidak perlu memikirkan hal-hal yang
menyangkut pekerjaan dan hari depannya". Soalnya ia telah
diterima sebagai karyawan Warna Agung cabang Surabaya. Dan
ternyata "pimpinan Warna Agung justru membesarkan harapan saya
untuk bermain sebaik-baiknya bagi kesebelasan nasional". Kalau
begitu peristiwa pen -TC-an pemain PSSI ke Seoul memberikan
percikan harapan baru: khususnya hubungan antara induk
organisasi sepakbola ini dengan perusahaan yang berminat juga
dalam sepakbola. Rujuknya PSSI (Komtek) dengan Warna Agung patut
pula diberi tindak-lanjut untuk menumbuhkan tatakrama yang
berlaku bagi fihak-fihak yang bersangkutan tapi tentu saja tidak
merugikan atau menguntungkan sefihak saja. Dalam pembinaan
sepakbola nasional dewasa ini nampaknya sebelum PSSI sendiri
dapat memberi jaminan hidup yang layak bagi para pemain dan
pengasuhnya, "aturan permainan" tersendiri perlu dirumuskan,
agar friksi dengan instansi-instansi sponsor bisa dihindarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini