Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Latihan teknis teringat lagi

Kegagalan tim bulu tangkis Indonesia di All England membawa hikmah. bahwa latihan tehnis selama ini tidak memadai. kegagalan tim indonesia telah mengubah citra indonesia. (or)

10 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada lagi kalungan bunga untuk tim bulutangkis Indonesia. Di bandar udara Halim Perdanakusumah, 25 Maret sore, rombongan Liem Swie King yang tiba kembali dari All England disambut oleh segelintir teman dan keluarga mereka saja. Rudy Hartono satu-satunya pengurus Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) yang hadir di sana. Siapa mau peduli? Tim itu kalah. Dan inilah pertama kalinya, sejak 1968, tim bulutangkis Indonesia pulang dari All England tanpa memboyong satu pun gelar juara. Dan baginya, ini adalah pukulan ketiga -- sesudah turnamen bulutangkis di Swedia dan Denmark -- dalam tcmpo dua pekan. Kegagalan berantai itu telah mengubah citra Indonesia. Sekarang bukan lagi pemegang tunggal supremasi dunia. Indonesla tadinya memang paling unggul di lingkungan International Badminton Federation (IBF). Sebab-sebabnya, kata bekas pemain nasional Eddy Yusuf, latihan teknis telah diabaikan. "Mana ada di pelatnas sekarang pelatih khusus yang memberikan petunjuk kapan seorang pemain harus melakukan smash, dropshot, dan sebagainya." Ia menyarankan dalam masa persiapan satu bulan lagi menghadapi Piala Thomas, perimbangan porsi latihan teknis dan fisik harus diusahakan 75 banding 25. Dulu perhatian lebih diberikan pada latihan fisik. Sejak kalah melawan Malaysia (3-6) dalam Piala Thomas 1967, Indonesia memang mencoba pola permainan baru yang disebut: speed and power. Gaya ini mengandalkan kecepatan dan kekuatan. Sampai 1980 tak ada lawan yang berkutik dibuatnya. Tak heran bila latihan di pelatnas diutamakan untuk membentuk kekuatan fisik atlet. Pola permainan yang mengandalkan kecepatan dan kekuatan ini kemudian ditiru lawan. RRC dan Malaysia bahkan sudah menambahkannya dengan ketrampilan dan serve. Hampir semua pemain Indonesia terperangkap oleh pukulan pelintir pemain kedua negara tersebut. Kehebatan pukulan pelintir ini, menurut Ruth Damayanti, arah bola sukar ditebak. "Ditubruk, bola bisa melenceng atau menyangkut di jaring. Dipukul peIan bola melambung tanggung. Pokoknya serba salah, deh," katanya. Ruth dan Verawaty, pasangan ganda yang diandalkan, adalah satu-satunya finalis Indonesia di All England 1982, tapi dikalahkan oleh pasangan RRC Wu Dixi/Liu Ying 15-8 dan 15-5. Rudy Hartono, setelah ditunjuk menjadi ketua bidang pembinaan PBSI, memang melihat masalah teknis perlu dibenahi segera. "Resep saya adalah skll speed, and power," ujar Rudy 4 bulan lalu. Suksesnya selama ini, delapan kali juara All England, adalah berkat penggabungan ketiga unsur itu. Tiga pedoman pokok tersebut (ketrampilan, kecepatan, dan kekuatan), menjelang bertolak ke All England memang telah diterapkan. Tiap Senin, Rabu, dan Jumat, pukul 10.00 sampai 12. 30, para pemain dilatih mempermahir berbagai jenis pukulan. "Dulu latihan semacam ini tidak ada." kata pemain Christian Hadinata. Jadwal latihan di pelatnas yang lewat: Pagi hari (selama 90 menit) latihan fisik berupa lari, main tali, angkat berat, dan lainnya. Siang (selama 150 menit) latihan pukulan. Malam (selama 10 menit) latihan bertanding di lapangan. Mengenai latihan mempermahir pukulan, kata Christian, tidak sama untuk setiap pemain, "tergantung dari kekurangan mereka." Ia menambahkan, misalnya, bila seorang pemain kurang baik melakukan dropshot, ia akan dicecer terus untuk melaksanakan latihan itu. Mengapa masih gagal juga? Christian melihat tiga pedoman pokok pembinaan bdum sepenuhnya bisa diterapkan sesuai dengan kebutuhan. Terutama latihan pukulan. "Problem utamanya lapangan," kata. Christian. Di Gedung C Senayan, tepat latihan sehari-hari, cuma tersedia tiga lapangan untuk 25 pemain. Akibatnya, seorang pemain hanya bisa bertarung satu kali saja di malam hari. Bagi Liem Swie King latihan teknik yang diterapkan di pelatnas masih banyak kelemahannya. Tidak ada standar. Hingga sebagian terlihat mengembangkan bakat alamiah saja. Bisa dimaklumi: pelatih teknis terbatas sekali orangnya. Tak aneh bila Christian, di samping berlatih, juga sering bertindak sebagai pembina. Begitu pula Rudy. Eddy Yusuf punya resep untuk mengatasi kelemahan ini. Ia, dalam suratnya kepada Rudy, mengusulkan perlu spesialisasi dalam melatih. Untuk membenahi pemain tunggal seperti King, Lius Pongoh, Hadiyanto, Hastomo Arbi, Icuk Sugiarto, atau Dhany Sartika, ia mcnyarankan supaya disediakan orang .mg memang trampil di bidangnya. Juga begitu buat menangani pemain ganda. Siapa orangnya, Eddy tak mengusulkan nama. Menjelang Kejuaraan Bulutangkis Dunia 1980 di Jakarta, cara membina yang dimaui Eddy sudah dicoba. Hasilnya tak mengecewakan. Dari lima gelar yang diperebutkan hanya satu yang lolos ke tangan lawan - ganda putri. Tim pembina waktu itu terdiri atas Ferry Sonneville, Hendra Kartanegara (Tan Joe Hok), Pujianto, Eddy Yusuf, dan Stanley Gouw. Pelatih fisik Tahir Djide istirahat. Sesudah turnamen menempatkan Indonesia sebagaj regu paling tangguh di dunia, tim pembina gabungan pun bubar sampai sekarang tak pernah ketemu lagi. Waktu itu Ketua PBSI masih Sudirman. Penggantinya, Ferry Sonneville, sampai minggu lalu belum memperlihatkan tanda-tanda akan memakai lagi tim pembina gabungan. Kritik terhadap pelatnas tak hanya menyangkut soal teknis. Kebutuhan latihan para pemain, menurut Eddy Yusuf, belum dibedakan. Untuk seorang atlet seperti King, dosis latihannya tak berbeda dengan Lius Pongoh -- padahal usia dan tingkat ketrampilan mereka berlainan. Lius, yang sanggup lari keliling stadion utama Senayan sebanyak 40 putaran, waktu ketemu Prakash Padukone dari India di All England 1981 terseyot-seyot di lapangan - terutama di set kedua. Keunggulan teknik Prakash dalam menempatkan bola di garis belakang telah menguras habis energi Lius. "Jika mengandalkan kecepatan dan kekuatan saja anda akan habis," kata pemain legendaris Wong Peng Soon yang menetap di Singapura. Hendra Kartanegara juga punya keberatan terhadap pengagungan latihan fisik. Ia melihat latihan fisik yang diberikan selama ini hanya cocok untuk latihan masa libur -- tak ada kegiatan pertandingan. Tujuannya menjaga stamina pemain tetap terpelihara. "Bila sudah dekat turnamen latihan itu sudah tidak cocok lagi," kata Hendra. Efek yang ditimbulkan oleh latihan fisik seperti diterapkan akhir-akhir ini, menurut Hendra, membuat otot gampang berkontraksi. Ia memberi contoh kasus yang sering menimpa Icuk Sugiarto dan Hadiyanto. Kedua pemain ini sering kejang otot dalam pertandingan. "Untuk pemain bulutangkis, latihan fisik yang diperlukan adalah yang membentuk otot memanjang seperti kuda pacuan," ujar Hendra. Menurut dia, otor yang memanjang tidak mudah berkontraksi. Tahun 1960-an, ketika latihan fisik di pelatnas ditangani oleh almarhum Mohamad Irsan dari Sekolah Tinggi Olahraga, Bandung, sebetulnya sudah dipraktekkan latihan untuk membentuk otot ideal bagi pemain bulutangkis. Waktu itu Irsan bekerja sesuai dengan pembina teknis. Bila seorang pemain lemah dalam smash, misalnya, ia akan diberi beban khusus untuk memperkuat otot tangannya. Pelatih Olich Solihin, bekas pemain nasional, sewaktu ditugasi membina tim Piala Uber di Bandung, awal 1970-an, juga menerapkan metoda labhan serupa. Di pagi hari, umpamanya, selalu diselang-seling latihan lari dan latihan menguatkan otot tangan dengan mempergunakan raket tenis. Solihin waktu itu bekerja sama dengan Tahir Djide. Dekade terakhir, kecuali selama persiapan Kejuaraan Bulutangkis Dunia II, pelatnas praktis ditangani Tahir. Pelatih teknis khusus tak ada. Tak heran bila sering terdengar suara sumbang terhadap dirinya. Tahir seolah-olah jadi tokoh tunggal yang menentukan jalan dan sistem yang dipakai di pelatnas. "Untuk membina pelatnas diperlukan tim. Di samping Tahir dibutuhkan pula orang lain guna saling melengkapi," kata Hendra. Baginya, kerjasama di zaman Irsan mrupakan yang terbaik sampai sekarang. LATIHAN fisik yang dibutuhkan pemain sekarang, menurut Hendra, adalah latihan di lapangan. Sistemnya seperti penggunaan simulator bagi calon pilot. Pemain digenjot dengan gerakan fisik yang dirangkaikan dengan latihan teknis. Misalnya, seorang atlet disuruh melakukan gerakan smash saja selama 20 menit nonstop. Dosis dan kebutuhan tiap pemain dibedakan. Resep Hendra: pemain berusia lanjut digenjot dengan latihan berat dengan waktu lebih pendek. Sebaliknya bagi mereka yang muda. Dan bagi kelompok pemain tua diberikan istirahat lebih panjang sesuai dengan tempo yang diperlukan buat memulihkan kekuatan. Sedang waktu jedah untuk atlet muda lebih pendek. Untuk menghadapi Piala Thomas di London, pertengahan Mei, Rudy tampak akan meniru pola pembinaan yang diterapkan untuk Kejuaraan Bulutangkis Dunia 1980. Orang yang akan dipakai mungkin berbeda. Tim itu akan dibentuk pekan ini. Banyak mata dapat melihat banyak kelemahan pemain, demikian alasannya. Tentang prioritas latihan penekanan diberikannya pada pembenahan pukulan, akurasi, dan teknis permainan. Sedang latihan fisik tetap diberikan tapi dengan dosis rendah. Tjuntjun, yang merebut mahkota ganda All England enam kali bersama Johan Wahyudi, melihat masalah teknis yang mendesak untuk dipelajari adalah cara mengatasi serve pelintir. "Paling tidak untuk Piala Thomas nanti, kita sudah siap menghadapi permainan itu, " kata Tjuntjun yang gugur di ronde kedua All England terakhir ini gara-gara serve pelintir pasangan RRC Chen Tiang Lung/Chen Tiang Yu. Menurut Rudy, senjata "ampuh" pemain RRC dan Malaysia itu bukan hal yang menakutkan sekali. Baginya yang penting adalah mengembalikan pemain Indonesia ke bentuk permainan semula. Terutama King -- pemain yang menyerang. Hebat dalam teknik dan fisik saja ternyata tak cukup. Seorang pemain juga dituntut memiliki mental baja dan kematangan juara. Kekalahan King atas Misbun Sidek dalam SEA Games 1981 di Manila, misalnya, dika renakan faktor nonteknis tersebut. Di kertas maupun di lapangan King jauh lebih baik dari lawannya. Ayahnya, Witopo, mengakui bahwa mental putranya masih labil. Untuk itu Ferry Sonneville punya rencana mengundang para istri dan pacar pemain terpilih di pelatnas untuk bertukar pikiran. "Agar mereka juga memahami masalah yang dihadapi suami dan pacar masing-masing," kata Ferry. Kelabilan King cukup mencemaskan Cristian. Kedua pemain itu merupakan pasangan ganda terampuh di dunia. Pemain RRC, waktu dwilomba 1980, di Singapura, tak berkutik menghadapi mereka. King dan Christian disebut-sebut akan menjadi motor tim dalam meraih angka kemenangan. Di samping itu King tetap bermain tunggal. "Risikonya bukan tak ada. Kalau King menang di partai tunggal, pasti ia akan lebih ber semangat di partai ganda. Sebaliknyi bjla ia kalah. Bisa-bisa kita kehilangau empat angka -- dua di tunggal dan dua di ganda," kata Christian. Untuk Piala Thomas nanti, Chrisian cenderung memilih Lius Pongoh sebagai pasangan. Repotnya Lius masih belum sembuh betul dari cedera di oto punggung yang dideritanya sejak 1980. Di antara pemain Indonesia yang punya kelengkapan fisik, teknik, mental, dan kematangan juara agaknya baru Rudy Hartono. Ia pernah ketinggalan 14-1 dari Sture Johnson di All England, Tapi Rudy menyudahi pertandingan itu dengan kemenangan. Ia sudah mula mempersiapkan diri untuk mempertahankan Piala Thomas. Kalau terpilih Rudy akan menjadi pemain pertama i3 dunia yang memperkuat tim nasion enam kali berturut-turut. Masalah lemah dalam teknis, seperti disinyalir Eddy Yusuf dan Hendra Kartanegara, tak cuma merongrong pemain putra, tapi juga putri. Ivanna, yang turun di All England dalam kondisi puncak, tak sampai ke semifinal. "Saya aku pemain RRC jauh lebih baik dari kita,' kata Ivanna mengenai fisik, teknik, dan mental. Bekas pemain nasional Minarni melihat tim putri yang pergi All Englan kurang ditangani secara serius. Namu pola pembinaan menurut dia, sudah leih terarah dibandingkan dengan pelat nas zamannya di tahun 1960-an. Hanya dinilainya pemain putri sekarang tampak bermain cantik, tapi tidak efektif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus