TAK ada lagi kalungan bunga untuk tim bulutangkis Indonesia. Di
bandar udara Halim Perdanakusumah, 25 Maret sore, rombongan Liem
Swie King yang tiba kembali dari All England disambut oleh
segelintir teman dan keluarga mereka saja. Rudy Hartono
satu-satunya pengurus Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia
(PBSI) yang hadir di sana.
Siapa mau peduli? Tim itu kalah. Dan inilah pertama kalinya,
sejak 1968, tim bulutangkis Indonesia pulang dari All England
tanpa memboyong satu pun gelar juara. Dan baginya, ini adalah
pukulan ketiga -- sesudah turnamen bulutangkis di Swedia dan
Denmark -- dalam tcmpo dua pekan.
Kegagalan berantai itu telah mengubah citra Indonesia. Sekarang
bukan lagi pemegang tunggal supremasi dunia. Indonesla tadinya
memang paling unggul di lingkungan International Badminton
Federation (IBF).
Sebab-sebabnya, kata bekas pemain nasional Eddy Yusuf, latihan
teknis telah diabaikan. "Mana ada di pelatnas sekarang pelatih
khusus yang memberikan petunjuk kapan seorang pemain harus
melakukan smash, dropshot, dan sebagainya." Ia menyarankan dalam
masa persiapan satu bulan lagi menghadapi Piala Thomas,
perimbangan porsi latihan teknis dan fisik harus diusahakan 75
banding 25. Dulu perhatian lebih diberikan pada latihan fisik.
Sejak kalah melawan Malaysia (3-6) dalam Piala Thomas 1967,
Indonesia memang mencoba pola permainan baru yang disebut: speed
and power. Gaya ini mengandalkan kecepatan dan kekuatan. Sampai
1980 tak ada lawan yang berkutik dibuatnya. Tak heran bila
latihan di pelatnas diutamakan untuk membentuk kekuatan fisik
atlet.
Pola permainan yang mengandalkan kecepatan dan kekuatan ini
kemudian ditiru lawan. RRC dan Malaysia bahkan sudah
menambahkannya dengan ketrampilan dan serve. Hampir semua pemain
Indonesia terperangkap oleh pukulan pelintir pemain kedua negara
tersebut.
Kehebatan pukulan pelintir ini, menurut Ruth Damayanti, arah
bola sukar ditebak. "Ditubruk, bola bisa melenceng atau
menyangkut di jaring. Dipukul peIan bola melambung tanggung.
Pokoknya serba salah, deh," katanya. Ruth dan Verawaty, pasangan
ganda yang diandalkan, adalah satu-satunya finalis Indonesia di
All England 1982, tapi dikalahkan oleh pasangan RRC Wu Dixi/Liu
Ying 15-8 dan 15-5.
Rudy Hartono, setelah ditunjuk menjadi ketua bidang pembinaan
PBSI, memang melihat masalah teknis perlu dibenahi segera.
"Resep saya adalah skll speed, and power," ujar Rudy 4 bulan
lalu. Suksesnya selama ini, delapan kali juara All England,
adalah berkat penggabungan ketiga unsur itu.
Tiga pedoman pokok tersebut (ketrampilan, kecepatan, dan
kekuatan), menjelang bertolak ke All England memang telah
diterapkan. Tiap Senin, Rabu, dan Jumat, pukul 10.00 sampai 12.
30, para pemain dilatih mempermahir berbagai jenis pukulan.
"Dulu latihan semacam ini tidak ada." kata pemain Christian
Hadinata.
Jadwal latihan di pelatnas yang lewat: Pagi hari (selama 90
menit) latihan fisik berupa lari, main tali, angkat berat, dan
lainnya. Siang (selama 150 menit) latihan pukulan. Malam (selama
10 menit) latihan bertanding di lapangan.
Mengenai latihan mempermahir pukulan, kata Christian, tidak sama
untuk setiap pemain, "tergantung dari kekurangan mereka." Ia
menambahkan, misalnya, bila seorang pemain kurang baik
melakukan dropshot, ia akan dicecer terus untuk melaksanakan
latihan itu.
Mengapa masih gagal juga? Christian melihat tiga pedoman pokok
pembinaan bdum sepenuhnya bisa diterapkan sesuai dengan
kebutuhan. Terutama latihan pukulan. "Problem utamanya
lapangan," kata. Christian. Di Gedung C Senayan, tepat latihan
sehari-hari, cuma tersedia tiga lapangan untuk 25 pemain.
Akibatnya, seorang pemain hanya bisa bertarung satu kali saja di
malam hari.
Bagi Liem Swie King latihan teknik yang diterapkan di pelatnas
masih banyak kelemahannya. Tidak ada standar. Hingga sebagian
terlihat mengembangkan bakat alamiah saja. Bisa dimaklumi:
pelatih teknis terbatas sekali orangnya. Tak aneh bila
Christian, di samping berlatih, juga sering bertindak sebagai
pembina. Begitu pula Rudy.
Eddy Yusuf punya resep untuk mengatasi kelemahan ini. Ia, dalam
suratnya kepada Rudy, mengusulkan perlu spesialisasi dalam
melatih. Untuk membenahi pemain tunggal seperti King, Lius
Pongoh, Hadiyanto, Hastomo Arbi, Icuk Sugiarto, atau Dhany
Sartika, ia mcnyarankan supaya disediakan orang .mg memang
trampil di bidangnya. Juga begitu buat menangani pemain ganda.
Siapa orangnya, Eddy tak mengusulkan nama.
Menjelang Kejuaraan Bulutangkis Dunia 1980 di Jakarta, cara
membina yang dimaui Eddy sudah dicoba. Hasilnya tak
mengecewakan. Dari lima gelar yang diperebutkan hanya satu yang
lolos ke tangan lawan - ganda putri. Tim pembina waktu itu
terdiri atas Ferry Sonneville, Hendra Kartanegara (Tan Joe Hok),
Pujianto, Eddy Yusuf, dan Stanley Gouw. Pelatih fisik Tahir
Djide istirahat.
Sesudah turnamen menempatkan Indonesia sebagaj regu paling
tangguh di dunia, tim pembina gabungan pun bubar sampai sekarang
tak pernah ketemu lagi. Waktu itu Ketua PBSI masih Sudirman.
Penggantinya, Ferry Sonneville, sampai minggu lalu belum
memperlihatkan tanda-tanda akan memakai lagi tim pembina
gabungan.
Kritik terhadap pelatnas tak hanya menyangkut soal teknis.
Kebutuhan latihan para pemain, menurut Eddy Yusuf, belum
dibedakan. Untuk seorang atlet seperti King, dosis latihannya
tak berbeda dengan Lius Pongoh -- padahal usia dan tingkat
ketrampilan mereka berlainan.
Lius, yang sanggup lari keliling stadion utama Senayan sebanyak
40 putaran, waktu ketemu Prakash Padukone dari India di All
England 1981 terseyot-seyot di lapangan - terutama di set kedua.
Keunggulan teknik Prakash dalam menempatkan bola di garis
belakang telah menguras habis energi Lius. "Jika mengandalkan
kecepatan dan kekuatan saja anda akan habis," kata pemain
legendaris Wong Peng Soon yang menetap di Singapura.
Hendra Kartanegara juga punya keberatan terhadap pengagungan
latihan fisik. Ia melihat latihan fisik yang diberikan selama
ini hanya cocok untuk latihan masa libur -- tak ada kegiatan
pertandingan. Tujuannya menjaga stamina pemain tetap
terpelihara. "Bila sudah dekat turnamen latihan itu sudah tidak
cocok lagi," kata Hendra.
Efek yang ditimbulkan oleh latihan fisik seperti diterapkan
akhir-akhir ini, menurut Hendra, membuat otot gampang
berkontraksi. Ia memberi contoh kasus yang sering menimpa Icuk
Sugiarto dan Hadiyanto. Kedua pemain ini sering kejang otot
dalam pertandingan. "Untuk pemain bulutangkis, latihan fisik
yang diperlukan adalah yang membentuk otot memanjang seperti
kuda pacuan," ujar Hendra. Menurut dia, otor yang memanjang
tidak mudah berkontraksi.
Tahun 1960-an, ketika latihan fisik di pelatnas ditangani oleh
almarhum Mohamad Irsan dari Sekolah Tinggi Olahraga, Bandung,
sebetulnya sudah dipraktekkan latihan untuk membentuk otot ideal
bagi pemain bulutangkis. Waktu itu Irsan bekerja sesuai dengan
pembina teknis. Bila seorang pemain lemah dalam smash, misalnya,
ia akan diberi beban khusus untuk memperkuat otot tangannya.
Pelatih Olich Solihin, bekas pemain nasional, sewaktu ditugasi
membina tim Piala Uber di Bandung, awal 1970-an, juga menerapkan
metoda labhan serupa. Di pagi hari, umpamanya, selalu
diselang-seling latihan lari dan latihan menguatkan otot
tangan dengan mempergunakan raket tenis. Solihin waktu itu
bekerja sama dengan Tahir Djide.
Dekade terakhir, kecuali selama persiapan Kejuaraan Bulutangkis
Dunia II, pelatnas praktis ditangani Tahir. Pelatih teknis
khusus tak ada. Tak heran bila sering terdengar suara sumbang
terhadap dirinya. Tahir seolah-olah jadi tokoh tunggal yang
menentukan jalan dan sistem yang dipakai di pelatnas. "Untuk
membina pelatnas diperlukan tim. Di samping Tahir dibutuhkan
pula orang lain guna saling melengkapi," kata Hendra. Baginya,
kerjasama di zaman Irsan mrupakan yang terbaik sampai sekarang.
LATIHAN fisik yang dibutuhkan pemain sekarang, menurut Hendra,
adalah latihan di lapangan. Sistemnya seperti penggunaan
simulator bagi calon pilot. Pemain digenjot dengan gerakan fisik
yang dirangkaikan dengan latihan teknis. Misalnya, seorang atlet
disuruh melakukan gerakan smash saja selama 20 menit nonstop.
Dosis dan kebutuhan tiap pemain dibedakan.
Resep Hendra: pemain berusia lanjut digenjot dengan latihan
berat dengan waktu lebih pendek. Sebaliknya bagi mereka yang
muda. Dan bagi kelompok pemain tua diberikan istirahat lebih
panjang sesuai dengan tempo yang diperlukan buat memulihkan
kekuatan. Sedang waktu jedah untuk atlet muda lebih pendek.
Untuk menghadapi Piala Thomas di London, pertengahan Mei, Rudy
tampak akan meniru pola pembinaan yang diterapkan untuk
Kejuaraan Bulutangkis Dunia 1980. Orang yang akan dipakai
mungkin berbeda. Tim itu akan dibentuk pekan ini. Banyak mata
dapat melihat banyak kelemahan pemain, demikian alasannya.
Tentang prioritas latihan penekanan diberikannya pada pembenahan
pukulan, akurasi, dan teknis permainan. Sedang latihan fisik
tetap diberikan tapi dengan dosis rendah.
Tjuntjun, yang merebut mahkota ganda All England enam kali
bersama Johan Wahyudi, melihat masalah teknis yang mendesak
untuk dipelajari adalah cara mengatasi serve pelintir. "Paling
tidak untuk Piala Thomas nanti, kita sudah siap menghadapi
permainan itu, " kata Tjuntjun yang gugur di ronde kedua All
England terakhir ini gara-gara serve pelintir pasangan RRC Chen
Tiang Lung/Chen Tiang Yu.
Menurut Rudy, senjata "ampuh" pemain RRC dan Malaysia itu bukan
hal yang menakutkan sekali. Baginya yang penting adalah
mengembalikan pemain Indonesia ke bentuk permainan semula.
Terutama King -- pemain yang menyerang.
Hebat dalam teknik dan fisik saja ternyata tak cukup. Seorang
pemain juga dituntut memiliki mental baja dan kematangan juara.
Kekalahan King atas Misbun Sidek dalam SEA Games 1981 di Manila,
misalnya, dika renakan faktor nonteknis tersebut. Di kertas
maupun di lapangan King jauh lebih baik dari lawannya. Ayahnya,
Witopo, mengakui bahwa mental putranya masih labil. Untuk itu
Ferry Sonneville punya rencana mengundang para istri dan pacar
pemain terpilih di pelatnas untuk bertukar pikiran. "Agar mereka
juga memahami masalah yang dihadapi suami dan pacar
masing-masing," kata Ferry.
Kelabilan King cukup mencemaskan Cristian. Kedua pemain itu
merupakan pasangan ganda terampuh di dunia. Pemain RRC, waktu
dwilomba 1980, di Singapura, tak berkutik menghadapi mereka.
King dan Christian disebut-sebut akan menjadi motor tim dalam
meraih angka kemenangan. Di samping itu King tetap bermain
tunggal. "Risikonya bukan tak ada. Kalau King menang di partai
tunggal, pasti ia akan lebih ber semangat di partai ganda.
Sebaliknyi bjla ia kalah. Bisa-bisa kita kehilangau empat angka
-- dua di tunggal dan dua di ganda," kata Christian.
Untuk Piala Thomas nanti, Chrisian cenderung memilih Lius Pongoh
sebagai pasangan. Repotnya Lius masih belum sembuh betul dari
cedera di oto punggung yang dideritanya sejak 1980.
Di antara pemain Indonesia yang punya kelengkapan fisik, teknik,
mental, dan kematangan juara agaknya baru Rudy Hartono. Ia
pernah ketinggalan 14-1 dari Sture Johnson di All England, Tapi
Rudy menyudahi pertandingan itu dengan kemenangan. Ia sudah mula
mempersiapkan diri untuk mempertahankan Piala Thomas. Kalau
terpilih Rudy akan menjadi pemain pertama i3 dunia yang
memperkuat tim nasion enam kali berturut-turut.
Masalah lemah dalam teknis, seperti disinyalir Eddy Yusuf dan
Hendra Kartanegara, tak cuma merongrong pemain putra, tapi juga
putri. Ivanna, yang turun di All England dalam kondisi puncak,
tak sampai ke semifinal. "Saya aku pemain RRC jauh lebih baik
dari kita,' kata Ivanna mengenai fisik, teknik, dan mental.
Bekas pemain nasional Minarni melihat tim putri yang pergi All
Englan kurang ditangani secara serius. Namu pola pembinaan
menurut dia, sudah leih terarah dibandingkan dengan pelat nas
zamannya di tahun 1960-an. Hanya dinilainya pemain putri
sekarang tampak bermain cantik, tapi tidak efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini