PUSAT Musik Los Angeles. Di gedung ini Selasa malam pekan lalu
langsung acara penyerahan Oscar 1982, yang dikatakan disiarkan
ke 71 negeri dan disaksikan 300 juta penonton. Di luar dugaan
banyak orang, Chariots of Fire, sebuah produksi Inggris,
terpilih sebagai film terbaik. Produsernya. David Puttnam,
untuk beberapa detik terpaku -- sebelum tersenyum lebar seraya
menerima penghargaan tertinggi ini. Kepada wartawan ia berkata,
"Mudah-mudahan hadiah ini membangkitkan keberanian Inggris untuk
mulai lagi membuat film."
Industri film di negeri Lady Di memang sudah agak lama lesu.
"Coba, apa artinya sebuah Oscar untuk industri film Inggris!"
berseru Colin Welland, yang memenangkan Oscar untuk skenario
terbaik dalam film itu. Welland tidak meledak sendiri.
Diperhitungkan, gelar film terbaik sama artinya dengan ledakan
keuntungan dari hasil pemutaran, yang berkisar antara US$ 12-20
juta. Hura!
Terlepas dari kegembiraan yang bergolak di kubu Inggris, rasa
puas dan heran bercampur-aduk di kalangan masyarakat film
Amerika. Aktor tua, Henry Fonda, 76 tahun, memenangkan Oscarnya
yang pertama (untuk peran utama pria dalam On the Pond) sesudah
membintangi 80 film. Masih dalam keadaan sakit, menitikkan air
mata di rumahnya di Beverly Hills. Katharine Hepburn menciptakan
rekor baru, merebut Oscar ke-4 untuk peran utama wanita dalam
film yang sama. Dan Barbara Stanwyck, 74 tahun, kebagian piala
juga -- sebuah Oscar kehormatan.
Ketiga pemain watak itu merasa lengkap sudah, sejenis kepuasan
yang barangkali belum hinggap di hati Warren Beatty. Beatty
memenangkan Oscar untuk penyutradaraan terbaik, tapi filmnya
Reds yang sebelumnya memperoleh 12 nominasi -- tidak terpilih.
Ada kesan hasil penjurian kali ini agak menyimpang dari biasa.
Ketika ditanya apakah luputnya Oscar dari jangkauan Reds
semata-mata karena kaitan dengan komunisme, ia menjawab:
"Mungkin saja."
Dengan film ini, Beatty mendampingi Robert Redford (tahun lalu
memenangkan Oscar untuk penyutradaraan terbaik dalam Ordinary
People) memperkuat barisan aktor yang menjelma sebagai sang
sutradara.
Penjelmaan semacam itu tidak mudah. Beatty mempersiapkan Reds
selama 4 tahun, menghabiskan US$ 57 juta, mengerjakan sendiri
beberapa tugas yang biasanya ditangani 2-3 orang. Ia
menyutradarai, menulis skenario bersama Trevor Griffiths,
memainkan tokoh utama John Reed, untuk sebuah film sepanjang 3
jam 20 menit. Tak pelak lagi inilah penggarapan yang tidak
tanggung-tanggung, juga tidak seirama dengan pola kerja
Hollywood yang berorientasilaba.
Kritikus Richard Corliss (Time, 7 Desember '81) menilai Reds
dalam pujian satu napas: besar, cermat, penuh ambisi, percaya
pada tokoh Reed, juga yakin akan sambutan khalayak pada tokoh
nyentrik ini. Mengapa? John Reed pernah hidup didunia ini:
seorang wartawan, sebuah pribadi banyak segi, sarat dengan
semangat petualangan. Tugasnya terbesar meliput revolusi Rusia
dan mati muda, 3 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-33.
Bapak revolusi Rusia, Lenin, menyanjungnya sebagai "pengamat dan
peserta, penulis dan penyair yang menyuarakan pemberontakan."
Laporan Reed yang berjudul 'Sepuluh Hari Yang Mengguncang
Dunia', oleh Lenin disuruh cetak berjuta-juta dan diterjemahkan
ke "semua bahasa". Nah. Kekaguman Lenin itu dihidupkan Beatty ke
pita seluloid, satu pilihan berani yang sejauh itu helum pernah
dilakukan sineas Amerika. Bahkan Sergei Bondarchuk, sineas
Soviet kenamaan itu, baru bersiap-siap akan memfilmkan tokoh
yang sama.
Jika Corliss memuji Reds, yang dikatakannya menampilkan
sekaligus pesona film-film Lawrence of Arabia dan Doctor
Zhivago, kritikus Jim Beaver (Film in Review, Februari '82)
melihatnya dari segi lain. Reds dinilainya sebagai film paling
berani, karena pahlawannya menemukan nilai tertentu dalam
ideologi paling dimusuhi di Amerika komunisme. Juga karena
Beatty punya nyali besar untuk melayarputihkannya -- di samping
kenyataan bahwa penonton di sebuah kota seperti Oklahoma tahan
menyaksikan pahlawan komunis itu beraksi sampai film panjang itu
selesai. Ini gejala baru di kalangan publik Amerika.
Sementara itu film terbaik Chariots of Fire, tidaklah jadi
menarik karena bintang-bintangnya kebetulan tidak terkenal.
Penggarapannya yang dilakukan sutradara Hudson dinilai bersih,
rapi, pas untuk mengungkapkan setting Eropa tahun '20-an.
Tokoh utamanya adalah 2 pelari Inggris yang memenangkan medali
emas di Olimpiade Paris. Cerita menampilkan Harolds Abrahams,
olahragawan tangguh yang juga mahasiswa Cambridge yang angkuh,
berjuang untuk menang hanya untuk mengejek diskriminasi yang
terbeban kepadanya sebagai orang Yahudi. Pelari satu lagi Eric
Liddell, anak pendeta, yang berjuang memenangkan lomba lari
"demi keagungan Tuhan". Dua motivasi kejuaraan yang sangat tidak
lazim, apalagi untuk dunia olahraga masa kini yang digantungi
pesan sponsor.
Kritikus Schickel (Time 21 September '81) menilai Chariot lebih
istimewa dari Rocky, film tentang petinju yang memenangkan Oscar
di tahun '70-an. Antara lain karena terbersitnya rasa nyaman
--dalam Chanots -- bila menyaksikan keganasan Abraham yang
terkendali serta kekuatan fisik Liddell yang ringan, sopan,
menawan. Ah !
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini