BALAI Sidang Senayan gempar. Ribuan penonton bersorak histeris, menyambut kemenangan atlet-atlet karate tuan rumah. Untuk pertama kali, karateka Indonesia mampu mememperoleh tiga medali emas dalam Kejuaraan Karate Asia Pasifik (APUKO) VII, yang berakhir Minggu malam pekan lalu, di Balai Sidang Senayan, Jakarta. Inilah hasil terbaik yang dicapai oleh karateka Indonesia dalam suatu kejuaraan internasional. Yang membuat bangga, kejuaraan empat hari ini diikuti 12 negara, termasuk si dedengkot karate Jepang. Ketiga medali emas itu disumbangkan oleh Anneke Mantiri di kelas -53 kg, Saleh Al Habsy (75,1-80 kg), dan David Sihotang (60,1-65 kg). Tanda-tanda peningkatan prestasi para karateka Indonesia sudah kelihatan sebelumnya. Pada SEA Games XIV lalu, Indonesia mampu menyabet 12 emas dari 15 nomor yang dipertandingkan. Memang, SEA Games hanya diikuti negara-negara Asia Tenggara. Namun, paling tidak kesempatan itu bisa dijadikan arena uji coba menghadapi pertandingan yang lebih besar. Seperti kejuaraan APUKO ini. Bagi Anneke Mantiri, 20 tahun, ini merupakan pengulangan prestasi dalam kejuaraan serupa, di Kinibalu, Malaysia Timur, 1985. Waktu itu Anneke meraih satu-satunya medali emas yang direbut oleh Indonesia di kelas spesialisasinya, -53 kg. Itu merupakan medali emas pertamanya pada kejuaraan yang diselenggarakan dua tahun sekali ini. Pekan lalu, di final, Minggu sore, gadis kelahiran Manado ini menundukkan karateka Jepang, Yumi Yanagisawa, dengan 4-3 melalui perpanjangan waktu. "Saya puas dengan hasil ini, walau melalui perpanjangan waktu," tutur Anneke seusai pertandingan. Mahasiswi Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya ini mulai menekuni olah raga karate sejak duduk di bangku SMP kelas I, di bawah bimbingan kakak dan ayahnya. Berbagai kejuaraan tingkat nasional maupun internasional sudah pernah dirasakannya. Sudah 11 piala diraihnya, termasuk terpilih sebagai Olahragawati Terbaik 1985 versi Seksi Wartawan Olah Raga (Siwo) PWI Jakarta. Bahkan, demi karate dia tak segan meninggalkan kuliahnya. "Saya harus memilih, prestasi atau kuliah. Dan saya memilih yang pertama, karena target saya adalah juara dunia," kata Anneke, yang juga menggemari silat dan kungfu ini, sembari senyum. Bukan Anneke saja yang mampu mengganjal laju keperkasaan Jepang. Saleh Al Habsy, 21 tahun, mampu meredam karateka Jepang Masaaki Yokomichi dengan 6-4. Kemenangan Saleh itu merupakan pembalasan atas kekalahan yang pernah dideritanya dan Masaaki pada kejuaraan-kejuaraan serupa dua tahun silam. Dunia karate bukan hal yang baru bagi mahasiswa Universitas Muslim Indonesia, Ujungpandang, ini. Sudah 30 piala diraihnya. "Saya ingin menguji kemampuan saya di American Exhibition, Januari tahun depan. Baru setelah itu saya memusatkan pada kuliah," tutur Saleh, penuh semangat. Hal serupa juga dikemukakan oleh peraih medali emas lainnya, David Sihotang, 25 tahun. Pemuda lajang karyawan BNI 1946 ini mengakui, belum banyak prestasi yang diraihnya di dunia karate. Sebenarnya, "Saya ingin lebih dari ini, tapi kesibukan di kantor membuat kesempatan untuk berlatih agak kurang," ujar David, yang juga bercita-cita tampil di American Exhibition ini. Dengan hasil 3 emas, 3 perak, dan 3 perunggu, Indonesia menempati urutan ketiga, di bawah Jepang (9-4-8) dan Taiwan (3-3-7). Tentu saja, pengurus FORKI merasa bangga dengan prestasi yang diraih oleh atlet-atletnya ini. Tidak heran kalau mereka dijanjikan mendapat bonus berupa Tabanas dari Rudini. "Besar kecilnya jangan dilihat, yang penting penghargaan terhadap usaha mereka ada," ujar Ketua Umum PB FORKI, Rudini, yang juga menjabat presiden APUKO ini. Mereka yang masuk final akan dikirim untuk menimba ilmu di Negeri Sakura. "Pengiriman ke Jepang itu akan disesuaikan dengan dana yang dimiliki PB FORKI," tutur Rudini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini