RUANG khusus RS Pirngadi, Medan, sudah hampir 2 bulan dikawal siang malam oleh 2 perawat dan 3 Satpam. Terletak di tengah, ruang itu hanya bisa dimasuki tamu kalau ada izin dari Direktur Pirngadi, dr. Raharjo Slamet. Agak istimewa, memang, bahkan tabung oksigen yang ada di situ diselimuti kain biru. Ternyata, di dalam ruangan khusus itulah, Adi Suhendra dan Adi Suhendri "disembunyikan". Dilahirkan subuh, 3 Juli 1987, kembar siam asal Kisaran ini merupakan gabungan tipe xiphopagus dan omphalopagus (dempet di bagian daging ujung tulang dada dan pusat). "Ini bayi langka dengan kasus biasa," kata Dokter Chairul Yoel, 37 tahun, dokter anak yang merawat si kembar. Kedua Adi adalah anak pasangan suami-istri Ernawati, 21 tahun, dan Mijan, 24 tahun. Sang ibu mungil yang tingginya hanya 153 cm itu berjuang keras pada saat-saat melahirkan. Kandungannya 10 bulan, dan bayi di dalam perutnya lasak. "Saya hampir putus asa," kata Erna, mengenang peristiwa besar dalam hidupnya itu. Akhirnya, ia menjalani operasi caesar yang dilakukan dr. Adi Surya Zein. Yang pertama muncul ke dunia adalah Adi Suhendra. Ketika lahir, bayi yang namanya diambil dari nama depan Dokter Surya Zein itu mencatat berat badan 4,2 kg, dengan panjang 45 cm. Saudara kembarnya, Adi Suhendri, malah lebih tinggi, 47 cm. Atas instruksi Gubernur Sumatera Utara Kaharuddin Nasution, si kembar yang semula dirawat di RS Kartini, Kisaran, pada awal September silam diboyong ke RS Pirngadi, Medan. Tindakannya ini terilhami oleh gencarnya kampanye operasi kembar siam asal Riau, Yuliana-Yuliani, yang sukses 21 Oktober lalu, di RSUP Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Gubernur kemudian menghendaki agar kedua Adi juga dipisahkan. Dan sejak kepindahannya ke Medan, biaya perawatan bayi yang senantiasa bertatap muka itu -- Rp 75 ribu per hari -- ditanggung Pemda Sum-Ut. Akhir September, dr. Raharjo Slamet, 57 tahun, membentuk tim operasi beranggotakan 27 dokter ahli dan diketuai olehnya sendiri. Maka, si kembar pun dibawa bolak-balik dari satu ruang ke ruang lainnya untuk pemeriksaan. Keduanya relatif sehat dan sampai akhir pekan lalu, Suhendra bertambah panjang 3 cm, Suhendri 4 cm. Bobot keduanya jadi 10,7 Kg. Tapi Adi Suhendra, yang matanya lebih sering terbuka, tampak sukar bernapas hingga perlu tambahan oksigen. Kalau menangis, wajahnya membiru. Berdasarkan hasil pemeriksaan CT Scan, diketahui jantungnya lebih besar. Ketika diteliti dengan Echocardiography, dinding kanan jantung Suhendra lebih tebal. Pintu antara bilik kiri dan kanan jantungnya, ternyata, tanpa katup. Maka, darah kotor dan bersih bercampur lewat pintu itu. "Kelainan ini bawaan lahir," kata Raharjo Slamet kepada TEMPO. Suhendri juga punya kelainan bawaan. Pada pemeriksaan radiologis dengan cara Parium follow through, ditemukan ileum (usus) Suhendri menjelajah ke perut abangnya, kendati ujung usus itu kembali lagi ke rongga perutnya. Namun, pencernaan keduanya lancar saja. Organ-organ lain, seperti pembuluh darah balik dan saluran empedu, masing-masing dua dan normal adanya. Yang agak mencemaskan, kata Raharjo, bagian hati (liver) yang disebut lobus saling melekat. Lobus dekstra (bagian kanan) bayi yang satu lengket dengan lobus sinistra (bagian kiri) lainnya. Sampai sekarang belum diketahui berapa luas jaringan yang menyatu itu. Menurut Chairul Yoel untuk mengatasi bahaya fatal karena pembedahan bagian hati yang lekat ini, pendarahan yang banyak harus dihindarkan. "Pencegahannya sudah kami pikirkan," kata Chairul, anggota tim. Yang menggembirakan, meskipun usia kedua bayi itu menanjak, kulit yang dempet tidak turut meluas. Dari situ diharapkan akan terjadi kelebihan kulit, yang bisa digunakan penutup lubang yang menganga setelah operasi. "Bagi kami tak ada masalah," kata Buchari Kasim, 42 tahun, ahli bedah plastik yang ditunjuk sebagai wakil ketua tim. Sebenarnya, operasi terhadap kembar siam model si Adi itu tak begitu sulit. Apalagi frekuensi xiphopagus dan omphalopagus seperti dikatakan Chairul tercatat 35 persen. Dari 11 pasang omphalopagus dan xiphopaguss yang telah dioperasi, hanya 3 orang yang meninggal. Contohnya, operasi kembar siam xiphopagus asal Pulau Nias, Sum-Ut, di Jakarta 5 tahun lalu, gagal. Kedua bayi meninggal. Toh operasi yang dinantikan itu tak kunjung dilakukan. Tim masih terus-menerus rapat dan menonton video, khusus mengenai operasi kembar siam. Rapat terakhir, 19 November lalu, memutuskan si kembar Adi dioperasi di Pirngadi. Namun, agar persiapan cukup matang, tim Pirngadi akan berkonsultasi dengan tim operasi Yuliana-Yuliani, yang dipimpin Prof. Iskandar Wahidayat. Sampai kini tim telah menyusun skenario operasi, seperti yang dilakukan Iskandar Wahidayat ketika menangani kembar siam Riau. Hanya saja rencana operasi terkatung-katung karena sampai sekarang sarana operasi, seperti selimut pengatur suhu, alat monitor tekanan darah, peralatan laboratorium klinis, alat bantu pernapasan, belum ada. Peralatan tersebut, menurut Raharjo Slamet, harus dibeli dari luar negeri. Untuk itu Raharjo mengajukan biaya pembelian Rp 51,5 juta, dan akhir pekan lalu disetujui Kaharuddin. Sementara, di dalam tim tidak terdapat ahli bedah anak. "Selain itu, kerja sama antarbagian di Pirngadi selama ini seperti kucing dengan tikus," kata sebuah sumber. Mungkin karena itu Menteri Kesehatan, Suwardjono Surjaningrat, menganjurkan agar operasi dilakukan di Jakarta. Monaris Simangunsong & Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini