Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Maju tanpa Menyusu

Tanpa subsidi APBD, klub sepak bola bisa sukses. Malah memunculkan iklim berkompetisi dan berbisnis yang sehat.

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CELETUKAN Muhammad Farhan tentang klub sepak bola profesional dan subsidi negara cukup menyentil. ”Selain malu, kami tidak paham pertanggungjawabannya. Itu kan uang negara, kami perusahaan swasta,” katanya kepada Tempo dua pekan lalu.

Pernyataan itu terkait dengan sikap Persib Bandung yang tidak akan menerima sokongan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pemerintah setempat. Kali ini Farhan bukan di posisi penyiar dan presenter ternama, tapi dalam kapasitasnya sebagai Wakil Direktur Utama PT Persib Bandung Bermartabat yang menaungi Persib.

Maung Bandung—sebutan Persib Bandung—kini salah satu dari segelintir klub Liga Super Indonesia yang berupaya profesional, mandiri, dan bebas dari subsidi negara. Persib ”baru” ini resmi meluncur pada 9 September 2009.

Langkah itu menuai sambutan positif dari pemangku kepentingan sepak bola umumnya. Bahkan, dalam lingkup nasional, apresiasi pun datang dari pihak penegak hukum yang tengah bersih-bersih dan mencegah rasuah persepakbolaan.

Pekan lalu, perwakilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi bertandang ke markas Persib, di Jalan Sulanjana, Dago, Bandung, sebagai kelanjutan dari koordinasi dengan pemerintah Jawa Barat. ”Kami menanyakan langsung kepada Persib, bagaimana kok bisa (lepas dari dana APBD), apa tantangannya, apa rencana ke depan,” kata Dian Patria, Kepala Satuan Tugas Bidang Pengembangan Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK.

Usaha untuk bebas dari dana APBD tidak mudah. Persib harus meminjam modal dari konsorsium investor alias para pemegang saham PT Persib, yang terdiri atas para pengusaha dan tokoh asal Bandung. Menyebut beberapa nama, di antaranya pengusaha Glenn Sugita, Pieter Tanuri, presenter M. Farhan, dan advokat Kuswara S. Taryono. Konsorsium sepakat menyuntikkan dana Rp 21,5 miliar untuk satu setengah musim kompetisi. Sebagian besar di antaranya, Rp 20 miliar, dalam bentuk shareholder loan yang baru dikembalikan bila pemegang saham menagihnya.

Pinjaman tersebut untuk belanja pemain dan operasional skuad Persib dan belanja kantor PT Persib Bandung Bermartabat. Belanja tim meliputi belanja pemain, sewa lapangan Stadion Siliwangi, sewa mes Persib, transportasi, dan akomodasi. Belanja kantor meliputi gaji karyawan, sewa gedung, dan lain-lain. Biaya operasional sebulan rata-rata Rp 1,3 miliar dan biaya operasional tim Rp 1,2 miliar.

Sejauh ini, menurut Farhan, Persib belum mengembalikan dana pinjaman karena masih merugi. Kerugian pada musim 2009-2010 mencapai Rp 13 miliar, dan pada musim berjalan ini masih merugi Rp 8 miliar dari kebutuhan belanja musim ini total sekitar Rp 29 miliar. ”Pergeseran paradigma itu berat. Persib sekarang masih dalam proses, baru satu setengah tahun atau masuk tahun kedua,” kata Farhan.

Toh, para pengelola Persib tetap optimistis bisa mandiri, apalagi dengan dukungan penonton yang besar. Hitungan kasarnya, dari 40 juta penduduk Jawa Barat, 10 juta di antaranya bobotoh Persib. ”Kalau kami bisa menguasai satu juta market saja, itu sudah oke dan masuk akal,” Farhan menjelaskan.

Sumber pendapatan ”tradisional”, seperti hasil penjualan tiket, masih diandalkan karena kontribusinya cukup signifikan, mencapai 30 persen dari total pendapatan. Setiap laga kandang Liga Super musim ini di Stadion Siliwangi, Persib biasa mencetak 18 ribu lembar tiket dengan harga variatif bergantung pada posisi tribun. Tiket VIP dibanderol Rp 150 ribu per lembar, tiket samping utara dan selatan (di samping tribun VIP) Rp 50 ribu, tiket tribun timur Rp 40 ribu, sedangkan tribun utara dan selatan Rp 20 ribu per lembar. Sepanjang musim ini, Persib mendapat jatah 14 kali laga tandang dengan dua laga di antaranya digelar tanpa penonton.

Di luar itu, yang utama adalah pendapatan dari kerja sama dengan sponsor dan kerja sama bisnis retail yang kontribusinya mencapai 60 persen dari total pendapatan. Sejak awal hingga akhir tahun lalu, Persib berhasil memperpanjang dan menggaet sejumlah sponsor, di antaranya PT Wiraswasta Gemilang Indonesia selaku produsen oli mesin sepeda motor Evalube (kontrak tiga musim mulai Maret 2010); PT Daya Adira Mustika (Daya), dealer utama sepeda motor Honda di Jawa Barat (kontrak tiga musim untuk tiga musim mulai September); juga perusahaan retail modern Yomart (kontrak satu musim LSI, 2010-2011).

Pemasukan dari sponsor itu belum termasuk kerja sama penjualan merchandise dengan beberapa perusahaan, antara lain dengan perusahaan perlengkapan olahraga asal Spanyol, Joma, untuk penjualan produk jersey orisinal Persib dengan kontrak satu musim, dan Persib mendapat royalti 5-20 persen. Kerja sama serupa diretas dengan PT Skybee Tbk untuk penjualan telepon seluler merek Skybee berisi aplikasi pernak-pernik Persib. Dengan operatornya juga menggandeng PT XL Axiata Tbk untuk penjualan 400 ribu kartu perdana XL berkonten aplikasi Persib yang dijual Rp 2.000 per kartu.

Sumber pendapatan lain datang dari match fee yang disiarkan langsung televisi untuk laga kandang LSI dan Piala Indonesia. Uang yang masuk kocek klub Rp 25 juta untuk laga siang hari sampai Rp 30 juta untuk laga malam hari. ”Meningkat tergantung prestasi,” ujar Farhan. Karena itu, laiknya bermain bola, Persib harus lincah berburu investor, sponsor, sekaligus menampilkan aksi di lapangan yang ciamik, dalam arti berprestasi dan enak ditonton.

Yang terlebih dulu berani tak ”menyusu” pada APBD adalah Arema Indonesia (dulu Arema Malang dan Arema FC), satu dari tiga klub yang benar-benar profesional di awal LSI 2008, bersama Semen Padang dan Bontang PKT.

Arema alias Singo Edan mewakili Malang di Liga Sepak Bola Utama (Galatama)—kompetisi semiprofesional di Indonesia yang sempat bergulir akhir 1970 sampai awal 1990-an. Sejak berdiri 11 Agustus 1987, Arema tidak mengandalkan dana APBD hingga kini.

Pilihan ini tidak gampang. Di era Galatama, Arema didukung penuh pengusaha Nirwan Dermawan Bakrie. Selepas itu Arema dimiliki PT Bentoel Prima mulai 29 Januari 2003 sampai 3 Agustus 2009. Krisis datang setelah Arema dilepas Bentoel. Gaji pemain kadang terlambat dibayarkan, sampai beberapa kali pemain mogok latihan.

Untungnya, Arema didukung publik penggemarnya, Aremania. Mereka menggelar penggalangan dana dengan aksi mengamen dan membuka rekening di BRI pada 28 Desember 2009. Dana yang terkumpul sekitar Rp 65 juta dibelikan papan iklan bertulisan ”Aremania Jagat Raya” untuk tiga pertandingan yang dipasang di pinggir lapangan. Selain itu, para wartawan peliput Arema ikut urunan hingga terkumpul Rp 54 juta.

Krisis mulai teratasi setelah masuknya beberapa sponsor, juga masuknya sumber pendapatan lain. Pejabat Hubungan Masyarakat PT Arema Indonesia, Sudarmaji, menyebutkan 50 persen pendapatan Arema per musim berasal dari penjualan tiket, 30 persen dari sponsor, donatur 10 persen, dan penjualan merchandise 10 persen. Dana sekitar 60 persen digunakan untuk memenuhi kebutuhan tim, mulai pelatih, pemain, hingga ofisial.

Untunglah, prestasi Arema cukup kinclong. Puncaknya saat menjuarai LSI musim 2009-2010. Sebelumnya, klub ini juara Galatama XII musim 1992-1993. Selain itu, Arema menjuarai Piala Indonesia I (Copa Dji Sam Soe I) 2005, disusul tahun berikutnya pada Piala Indonesia II (Copa Dji Sam Soe II).

Bila ingin profesional, klub sepak bola memang harus dikelola tanpa mengandalkan subsidi negara. Jauh sebelum soal APBD diributkan, sudah ada yang nekat mengurus klub secara mandiri. Hal itu dibuktikan Gandjar Laksmana, pengacara dan anggota staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dengan PT Tri Senja Paura, Gandjar merintis pengelolaan Persijatim Jakarta Timur tanpa subsidi pemerintah sejak 1998. Pada 2000, dia mulai berkiprah mengurus Persikabo Bogor. ”Belum untung besar, tapi secara umum grafik terus menanjak,” katanya.

Berangkat dari bisnis agensi pemain asing, Gandjar dan koleganya melirik pengelolaan klub. Incarannya adalah klub-klub yang bersedia jalan tanpa subsidi pemerintah. ”Masih banyak sektor lain yang lebih membutuhkan anggaran pemerintah dibanding klub sepak bola.”

Karena tanpa subsidi, segenap pengurus dan pemain justru kompak. Para pemain terpacu berprestasi untuk meningkatkan dukungan dari suporter dan sponsor. Pengurus terpacu efektif dan efisien, terutama menggalang dukungan berupa tiket, pernak-pernik, makanan-minuman selama pertandingan, dan sponsor perusahaan swasta besar setempat. Menurut Gandjar, sponsor sekelas rumah makan padang pun ada.

Harun Mahbub, Erik P. Hardi (Bandung), Abdi Purmono (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus