Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

<I>Offside</I> Dana Rakyat

Berbagai cara penyelewengan dana APBD untuk sepak bola dilakukan. Beberapa telah dimejahijaukan.

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Pemberantasan Korupsi terjun ke sepak bola. Bukan untuk olahraga rekreasi para penyidiknya yang setiap saat dilanda stres menyidik tumpukan kasus korupsi yang tiada habis. Namun KPK punya bidang kasus baru: dugaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah oleh klub-klub sepak bola dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Sejak Januari lalu, Komisi membentuk tim kajian baru di dalam divisi penelitian dan pengembangan tentang penyelewengan APBD yang dialokasikan ke klub sepak bola. Juru bicara KPK, Johan Budi, menyatakan KPK serius karena dana APBD yang dipakai untuk sejumlah klub ratusan miliar rupiah, yang bila dikorupsi tidak akan memajukan sepak bola Indonesia.

Melihat kasus-kasus penyelewengan APBD untuk sepak bola yang sudah terjadi, memang korupsi di bidang itu bukan barang baru. Modus penyelewengannya pun beragam, dari markup nilai kontrak pemain sampai mencari-cari pos dalam APBD yang bisa ditilap atas nama sepak bola.

l l l

Pengadilan Negeri Samarinda memvonis mantan Manajer Persisam Putra Samarinda Aidil Fitri bersalah menyalahgunakan dana klub yang bersumber dari APBD 2007 dan 2008, awal Februari lalu. Ia diganjar hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Mantan Ketua Pemuda Pancasila Kota Samarinda itu diwajibkan membayar ganti rugi Rp 1,7 miliar.

Yang semakin menggegerkan adalah fakta persidangan bahwa sebagian uang yang diselewengkan itu dipakai menyuap petinggi PSSI. Kesaksian selama persidangan menyebutkan Aidil menyetor Rp 100 juta untuk Ketua PSSI Nurdin Halid, Rp 80 juta ke Direktur Badan Liga Andi Darussalam, dan Rp 25 juta ke Deputi Sekjen Bidang Organisasi Hamka Kadi. Dari total 35 transaksi, fulus juga mengalir ke kantong sejumlah anggota DPRD Samarinda.

Sehari setelah berita itu dilansir media massa, suasana markas PSSI di Senayan seperti orang kebakaran jenggot. Melalui situs resmi, PSSI membantah semua tudingan tersebut. Uang Rp 100 juta yang diterima Nurdin Halid diklaim sebagai sumbangan Aidil untuk operasional tim nasional saat itu. ”Ketua PSSI sama sekali tidak pernah melihat atau bahkan menerima dana tersebut,” sebut rilis resmi itu.

Kasus di Persisam adalah salah satu contoh kasus penyelewengan dana klub dari APBD, untuk kepentingan pribadi pengurusnya. Ketua majelis hakim yang memvonis Aidil, Parulian Lumbantoruan, menyatakan Aidil terbukti menggunakan uang itu untuk membayar rumah, membeli cincin, mobil, dan sepeda motor.

Aidil menggangsir uang klub dengan cara menggelembungkan nilai kontrak pemain dan pelatih. Bekas pelatih Persisam, Eddy Simon Badawi, meneken kontrak Rp 325 juta per tahun pada 2008, tapi faktanya hanya menerima Rp 225 juta. Mantan pemain Victor Simon mengalami hal serupa. Dari kontrak senilai Rp 275 juta yang ditandatanganinya, ia hanya menerima Rp 175 juta. Bahkan bekas pemain Persisam, Puji Listiono, mengaku pernah menandatangani kuitansi kosong.

Sejatinya, Aidil termasuk pelatih yang sukses mendongkrak prestasi tim berjulukan Elang Borneo itu. Pertama menangani pada 2007, Persisam masih berlaga di Divisi I. Dengan modal APBD Rp 12,5 miliar, anggota DPRD dari partai Patriot Bangsa ini berhasil mengerek klub di daerah itu naik ke Divisi Utama pada musim berikutnya. Pemerintah Kota Samarinda kemudian menaikkan jatah Persisam dari APBD menjadi Rp 25 miliar per tahun. Semuanya dicairkan melalui pos bantuan sosial.

Dengan dana jumbo itu, Aidil juga sukses menjadikan Persisam juara di Divisi Utama dan naik ke Liga Super Indonesia. Di balik kisah sukses itu, ternyata terjadi penyelewengan dana klub yang berasal dari APBD. Pengelolaan keuangan di dua musim inilah yang menjadi obyek penyelidikan jaksa.

Kini jaksa siap mengembangkan kasus ini sampai ke penerima suap. ”Kami tidak mengada-ada menentukan perkara dan yakin dengan bukti-bukti yang diajukan dalam sidang,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda Sugeng Purnomo.

l l l

Kasus korupsi dana klub yang berasal dari APBD juga terjadi di Manado. Mantan Ketua Umum Persma Manado Jimmy Rimba Rogi divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Agustus 2009 lantaran terbukti menyalahgunakan dana APBD untuk memperkaya diri sendiri. Dari total dana yang dicairkan dalam 57 transaksi pada 2006 hingga 2007 sekitar Rp 70 miliar, sebagian mengalir ke klub Persma Manado.

Jimmy, yang menjabat Wali Kota Manado ketika itu, dengan mudah memerintahkan Kepala Bagian Keuangan mencairkan dana. Menurut jaksa, pada 2006 sebanyak Rp 13,2 miliar mengalir ke klub dan pada 2007 sekitar Rp 8,5 miliar, yang dicairkan dari pos anggaran bagi hasil dan bantuan sosial. ”Tidak bisa dibuktikan laporan pertanggungjawabannya,” kata Direktur Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi Fery Wibisono.

Jimmy terbukti menyalahgunakan wewenangnya sebagai wali kota dan Ketua Umum Persma. Kasus Jimmy sudah berkekuatan hukum tetap karena kasasinya ditolak Mahkamah Agung pada Maret 2010. Ia dipenjara tujuh tahun, denda Rp 200 juta, dan diwajibkan mengganti kerugian negara Rp 64 miliar.

l l l

Dugaan penyelewengan dana klub yang berasal dari APBD untuk kepentingan politik terjadi di Semarang. Mantan Ketua Umum PSIS Semarang Sukawi Sutarip diduga memakai uang APBD untuk klub, membiayai kampanyenya sebagai calon Gubernur Jawa Tengah pada 2008. ”Kami berharap KPK menyelidiki dugaan ini,” kata Sekretaris Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Semarang, Eko Haryanto.

Kecurigaan Eko senada dengan peneliti Indonesia Corruption Watch, Apung Widadi. Mereka menilik dana APBD yang mengalir ke PSIS yang meningkat dari waktu ke waktu dan diiringi dengan prestasi. Pada 2004, ketika menerima Rp 3 miliar, PSIS berada pada posisi sembilan Liga Super Indonesia. Pada 2005, dengan gelontoran Rp 7,2 miliar, PSIS nangkring di posisi tiga.

Ketika dinaikkan menjadi Rp 14 miliar pada 2006, PSIS tampil sebagai runner-up Liga Indonesia. Namun, pada 2007, dengan anggaran Rp 12,2 miliar prestasi PSIS anjlok di dasar klasemen. ”Dan tahun berikutnya degradasi ke Divisi Utama,” kata Eko. ”Patut diduga dana klub dibajak sebagai dana kampanye,” ujar Apung. Bahkan, setelah kalah dalam pemilihan gubernur, Sukawi membubarkan PSIS pada 2009.

Seorang tokoh sepak bola Semarang yang enggan disebut namanya menduga Sukawi sengaja membiarkan PSIS terdegradasi. Sukawi pada musim itu tidak menggelontorkan dana untuk menyuap perangkat pertandingan yang lazim digunakan jika ingin memenangi pertandingan. ”Dana PSIS digunakan untuk persiapan kampanye,” ujarnya. Sukawi, yang diusung Partai Demokrat, kalah oleh Bibit Waluyo, yang dijagokan PDI Perjuangan.

Sukawi membantah tudingan para penggiat antikorupsi tersebut. ”Tidak ada dana PSIS sepeser pun untuk kampanye saya,” kata Sukawi. Namun ia mengaku menyuap sejumlah perangkat PSSI. ”Kami tidak suka melakukannya, tapi sistem mengharuskannya,” katanya. Mantan Manajer PSIS Yoyok Sukawi mengamini Sukawi. ”Suap adalah keharusan. Kalau ingin menang, ya harus menyuap,” ujar Yoyok, yang juga putra Sukawi.

l l l

Di Bojonegoro, tiga pengurus klub Persibo Bojonegoro, yaitu Abdul Mun’im, Asisten Manager Bidang Teknik Imam Sarjono, dan Asisten Administrasi Abdul Cholik, didakwa menggelapkan uang klub Rp 2 miliar. Kasus ini terjadi pada 2008, saat Persibo mendapat jatah APBD, Rp 12,5 miliar. Pada pencairan tahap pertama, dari Rp 5 miliar yang dianggarkan, hanya Rp 3 miliar yang sampai ke klub. ”Kasusnya sedang bergulir,” kata Manajer Persibo Taufik Riesnandar.

Sedangkan di Wonogiri, pada 2006, Ketua Harian Persiwi Wonogiri Lakgiyatmo menyelewengkan dana klub Rp 90 juta. Ia didakwa sengaja membayar lebih besar ke rekanan Persiwi. ”Uang itu diberikan kepada orang dekat Bupati Wonogiri waktu itu,” kata Trianto Heru Suryono dari bagian humas.

Lakgiyatmo, yang juga anggota DRPD Kabupaten Wonogiri dari Partai Demokrat, divonis satu tahun penjara, Februari tahun lalu. Akibat kasus tersebut, klub dibubarkan pada 2009. ”Ketiadaan anggaran karena terbongkarnya kasus korupsi tersebut,” kata mantan Sekretaris Umum Persiwi Kariman.

Tito Sianipar, Sohirin (Semarang), Firman Hidayat (Samarinda), Cristoper (Manado), Ukky Primartantyo (Wonogiri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus