LETNAN Jenderal Try Sutrisno bagai terjun di gurun tandus ketika pada tahun 1985 dipilih menjadi Ketua Umum PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia). Induk organisasi itu memang sedang kering prestasi. Di samping itu, pertentangan antarpelatih -- antara lain soal metode latihan -- menjadi konflik tajam. Arena All England dan kejuaraan dunia yang pernah jadi milik Indonesia, ketika itu, sukar digapai. Pemain terakhir pada tahun 1983 yang mampu merebut gelar juara dunia hanya Icuk Sugiarto. Toh Indonesia masih punya kebanggaan: Piala Thomas, lambang supremasi beregu dunia untuk putra, masih di tangan. Masuknya Try Sutrisno, yang saat itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, ditanggapi para pengamat dengan dingin. Banyak yang ragu PBSI mampu bangkit kembali di tangan seorang militer -- ini merupakan Ketua Umum PBSI pertama dari lingkungan militer -- yang awam dalam urusan tepok menepok bulu angsa itu. Kala itu, memang sedang mode di sini: banyak pejabat negara yang memimpin induk organisasi olahraga. Baru enam bulan setelah Try duduk di Senayan, Piala Thomas malah terbang ke tangan Cina. Liem Swie King dan kawan-kawannya dibekuk tim Tembok Cina dengan angka 2-3 justru dalam pertandingan di kandang sendiri. Yang lebih tragis, pada 1988, untuk pertama kalinya Indonesia gagal maju ke final Piala Thomas. Di Kuala Lumpur, tuan rumah menjegal Indonesia. Dalam Piala Uber, Verawaty dan kawannya ditelan Cina yang mempertahankan piala bergengsi tadi. Boleh dikatakan, sepanjang kepengurusan Jenderal Try yang pertama, prestasi Indonesia belum pulih. Kalau ada prestasi, paling-paling hanya kelas Indonesia Terbuka yang juaranya adalah Icuk Sugiarto (1986 dan 1988). Icuk juga sempat dua kali merebut Piala Dunia (yang tingkatnya di bawah All England). Pada 1987, anak Solo yang bermain untuk klub Pelita Jaya itu gagal di final All England. Walhasil, periode 1985-1989 itu merupakan kejayaan bagi Cina dan Korea Selatan. Tapi, Try Sutrisno cepat melihat pentingnya menutup jarak antarpemain yang menganga bagai jurang. Bandingkan saja ketika pemain utama seperti Icuk Sugiarto gagal di final All England 1987, pemain lapis kedua Ardy Wiranata baru menjuarai kejuaraan dunia yunior di Jakarta. Maka, prioritas kerja adalah memperbanyak pemusatan latihan di daerah. Dari dua pelatda, melalui para pengusaha yang giat membantu Try, jumlah pelatda berkembang menjadi 32 di seantero negeri dengan sekitar 400 pemain jadi. Di Jakarta, dibentuk pelatnas Utama dan Pratama (masing- masing punya 40 pemain) sebagai gudang pasokan pemain. Ini semua memang perlu biaya besar. Dan untuk Try -- yang karier militernya terus menanjak dari Wakasad, KSAD, dan menjadi Panglima ABRI -- urusan menggalang dana dari para mitranya tentu tak -- jadi soal. Dari situlah anggaran PBSI yang kini mencapai sekitar Rp 2,5 miliar setahun bisa ditutup. Kekuatan Try yang lain: ia bisa menyatukan dua power besar di PBSI, yaitu Grup Bimantara dan Grup Bakrie. Sudah menjadi rahasia umum, Aburizal Bakrie yang di masa awal menjabat ketua bidang dana seperti bertanding dengan Justian Suhandinata yang dulu menjabat ketua bidang organisasi. Pengaruh mereka sampai ke bawah, ke tingkat pelatih, dan bahkan pemain. ''Kalau dibiarkan tentu runyam,'' ujar seorang pengurus. Dan Try rupanya sanggup menyatukan dua pengusaha ini. Kini, keduanya sama-sama menjabat wakil ketua umum. Juga ada nama yang tak bisa dilupakan: M.F. Siregar. Ia masuk di masa kedua kepengurusan Try Sutrisno (1989-1993). Pembina renang yang sudah 30 tahun lebih di pinggir kolam itu direkrut masuk ke bulu tangkis. Ia memberi otonomi lebih besar pada pelatih untuk merekrut dan mengirim pemain ke luar negeri. Strategi ini rupanya jalan. Prestasi demi prestasi diraih kembali. Susi Susanti, wanita Indonesia pertama, menjuarai All England (1990, 1991, 1993). Setelah sepuluh tahun absen, Ardy Wiranata pada 1991 juga merebut gelar itu. Bahkan, tahun ini Haryanto Arby merebut gelar itu. Puncaknya, dua medali emas Olimpiade Barcelona tahun lalu direbut Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Inilah masa emas bulu tangkis Indonesia. Prestasi kepengurusan Try Sutrisno itu dicatat Titus Kurniadi, pengurus PBSI sejak 1977, dalam buku Emas di Barcelona Emas di Hatiku yang diserahkan kepada Pak Try pekan lalu. Masa jabatan Try Sutrisno segera berakhir dalam Munas PBSI akhir bulan ini. Santer disebut pengganti Wakil Presiden ini adalah orang yang pangkat dan jabatannya sama dengan ketika Try mulai duduk di PBSI: Wakil KSAD Letnan Jenderal Soerjadi. Dan pekerjaan rumah untuk pengganti Try Sutrisno itu kini memang sudah menunggu, yakni merebut kembali Piala Thomas dan Uber. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini