DI stadion Wembley, London, orang menyaksikan pertandingan All England atau Piala Thomas, bagaikan menonton orkes simfoni. Klik suara kamera, apalagi tepuk tangan selagi bola masih ditayang kian kemari, bisa membuat tetangga mendeham karena terganggu. Tapi lain London, lain Kuala Lumpur, ibu negeri bekas jajahan Inggris itu. Di Stadion Negara yang baru dipugar dengan biaya lebih kurang Rp 1 milyar itu penonton terkadang tidak saja bertepuk. Mereka juga sampai hati berteriak "in" atau "out..."sementara shuttlecock masih melayang. Dan entah mengapa, tim Indonesia yang paling mereka sasar. Sikap bermusuhan terhadap King dan kawan-kawan itu nyata terlihat ketika Indonesia berhadapan dengan Inggris (3-2) yang memang berlangsung cukup menegangkan. Mereka juga tampaknya seperti mau menyelamatkan tim Malaysia yang kalah dari Indonesia (0-5) dengan pekikan-pekikan untuk mempengaruhi keputusan penjaga garis. "Dukungan hampir 12.000 penonton, dan keputusan penjaga garis yang meragukan, menjadi lawan-lawan terbesar Indonesia," tulis koran Singapura, The Strais Times mengenai pertandingan 10 Mei itu. Memang ada sekitar 1.000 penonton yang mendukung Indonesia. Tetapi apa artinya untuk sekitar 7.000 penonton yang memihak RRC, ketika Ivana dan teman-teman dipukul Li Ling-wei 0-5. Pemberi semangat untuk tim Indonesia itu antara lain adalah buruh-buruh bangunan asal Indonesia yang sedang mencari nafkah di Malaysia. Mereka mendapat sokongan dari kedutaan besar Indonesia, berupa korting harga karcis masuk. Yang harganya M$ 15 bisa mereka beli M$ 10. Di samping itu, mereka juga memperoleh topi merah putih dengan lambang Garuda di depannya. "Lumayan ada mereka," kata seorang wartawan Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini