Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bagaimana beijing bersiap-siap

Persiapan para pemain bulu tangkis cina dalam upaya memperebuntukan piala thomas yang dilakukan sejak dini dengan melakukan beberapa cara. (or)

19 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUAT RRC tampaknya Indonesia bukan masuk yang ditakuti lagi. Memang, ketika mula-mula melangkah ke gelanggang, awal 1970-an, sasaran mereka adalah menjajal dan mengalahkan pemain-pemain Indonesia. Tetapi setelah merasa unggul melalui beberapa kali pertarunan Cina mulai meninggalkan Indonesia dan melirik ke Eropa. "Mereka (Eropa) adalah ancaman yang lebih besar," kata Yang Ren Zu, orang yang memimpin pusat latihan bulu tangkis di Beijing. Dalam sebuah seminar, bersamaan dengan berlangsungnya Kejuaraan Dunia di Kopenhagen. Mei 1983, di depan peserta yang datang dari berbagai negara, termasuk Indonesia, yang mengutarakan bahwa Eropa sudah meninggalkan pola permainan cepat dan menyerang -- satu gaya yang belum juga ditinggalkan Indonesia. Eropa, katanya, belakangan ini memberikan warna baru. Mereka tidak hanya mengandalkan kecepatan, tetapi juga memberikan tekanan pada penguasaan teknik pukulan yang komplet. "Mereka menambah kecepatan dan mempertinggi tempo permainan. Menyerang dari depan dan belakang. Kami bertanya kepada diri kami apa yang bisa kami lakukan untuk menghadapi perkembangan ini," katanya merendah. Tidak jelas apakah mereka sudah mendapatkan resep melumpuhkan Eropa. Yang terang, di babak awal Piala Thomas yang sedang berlangsung di Kuala Lumpur, mereka dengan susah payah mengalahkan Denmark (3-2). Luan Jin takluk dengan mudah di tangan Morten Frost Hansen. Dengan mengandalkan daya tahan kuda seperti yang dimiliki Icuk Sugiarto, Luan Jin, yang berleher besar dan kukuh itu, memang berhasil menjuarai All England 1983. Tetapi tahun ini dia kandas sebelum masuk ke semifinal. Lagi-lagi dikalahkan pemain Eropa lainnya, Nick Yates dari Inggris. Dan All England dimenangkan oleh Morten Frost Hansen. Cina yakin, kemenangan Hansen di All England tahun ini karena kecepatan, penguasaan tempo permainan, plus kemampuan menguasai bola secara all round, serba-bisa. Langkah Cina untuk menguasai dunia kelihatannya dijalankan tidak dengan separuh hati. Mereka menjalankan penyelidikan secara sistematis terhadap perkembangan permainan yang berada di luar tembok mereka. Ini terang-terangan diungkapkan ahli strategi Cina, Yang Ren Zu, dalam seminar Kopenhagen tadi. Menurut Yang, sejak 1976 pemain Cina mengandalkan permainan cepat dan menyerang. Tetapi, katanya, bertambah kerap anak buahnya bertanding dengan pemain dari berbagai negara, Cina tahu bahwa dia tertinggal. Untuk mengintai kekuatan lawan, segala cara mereka tempuh. Sekalipun bukan negara yang menguasai teknologi tinggi, RRC-lah yang pahng santer dikabarkan menggunakan video untuk mempelajari lawan. "Seolah-olah video sama pentingnya dengan raket dan shuttlecock," tulis Rudy Hartono dalam kolomnya yang diterbitkan koran Malaysia, Malay Mail, beberapa hari menjelang Piala Thomas. Ketika berkunjung ke Beijing untuk menghadiri rapat IBF, akhir tahun lalu, Rudy Hartono tidak sempat mengunjungi pusat latihan di sana. Cuma, dia mendapat keterangan bahwa pemain cecere Tian Bingyi bersama pelatihnya menghabiskan enam jam sehari untuk menganalisa Icuk Sugiarto, sebelum dia menundukkan pemain nomor dua Indonesia itu di All England 1983. Namun, untuk mengembangkan kemampuan, mereka tidak selamanya mengandalkan apa yang muncul di Barat. Untuk mengukur kesegaran jasmani, seorang pemain dunia mengenal tes V02max, untuk menghitung kemampuan seseorang menyedot oksigen tiap menit per kilogram berat badan. King dan kawan-kawan juga menguntit metode ini. Tetapi RRC secara khas mengembangkan metodenya sendiri. Dan kedengarannya lebih berwarna bulu tangkis. Sebab, pemain tidak diukur kemampuannya selagi menggenjot argocycle, melainkan langsung di gelanggang permainan. Seorang pemain bulu tangkis, menurut Yang Ren Zu, memerlukan kualitas fisik yang mampu memikul beban harus main tiga atau empat set sehari. Karena itu, kemampuan seorang pemain haruslah diukur di lapangan, selagi bertanding, lengkap dengan ketegangan yang didesakkan lawan. Menurut statistik yang dikumpulkannya, untuk satu set, yang berlangsung 19 menit, debar jantung pemain mencapai 3.610 detak. Satu tenaga yang, kalau dicatat lebih terperinci, bisa memompakan lebih dari setengah ton darah. Secara tak langsung dia menyebutkan, dengan daya tahan inilah seorang pemain baru dipilih. Mesin pencari bakat, sejauh yang tersiar, kedengarannya mengalir tanpa hambatan. Dan sama seperti di Indonesia, bulu tangkis populer di RRC. Setiap kota di sana pukul rata punya enam sampai tujuh klub, lengkap dengan pelatih yang dibayar departemen pendidikan. Karena harus menghemat, tak semua orang bisa ikut berlatih. Karena itu, mereka mengadakan tes kemampuan. Yang lulus baru diperbolehkan main dalam klub. Selama setahun anak-anak Cina itu ditempa di dalam klub tadi. Kalau dalam jangka waktu itu mereka ternyata kurang berbakat, lantas dipulangkan. Tetapi kalau menunjukkan potensi yang hebat, mereka bisa dikirim ke Beijing. Satu di antara yang berhasil itu adalah Yang Yang dari Nanking. Pemuda kidal dan ceking itu dalam usia 19 tahun berhasil mengalahkan Icuk Sugiarto dalam kejuaraan Indonesia Terbuka di Jakarta, Agustus 1983. Baik pembinaan maupun bentuk latihan berlangsung di bawah metode yang sama. Tetapi itu tak berarti pembawaan seseorang diabaikan. "Kami menekankan bahwa bentuk latihan harus disesuaikan untuk setiap pemain. Dan rupa-rupa gaya permainan yang dimilikl pemain harus didorong dan dikembangkan," ucap Yang Ren Zu. Ketika mula-mula ditemukan, Han Jian anak muda dari Leounin itu, memiliki daya antisipasi yang kuat. Dalam latihan, kecepatan gerakannya ditingkatkan. Begitu juga ketepatan penempatan bola dan tenaga untuk menyerang. Pemain yang satu ini kelihatannya yang paling jalan otaknya. Dan dia berhasil menolong Tim Cina yang sudah hampir putus asa dalam perebutan Piala Thomas di London, Mei 1982 ketika kedudukan hari pertama sudah 3-1 untuk Indonesia. Pemain yang bergigi tonggos inilah yang membangkitkan Cina yang sudah loyo, pada hari kedua perebutan piala itu. Ketika itu Han Jian tampil sebagai pemain pertama yang harus berhadapan dengan Liem Swie King. Ini adalah duelnya yang ketiga kali dengan raja dari Indonesia itu. "Ada yang mengatakan, Liem takut pada saya. Sebenarnya, bukan soal takut. Hanya saja, kalau pertandingan sudah memanas, saya lebih tenang membaca pikirannya dan tahu bagaimana memanfaatkan kelemahannya," katanya dalam sebuah tulisan yang dikarangnya sendiri dan muncul dalam majalah China Sports, Juli 1983. Han Jian mengakui, untuk bermain cepat tak ada yang bisa menandingi King. Tetapi kalau sudah tertekan, menurut Han Jian, refleksnya hilang. Karena itu, begitu set pertama dibuka, dia langsung menyerang. Tekanan itu, ditambah udara yang pengap dalam ruangan, menurut Han Jian, membuat King kaget. Dan dia memenangkan pertandingan itu dengan 2-1. Semua orang tahu, Cina kemudian menyusul dan menang 5-4, memboyong Piala Thomas. Yang mengasuh dan membesarkan Han Jian adalah Hou Jiachang, pemain asal Jawa Tengah yang pindah ke RRC tahun 1960 bersama sekitar 200.000 keturunan Tionghoa lainnya yang terkena PP 10 tahun 1959. Dia tiba di RRC bersama dua pemain tangguh lainnya Tang Xianhu dan Chen Yu Niang (putri). Mereka inilah yang menjadi kekuatan utama RRC awal tahun 1970-an. Ditambah pemain seperti Fang Kai Siang dan Ceng Tien Siu, mereka menarik perhatian dunia dengan menjuarai berbagai pertandingan persahabatan melawan Hong Kong, Malaysia, dan Denmark. Hanya Indonesia yang belum mereka jajal waktu itu. Bulu tangkis mulai populer di sana boleh dikatakan juga berkat orang Tionghoa asal Indonesia. Wang Wen-jiao, pelatih kepala tim bulu tangkis RRC sekarang ini, adalah kelahiran Solo, yang pulang ke tanah leluhurnya tahun 1954. Dia bersama Tan Hok Siu (juga asal Indonesia) yang mempopulerkan bulu tangkis di sana. Kampanye bulu tangkis itu mendapatkan darahnya dengan tibanya Hou Jiachang dan dua kawannya dari Indonesia. Inilah titik tolak tampilnya negara itu ke arena internasional. Menurut Wang Wenjiao, ketika Hou baru tiba, kondisi fisiknya lemah. Yang mula-mula dia lakukan adalah meningkatkan kemampuan fisik Hou, supaya siap menjalankan corak permainan yang berkembang di RRC waktu itu, yaitu mengandalkan "kecepatan, agresif, ketepatan, dan keluwesan." Untuk menopang corak permainan itu, menurut Yang Ren Zu, yang berbicara di seminar Kopenhagen tempo hari, mereka juga mengambil manfaat dari latihan atletik, senam, angkat besi, dan macam-macam permainan bola. Untuk ketepatan smash loncat, pemain disuruh berdiri di atas kursi setinggi lebih kurang setengah meter, menghajar bola terus-menerus sampai 30 kali satu ronde. Tetapi seberapa ampuhnya corak permainan itu belum bisa mereka cobakan kepada Indonesia, yang ketika itu memegang supremasi. Mereka tidak bisa menantang Rudy Hartono cs. baik di All England maupun Piala Thomas karena RRC belum menjadi anggota IBF. Tetapi berbagai pihak sudah gatal untuk melihat pertarungan dua raksasa itu. Akhirnya, dua kekuatan bertemu juga Mei 1974 dalam sebuah ekshibisi yang berlangsung di Stadion Hua Mark, Bangkok. Tetapi ini bukan pertarungan sejati. Sebab, Indonesia tidak menampilkan Rudy Hartono, sementara RRC tidak membawa serta Hou Jiachang. Kesudahan pertemuan itu memang pahit buat Indonesia. Christian Hadinata dikalahkan Tang Xianhu straight set. Begitu juga Tjun Tjun takluk di tangan Fang Kai Siang. Hanya ganda Christian/Tjun Tjun yang seri melawan pasangan Chen Tieng San/Tang Xianhu, karena pertandingan itu hanya berlangsung dua set. Sejak itu RRC semakin unjuk gigi. Tetapi pada kesempatan berikutnya, dua tahun kemudian, lagi-lagi di Huan Mark, Bangkok, Indonesia membalas dan menang dengan meyakinkan. Rudy Hartono tetap tidak tampil. Sedangkan pihak RRC mengutus jagonya Hou Jiachang. Invitasi itulah yang membuat nama Iie Sumirat melonjak setinggi langit. Sebab, di tangannya Hou Jiachang dan Tang Xianhu rontok, masing-masing dengan rubber set. Keunggulan Indonesia saat itu tetap meyakinkan, karena sepekan setelah pertandingan invitasi di Hua Mark itu, Rudy Hartono menjuarai All England untuk kedelapan kalinya. Setelah berjuang selama lebih kurang delapan tahun, akhirnya RRC diterima menjadi anggota IBF Juli 1981 melalui sebuah pertemuan di Tokyo. Kemenangan -- karena berhasil mendepak Taiwan itu sebelumnya diawali dengan pesta tim putra RRC dalam pertandingan dwilomba yang berlangsung Februari 1980 di Singapura. Dari Indonesia tampiI Liem Swie King, Ade Chandra, Tjun Tjun, dan Iie Sumirat. Sedangkan RRC mengetengahkan, antara lain, Luan Jin dan Han Jian. Hou Jiachang waktu itu memang datang juga, tetapi dalam kedudukan sebagai pelatih. Hasilnya menciutkan hati King dan kawan-kawan. Putra kalah 4-5. Putri yan menang 3-1. Total memang Indonesia masih unggul 7-6, tapi supremasi putra sejak hari itu mulai bergeser ke RRC. Adalah menarik untuk menyimak peremajaan yang berjalan lancar di Cina. Sehingga, terkesan bahwa negara yang berpenduduk hampir sepuluh kali lipat Indonesia itu seakan-akan harus bekerja keras lagi untuk memilih dari yang terbaik. Itulah makanya mereka sering membikin orang tercengang. Tiba-tiba, misalnya, muncul Tiang Bing-yi mengalahkan si juara dunia Icuk Sugiarto di All England. Kemudian negara panda itu mengirimkan Yang Yang untuk menaklukkan -- lagi-lagi -- Icuk di Kejuaraan Indonesia Terbuka. Kedua pemain yang disebutkan tadi adalah angkatan setelah Chang Chen-ji, pemain tunggal kelas tiga. Padahal, orang barangkali menganggap hanya gertak sambal belaka, ketika ofisial Cina menjelang Asian Games New Delhi, pernah berkata bahwa mereka punya 30 pemain lagi yang sederajat dengan Chen-ji, pemain yang tampan itu. Begitu juga halnya dengan pemain putri mereka. Tak sampai dua tahun setelah dwilomba di Singapura, mereka melompat dengan cepat. Mereka merebut semua tempat di semifinal All England 1984. "Sebelum bermain dengan mereka (putri Cina) seolah-olah kekalahan kita sudah terukir," kata Rudy Hartono, ketua Bidang Pembinaan PBSI. Menurut Rudy, keberhasilan itu tak lain adalah karena "corak latihan mereka yang cergas (giat), pantas, dan tangkas." Bintang putri mereka sekarang adalah juara dunia Li Ling-wei. Gadis jangkung berleher kukuh ini dibina oleh pelatih Chen Fu-shou, orang yang, menurut Sudirman, bekas ketua umum PBSI, berasal dari Indonesia dan pernah mengikuti kejuaraan nasional di sini. Percaya atau tidak, ketika Rudy berada di RRC, dia mendapat keterangan dari seorang pelatih di sana bahwa mereka memiliki 20 pemain yang setaraf Li Ling-wei dan Zhang Ai-ling, juga pemain top mereka. Mudahnya mencari bibit di Cina semudah membalikkan raket itu, barangkali karena sistem sosial-politiknya. Olahragawan mendapat kedudukan tersendiri di masyarakat, dan negara memperlakukan mereka sebagai warga terhormat. Sehingga, banyak yang ingin keluar dari lapisan bawah yang miskin, mencari jalan keluar dengan menjadi aktivis partai -- yang jumlahnya terbatas -- atau berprestasi di bidang olah raga yang bisa dicapai lewat kemampuan individu. Tetapi bagaimana Indonesia berantisipasi terhadap kemajuan Cina ini? Pengetahuan Rudy Hartono dan Tahir Djide, yang sudah berkali-kali bertemu dengan pelatih Cina, termasuk seminar di Kopenhagen tempo hari, barangkali sudah cukup banyak. "Cina jelas mempergunakan power training untuk atletnya. Satu metode yang sudah ratusan tahun usianya," kata Tahir. Walapun demikian, dia mengakui bahwa negara itu lebih maju dalam pemakaian metode ilmiah. "Seharusnya di sini juga bisa, hanya memerlukan biaya, tenaga ahli serta waktu," sambungnya. Perkara video, Indonesia, kata Tahir, juga mempunyai rekaman tentang permainan Cina. "Tapi tidak semuanya dipakai," katanya pula. Tidak dia jelaskan mengapa disiplin menintai lawan itu begitu rapuh. Padahal, dia sendiri tahu, Li Ling-wei dan Zhang Ai-ling tujuh atau delapan tahun lalu pekerjaannya hanya mencatat di atas kertas bagaimana King dan Tjun Tjun beraksi di lapangan. Sekarang, di Kuala Lumpur, selain "tim video", RRC juga menyertakan para pencatat. Walapun begitu, anggota tim RRC di Kuala Lumpur tetap merendah. Wang Wenjiao, pelatih kepala merangkap manajer tim, mengatakan bahwa kekuatan pemain tunggal Indonesia dan RRC "hampir merata". Sedangkan pemain ganda dinilainya Indonesia lebih unggul. "Tapi, untuk pertandingan seperti ini, tidak hanya teknik yang diperlukan, melainkan juga fighting spirit." Unsur yang terakhir itu tentu saja bukan cuma milik RRC. Semangat bertanding juga cukup besar di kubu Indonesia. Pekan ini, duel itu cukup menegangkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus