BOLA tanggung menyilang yang dikirimkan Choi Byung Hak langsung dibalas Icuk Sugiarto dengan overhead smash sambil meloncat. Penjaga garis mengarahkan telunjuknya ke tempat bola mendarat. Masuk. Icuk lantas mengangkat kedua tangannya. Maka, berakhirlah pertandingan partai tunggal ketiga dalam babak semifinal antara Indonesia dan Korea Selatan. Penonton, yang memenuhi dua pertiga Stadion Negara, Kuala Lumpur, Senin malam pekan ini menderu kegirangan. Spanduk "Kembalikan Piala Thomas", yang dikibarkan para pendukung regu Indonesia yang khusus datang dari tanah air, berayun-ayun di tribune kehormatan. Kemenangan Icuk itu memastikan regu Piala Thomas Indonesia maju ke babak final. Dan kalau RRC yang akan muncul sebagai lawan di final, kubu Indonesia bertekad melakukan pembalasan terhadap kekalahan di London dua tahun lalu. "Sekarang atau tidak sama sekali," kata Tahir Djide, pelatih yang absen di London tapi turut menghantarkan Icuk ke Kuala Lumpur sekarang ini. Sedangkan harapan Ivana dan kawan-kawan untuk merebut Piala Uber sudah terbang setelah dikalahkan RRC (0 - 5), Jepang (2-3), dan Denmark (2-3). Sekarang semua berdebar menunggu nasib yang bakal ditemukan tim Indonesia dalam fmal Piala Thomas, Jumat Kliwon pekan ini di Kuala Lumpur. Mungkin nasib cemerlang sedang menunggu. Tetapi sama seperti keberangkatan tim Piala Thomas ke London dua tahun lalu, kedatangan ke Kuala Lumpur sekarang ini dimulai dengan kebimbangan. Ketika akan bertolak ke London, Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Indonesia (PBSI) ragu-ragu, siapa yang akan menempati posisi tunggal ketiga. Sampai-sampai dilangsungkan seminar dua hari untuk mencari dukungan terhadap keputusan untuk memasang Rudy Hartono di tempat itu. Rudy, yang sudah tidak berlatih intensif, akhirnya berangkat. Dan semua orang masih ingat, juara All England delapan kali itu, kalah dari Luan Jin di final. Sedangkan tim yang sekarang ke Kuala Lumpur sempat pula runyam memikirkan tunggal ketiga, gara-gara Icuk Sugiarto menolak dilatih Tan Joe Hok. Pembangkangan itu dia ucapkan setelah kekalahan tragis melawan pemain belum punya nama dari Denmark, Kjeldsen, di arena All England bulan Maret. Icuk hanya mau dilatih Tahir Djide. Sekalipun tidak keras, terasa ada silang pendapat mengenai Icuk. Pelatih Tan Joe Hok, misalnya, secara halus menyebutkan bahwa dia berkenan mundur, karena Icuk lebih diperlukan tim. Selama latihan, sebulan menjelang Kuala Lumpur, ia memang menunjukkan kemajuan, antara lain mampu mengalahkan Liem Swie King. Maka, akhirnya pemain asal Solo itu turut memperkuat tim Piala Thomas. Sikap kompromistis yang ditunjukkan kepengurusan Ferry Sonneville ini dilirik dengan tajam oleh pihak luar. Ada yang menilainya lembek. "Ini disebabkan, kalau bersikap tegas dalam kasus Icuk, khawatir akan kehilangan pamor di mata masyarakat. Bagi saya, kalau memang tidak disenangi, ya, keluar saja. Niat saya cuma satu, lillahi ta'ala, semata-mata karena Tuhan," kata Sudirman, bekas ketua PBSI. Dua puluh tiga tahun ahli farmasi itu memimpin PBSI. Di bawah kepengurusannya enam kali Indonesia memegang Piala Thomas. Tetapi Ferry ingin demokratis dalam menentukan keputusan. "Pemain juga mempunyai bobot, sehingga mereka juga diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan. Sebab, ini menyangkut diri mereka. Dan, sebelum keputusan dikeluarkan 'kan perlu masukan-masukan dari semua pihak," katanya. Memang begitulah rupanya sejarah Indonesia yang sudah tujuh kali memegang piala yang dipersembahkan Sir George Thomas, tokoh bulu tangkis dari Inggris itu, tak lepas dan macam-macam persoalan. Bekas ketua umum PBSI sebelum Sudirman, Sukamto Sayidiman (sekarang duta besar di Selandia Baru) juga mengalami masalah pelik dalam usahanya mempertahankan Piala Thomas dalam pertandingan yang berlangsung di Tokyo tahun 1964. Dalam tempo empat bulan, Sukamto harus merekrut pemain yang berpencaran. Tan Joe Hok sedang belajar di Amerika Serikat. Begitu juga pemain senior ketika itu, Ferry Sonneville, berada di Negeri Belanda menuntut ilmu. Lantas dia memutuskan semacam latihan "jarak jauh" untuk kedua pemain top itu. Artinya, mereka dipercaya berlatih sendiri di negeri orang. Dekat menjelang keberangkatan ke Tokyo, baru mereka bergabung dengan pemain lain, seperti Muljadi, Tan King Gwan, Unang, dan Tutan. "Meskipun saya mendapat kritik yang keras dalam melaksanakan latihan tersebut, hasilnya dapat dibanggakan," kata sang duta besar mengenang. Ferry Sonneville yang ubanan itu memberikan kesan sangat hati-hati dalam membina pemain. Ia berusaha keras menunjukkan diri sebagai seorang pemersatu. "Sebab, kunci kemenangan regu ini terletak pada rasa kesatuan dan persatuan di antara pemain dan pembina. Serta tekad dari pemain. Perbedaan antara menang dan kalah tipis sekali. Yaitu antara keberuntungan dan tekad yang membara," katanya. Kompromi dan sikap "mendekati" dari Ferry itu kelihatannya berhasil menumbuhkan gairah berlatih pemain yang seminggu berlatih enam hari. Satu hari bisa mencapai enam jam pagi, siang, dan malam. Sementara itu, Icuk yang menjadi bahan pertikaian, rela hanya berjumpa seminggu sekali dengan istrinya yang sedang hamil. Persiapan latihan tim Piala Thomas dan Uber yang dimulai sejak November 1983 itu telah menelan lebih kurang Rp 300 juta, termasuk ongkos mengikuti berbagai pertandingan di luar negeri, seperti All England. Meskipun latihan fisik tim Piala Thomas tidak ditangani Tahir Djide (begitu juga ketika ke London 1982), menurut Asisten Pelatih Mohamad Ridwan, kondisi pemain fit. Ini, katanya, terlihat dari tes V02 ma dan hemoglobin darah. Dua faktor yang memberikan indikasi tinggi rendahnya kesegaran jasmani seseorang. Namun, Rudy Hartono, penanggung jawab tim Piala Thomas dan Uber menganggap persiapan Indonesia masih kalah dibanding RRC, pemegang Piala Thomas 1982. Ia mendambakan latihan yang berdasarkan metode ilmiah. "Sebenarnya, sudah menuju ke sana tapi belum seintensif Cina," katanya, "karena kurang fasilitas dan tenaga ahli." Rudy menilai, Cina tetaplah kekuatan yang tangguh dalam perebutan Piala Thomas yang ketiga belas di Kuala Lumpur ini. (Piala itu pertama kali diperebutkan 1949). Kekalahan tim putra Cina di All England, Maret yang lalu, katanya, bukan pertanda mereka lemah. "Mereka berbahaya," ucapnya. Indonesia dan RRC yang diramalkan banyak orang bertemu di final, merupakan dua kekuatan yang berimbang. Ofisial kedua negara sama-sama tak berani mengatakan lebih kuat dari yang lain. Semua berharap Icuk dan kawan-kawan bisa merebut kembali lambang supremasi dari tangan Yang Yang dan teman-temannya. "Kalau tidak, di tahun-tahun mendatang rasanya sangat sulit sekali untuk merebutnya. Ini kesempatan terakhir," ujar Sudirman, meramal. "Kalau tidak terebut, entah apa yang terjadi. Sementara itu, pemain-pemain kita sudah semakin tua dan bibit-bibit baru belum muncul. Kalaupun dipaksakan, pemain muda belum matang." Kecemasan ini barangkali didasarkan pada kemajuan pesat Cina belakangan ini. Percaturan bulu tangkis ternyata tidak hanya berkisar pada lapangan yang luasnya kurang dari 100 mFD itu. Permainan "tingkat tinggi" dalam International Badminton Federation (IBF), yang berpusat di London, bisa menjadi penting. Di gelanggang yang terakhir ini, tampaknya, Eropa yang paling banyak mendapat keuntungan. Perubahan peraturan pertandingan dari sembilan partai menjadi lima partai (untuk Piala Thomas) dan dari tujuh ke lima (untuk Uber) merupakan kemenangan lobby Eropa dalam tubuh organisasi itu. Sebab, mereka boleh dikatakan hanya memiliki pemain yang pas-pasan untuk lima partai. Menurut P. Soemarsono, ketua Bidang Organisasi dan Luar Negeri PBSI, perubahan itu dilaksanakan, antara lain, agar pertandingan cepat selesai jangan sampai mengganggu pekerjaan pemain. Lagi pula, final Piala Thomas dan Uber berlangsung dalam sehari, sehingga akan mengirit biaya. Ada yang beranggapan, perubahan peraturan itu adalah langkah kesekian dari kelompok Eropa untuk mencari akal bagaimana caranya agar Piala Thomas tidak terus-menerus berada di Asia. Sejak pertama kali piala itu diperebutkan, Eropa belum pernah memegangnya. Begitu juga Uber, yang mulai diperebutkan tahun 1956. Amerika Serikat tiga kali berturut-turut memegangnya (1956, 1959, dan 1962). Selebihnya negara Asia (Indonesia kebagian sekali). Eropa belum pernah menjamahnya, walaupun pialanya merupakan persembahan H.S. Uber, pemain Inggris yang pernah menjadi juara All England. Sebelumnya, IBF juga mengeluarkan peraturan baru bahwa tuan rumah harus turut serta dalam final round. Tidak hanya menunggu siapa yang muncul sebagai penantang. Lantas keluar pula peraturan bahwa perebutan piala tidak mesti di tempat negara pemegang. Wang Wen-jiao, manajer tim RRC yang sedang memimpin anak buahnya di Kuala Lumpur, terang-terangan mengatakan bahwa perubahan peraturan dari 9 menjadi 5 merupakan kemenangan move Eropa. "Piala Thomas 'kan berasal dari sana. Namun, hingga saat ini, belum ada satu pun di antara mereka yang berhasil merebutnya," katanya. Dia curiga, karena dengan sistem baru ini toh Eropa gagal, tapi lain kali bakal muncul aturan baru. "Boleh jadi mereka akan memaksakan adanya ganda campuran. Itu bukan mustahil, lho. Bukankah negara-negara Eropa unggul di sektor ini. Karena itu, Asia bersatulah," kata laki-laki dari Shanghai kelahiran Jawa Tengah itu. Beberapa pihak yang dihubungi menyebutkan, keluarnya keputusan yang menguntungkan Eropa itu karena kurang mainnya Indonesia dalam IBF. "Sebagai negara yang disegani di bidang bulu tangkis, seharusnya kita bisa mempengaruhi keputusan itu. Entah kenapa lobby kita sekarang tidak setangguh dulu," cetus Sudirman. Peraturan baru itu sebenarnya sudah diusulkan tahun 1981 dalam sidang tahunan IBF yang berlangsung di Kuala Lumpur. Ketika itu Suharso Suhandinata, ketua Bidang Luar Negeri PBSI, yang sudah tidak duduk dalam kepengurusan pimpinan Ferry Sonneville, hadir sebagai anggota IBF. Sedangkan wakil resmi Indonesia adalah P. Soemarsono. Sehari menjelang sidang umum, berlangsung sidang yang membahas rencana perubahan jumlah partai yang dipertandingkan baik dalam Piala Thomas maupun Uber. Tetapi Soemarsono, ketika itu kabarnya tidak hadir. Sidang waktu itu menerima keputusan penciutan jumlah partai itu berdasarkan suara terbanyak yang menyatakan setuju. Soemarsono sendiri sebenarnya tidak bisa menerima keputusan itu. Tetapi sayang dia absen dalam sidang. Lobby zaman Sudirman kedengarannya terjaga. Dalam perundingan, katanya, Indonesia harus cepat menangkap. "Kelemahan kita selama ini, omongan orang asing sering tidak bisa kita tangkap. Misalnya ia membicarakan sesuatu yang arahnya ke utara, kita jawab yang arah ke selatan," katanya. Puncak prestasi lobby zaman Sudirman tercatat pada tahun 1970. Dalam babak kejuaraan zone Asia Piala Thomas di Bangkok, Indonesia berhadapan dengan tim Muangthai. Karena merasa dicurangi wasit, Muljadi membanting raket dan mogok di tengah lapangan. Score waktu itu 3-2 untuk Indonesia. Tapi karena Muljadi ngambek wasit memutuskan Muangthai menang 6-3. Dengan juru bicara Suharso Suhandinata, utusan Indonesia menghadap sekretaris jenderal IBF, Herbert Scheele, di London. "Kami tidak mengharapkan dia berdiri di pihak kami, tetapi berdiri di tempat yang benar," cerita Suharso, yang sehari-hari bergerak dalam bisnis besi baja itu. Protes Indonesia waktu itu diterima dan kemenangan Muanthai dinyatakan batal. Pertandingan harus diulang. Tapi Muangthai menolak sehingga membuka pintu Indonesia untuk maju ke babak final di Kuala Lumpur. Piala Thomas yang dipegang Malaysia tahun 1970 itu akhirnya diboyong kembali ke Jakarta. Sekalipun perubahan jumlah partai sekarang dianggap sementara pihak merugikan Asia, Ferry Sonneville tidak terlalu menghiraukannya. "Pernyataan tak setuju baru bisa dikemukakan setelah melihat hasil pertandingan yang sekarang berlangsung di Kuala Lumpur ini," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini