BEIJING, di hari-hari ini, adalah Beijing yang bersolek cantik. Bukan lagi Beijing yang berdebu. Jalan-jalan umum di kota berpenduduk lebih dari 12 juta jiwa itu tampak bersih. Bunga-bunga tumbuh di jalur hijau dan di atas pot-pot besar. Tembok-tembok yang tadinya kumuh, khususnya yang berada di dekat 27 tempat pertandingan (venues), kelihatan berkilat karena baru dicat. Maskot Asian Games (AG), panda kecil bernama Pan Pan, menghiasi pinggir-pinggir jalan. Lambang AG -- berupa angka 11 dalam bilangan Romawi berbentuk Tembok Besar Cina, yang diciptakan desainer terkemuka Cina Zhu Dexian -- hadir di setiap sudut Beijing. Sabtu pekan ini, pesta Asian Games XI dibuka resmi. Senin kemarin, cahaya, begitulah api AG yang disulut di Tibet itu disebut -- sudah tiba di Beijing. Sebuah pesta olahraga yang mahal segera dimulai. Pemerintah Cina sudah mengeluarkan US$ 527 juta atau Rp 975 milyar lebih, termasuk untuk memperbaiki Stadion Buruh yang menghabiskan Rp 37 milyar. Stadion yang dibangun pada 1959 ini siap dipakai untuk acara pembukaan dan penutupan. Dan inilah kerepotan yang oleh pemerintah RRC bisa dipakai untuk "membasuh muka", setelah peristiwa Lapangan Tiananmen yang berdarah tahun lalu. Kalau saja 38 negara anggota Komite Olimpiade Asia (OCA) mengirim kontingennya ke Beijing, itu berarti sekitar 6.000 atlet dan ofisial akan berkumpul. Ini bisa memperbaiki citra Negeri Tirai Bambu itu, setelah ribuan mahasiswa terbunuh di Tiananmen. Wartawan TEMPO Seiichi Okawa, yang seharian berkeliling Beijing dengan sepeda sewaan Senin kemarin, menyaksikan ketatnya pengamanan di kota itu. Polisi metropolitan memberlakukan "pengawasan kelas I" -- paling ketat, melebihi ketatnya pengawalan Gorbachev pada Mei tahun lalu. Tapi, jika ada yang cemas, itu adalah pengusaha biro perjalanan dan pemilik hotel. Turis asing yang diperkirakan membanjiri Beijing ternyata tidak terjadi. Tingkat hunian kamar hotel, yang ditaksir sampai 100 persen, sampai pekan ini masih 20-30 persen. "Mungkin kami terlalu optimistis dan membuat perkiraan yang tidak realistis," ujar seorang manajer hotel berbintang di Beijing. Tentu saja ada kecemasan yang lebih besar. Yakni rembetan dari krisis Teluk Persia. Kalau sidang Komite Olimpiade Asia di Beijing, Kamis pekan ini, memutuskan untuk memboikot Irak, pemerintah RRC repot besar. Karena tim Irak tentunya sudah memasuki Beijing saat itu. Malah, pemain sepak bola Irak sudah lama tiba di Beijing. Tapi, kalau Irak boleh ikut dan Irak memaksa supaya Kuwait menjadi bagian darinya -- begitulah sikap keras Irak -- paling tidak 10 negara Arab akan memboikot. Nah, tidakkah menimbulkan masalah, sedangkan para atlet Arab itu sudah ada di Beijing? Tim Kuwait sendiri sudah datang Senin kemarin dengan kekuatan 71 atlet dan dikawal ketat oleh petugas keamanan sampai memasuki perkampungan atlet. "Kami datang untuk bertanding, bukan untuk membahas masalah politik," atlet-atlet Kuwait berkomentar. Jika boikot itu terjadi, pertarungan di beberapa cabang tak lagi menarik. Manusia tercepat Asia, Talal Mansoor dari Qatar, akan absen. Di cabang sepak bola akan hilang tim-tim kuat, seperti Kuwait, Uni Emirat Arab (mewakili Asia di Piala Dunia Italia), serta Arab Saudi (pemegang medali perak AG Seoul). Cina sebagai tuan rumah bernafsu kembali untuk merebut gelar juara umum AG XI. Cina adalah juara umum AG X di Seoul dengan 94 medali emas, disusul Korea Selatan yang hanya ketinggalan satu medali emas, dan Jepang di tempat ketiga dengan menambang 58 emas. Di Seoul, Indonesia berada di peringkat kesembilan, dengan cuma satu medali emas dari cabang tenis nomor ganda putri lewat pasangan Yayuk Basuki/Suzanna Wibowo. Juara bertahan Cina jelas mempertaruhkan segalanya untuk menjadi juara umum. Apalagi kini diperebutkan 308 medali emas dari 28 cabang olahraga -- jumlah terbanyak sepanjang sejarah AG. Cina sebagai tuan rumah memang berhak memasukkan cabang olahraga yang kira-kira menghasilkan emas untuk kontingennya. Dimasukkanlah cabang wushu yang memperebutkan enam medali emas, serta kabaddi yang menyediakan satu medali emas (lihat Gobak Sodor di Asian Games). Kedua cabang itu hanya diikuti enam negara, dan peluang Cina besar. Juga untuk pertama kalinya dipertandingkan sepak bola putri, dan tim Cina serta Korea Selatan punya peluang besar untuk juara. Dari 308 emas, Cina mengincar 140. Cina punya atlet-atlet andal yang sudah bicara di tingkat dunia dan pemegang rekor di tingkat Asia. Di cabang atletik, Cina punya Huang Zhihong, pemegang medali emas tolak peluru Piala Dunia Atletik di Barcelona, September tahun lalu. Gadis bertubuh raksasa -- berat 100 kg dan tinggi 174 cm, asal Provinsi Zhejiang, berusia 27 tahun -- ini menolak peluru sejauh 20,73 meter di Barcelona. Zhihong juga merebut emas di AG Seoul. Lemparan terbaiknya adalah 21,52 meter. Bandingkan dengan rekor nasional Indonesia atas nama Josephine Mahuse, yaitu 14,34 meter. Rekor Zhihong ini melampaui pemegang medali emas AG Seoul di bagian putra, Ma Yongfeng, juga asal Cina, dengan lemparan 18,30 meter. "Saya sebenarnya tak suka melempar besi bulat itu. Kalau saya tahu akan jadi gemuk begini, saya tak akan memilih olahraga ini," kata Zhihong, seperti dikutip majalah China Sport. Masih di cabang atletik, Cina memiliki Y. Qu, pelari 1.500 meter putri, yang baru saja merebut medali emas di Kejuaraan Dunia Atletik Yunior. Selain Qu, ada sederet atlet Cina yang menyabet emas di AG Seoul. Misalnya, Cheng Shouguo yang memegang rekor AG lari 3.000 meter steeplechase, lalu pencatat rekor AG lari 110 meter gawang Yu Zhicheng, kemudian pemegang rekor AG 20 km jalan cepat putra Sun Xiaoguang dan tim lari 4 X 100 meter putra Cina yang juga memegang rekor AG. Atlet Cina Zhu Jianhua juga melompati mistar setinggi 2,31 meter di Seoul dan meraih medali emas loncat tinggi. Cabang atletik yang menyediakan 43 emas tampaknya akan jadi ladang bagi Cina. Di cabang loncat indah, ada Gao Min, 20 tahun, yang memegang medali emas Kejuaraan Dunia Renang (FINA) 1987 dan 1989, dan emas Olimpiade Seoul serta emas Goodwill Games 1990. Namun, kabarnya, gadis ini baru sembuh dari cedera punggung. Gadis Cina lainnya, Xu Yanmei, peraih emas nomor papan 10 meter Olimpiade Seoul. Di bagian putra, Cina memiliki atlet berbakat berusia 16 tahun, Xion Ni. Di Olimpiade Seoul, "anak bawang" ini meraih perak dan cuma kalah dari pujaan Amerika Serikat, Greg Louganis. Selain Xiong Ni, ada Tan Liangde, Li Deliang, dan Chen Xiao yang meraih emas di AG Seoul 1986. Di kolam renang, Cina punya Zhuang Yong, gadis 17 tahun, yang memegang medali perak gaya bebas 100 meter Olimpiade Seoul. Juga Yang Wenyi, yang memecahkan rekor dunia putri di Kejuaraan Renang Asia di Guangzhou pada 1988. Juga ada Lin Li, 20 tahun, peraih dua medali emas Pertemuan Renang Pan Pasifik 1989. Di bagian putra, terdapat Huang Xioming yang meraih perak di nomor 100 meter gaya dada di Olimpiade Seoul. Cina juga tangguh di cabang angkat besi. Ada He Yingqiang, kelas 56 kg, dan He Zhouqiang, 52 kg, yang memegang rekor Asia di kelasnya dan sudah sering menjuarai kejuaraan tingkat dunia. Sedangkan di cabang senam, Cina punya andalan Chen Cuiting yang baru berusia 17 tahun, peraih tiga medali emas AG Seoul. Juga juara dunia 1989 nomor senam lantai, Fan Di. Di cabang tenis meja, Cina, yang pernah melahirkan juara dunia Jiang Jialiang, kini menurun drastis. Tapi masih ada harapan pada Chen Longcan dan Xi Enting untuk menjuarai nomor tunggal putra. Namun, Longcan dapat saingan berat dari Kiyoshi Saito asal Jepang. Di cabang-cabang beregu, seperti bola voli, putra-putri Cina merupakan pemegang emas AG Seoul. Di cabang basket, Cina juga masih yang terbaik. Yang perlu disimak adalah permainan Zheng Haixia, 23 tahun, di tim putra Cina yang sudah memasukkan 2.000 bola ke basket selama kariernya. Di cabang bulu tangkis, Yang Yang, 27 tahun, Juara Dunia 1989, dan Zhao Jianhua, 24 tahun, Juara All England 1990, tampaknya masih sulit ditandingi. Juga Tan Jiu Hong di bagian putri yang akan mendapat perlawanan sengit dari Susi Susanti. Di cabang tenis lapangan putra, Cina mengandalkan Pan Bing dan Xia Jiaping. Namun, peluang Cina tampaknya berat mengingat saingan dari Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia. "Tapi saya khawatir mereka curang karena main di lapangan keras," ujar Tintus Arianto Wibowo, pelatih Indonesia. Cina boleh kehilangan medali emas di nomor tenis ini, tapi puluhan emas lainnya akan mengalir dari cabang lainnya, misalnya dayung dan layar. Toriq Hadad (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini